Mohon tunggu...
Akbar Marzuki Tahya
Akbar Marzuki Tahya Mohon Tunggu... -

menjadi pembelajar dengan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Peran Penting Organ Mandibular dalam Fisiologi Kepiting Bakau

1 Februari 2017   12:47 Diperbarui: 1 Februari 2017   13:04 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Download Paper: http://sphinxsai.com/2016/ch_vol9_no12/2/%28529-533%29V9N12CT.pdf

Referensi: Tahya  AM,  Zairin  MJr,  Boediono  A,  Artika  IM,  Suprayudi  MA.  2016.  Important role of mandibular organ in molting, growth, survival of mud crab Scylla olivacea. IJ Chemtech Resear. 9(12):529-533

Molting merupakan fenomena biologis yang menjadikan krustasea berganti karapas. Karapas lama akan digantikan oleh karapas baru dengan ukuran yang lebih besar. Fenomena ini terjadi karena adanya kebutuhan untuk bertumbuh, regenerasi, reproduksi dan stres akibat lingkungan. Salah satu spesies dari krustasea yang memiliki nilai jual tinggi adalah kepiting bakau. Kepiting bakau menjadi salah satu primadona dan menjadi pilihan yang tepat bagi para pembudidaya di Indonesia untuk mengisi lahan tambak yang kosong agar lebih produktif. Kepiting bakau di Indonesia terdiri dari beberapa spesies yakni Scylla serrata, S. paramamosain, S. transquebarica, dan S. olivacea, yang semuanya memiliki nilai ekonomis penting dan prospek dikembangkan. Munculnya kesadaran masyarakat dunia untuk mengkonsumsi makanan dari hasil-hasil perairan menjadi salah satu faktor meningkatnya permintaan terhadap komoditi perikanan, termasuk kepiting dan krustasea lainnya. Untuk memenuhi permintaan terhadap kepiting, para pembudidaya dituntut untuk melakukan pengembangan kegiatan produksi.

Dalam kegiatan akuakultur, fenomena molting dimanfaatkan untuk menghasilkan kepiting lunak. Pemotongan anggota badan merupakan salah satu pendekatan untuk menginduksi kepiting untuk berganti karapas. Penghilangan kaki jalan berhasil menginduksi kepiting untuk melakukan pergantian karapas (Chang dan Mykles 2011; Karim 2007). Pada kepiting raksasa (Paralithodes camtschaticus) penghilangan duri dapat mempercepat munculnya premolt (Dvoretsky dan Dvoretsky 2012). Begitupun dengan ablasi tangkai mata pada Oziotelphusa senex senex (Sainath dan Reddy 2010). Belakangan pendekatan tersebut dinilai tidak ramah terhadap organisme dan menghasilkan mortalitas yang tinggi. Selain itu pemotongan kaki jalan mengakibatkan bentuk dan ukuran menjadi tidak proporsional setelah molting.

Pendekatan fisiologis hormonal merupakan salah satu terobosan yang dapat dilakukan dalam akuakultur. Secara fisiologi jalur stimulasi organ penghasil hormon molting memungkinkan untuk dikaji dan diaplikasikan. Salah satu organ potensial, namun kajiannya masih terbatas adalah Organ Mandibular (OM). Pada krustasea, OM pertama dikemukakan oleh Le Roux (1968). Awalnya faktor kedekatan secara anatomis dan kemiripan histologi antara OM dan organ Y (OY) menyulitkan identifikasi, namun saat ini kedua organ tersebut sudah dapat dibedakan dengan baik berdasarkan kandungannya (Nagaraju et al. 2004).

Kajian OM pada kepiting bakau masih sangat terbatas, sementara pengetahuan terkait organ tersebut sangat dibutuhkan. Kajian sebelumnya telah berhasil mengidentifikasi keberadaan Farnesoate Acid Methyl Transferase(FAMeT) dalam OM pada spesies S. olivacea (Tahya et al.2016; Sunarti et al. 2016), sehingga menjadi pembuka kajian-kajian yang berkaitan dengan OM dan peranannya dalam proses molting. Kajian OM diharapkan menjadi terobosan dalam teknologi pemoltingan kepiting bakau, sehingga berkontribusi sebagai jalan keluar atas permasalahan yang ada. Oleh karenanya kajian terhadap peranan OM dalam menstimulasi molting, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup sangat penting untuk dilakukan.

Respon Molting terhadap Penyuntikan Ekstrak Organ Mandibular

Hasil analisis ragam, menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap respon molting kepiting bakau.

Penyuntikan ekstrak OM menghasilkan persentase molting yang beragam. Persentase molting pada perlakuan 1-O/7 yang jauh lebih tinggi mengindikasikan peranan OM sebagai stimulan bagi hormon molting. Menarik untuk dicermati bahwa pada beberapa perlakuan memiliki pengaruh yang sama berdasarkan hasil uji lanjut, sedangkan penyuntikan yang digunakan adalah dosis ekuivalen yang berbeda. Pemberian dosis penyuntikan dengan konsentrasi tinggi tidak berhasil meningkatkan persentase molting, demikian pula pada konsentrasi yang lebih rendah.

Adanya rentang masa laten yang panjang pada beberapa kelompok kepiting mengindikasikan bahwa perlakuan tidak mampu memberikan stimulasi terhadap molting. Kecepatan molting yang dihasilkan pada kepiting perlakuan kontrol, 1-O/1, 1-O/2, dan 1-O/3 belum dapat dijadikan indikator keberhasilan stimulasi, oleh karena kepiting bakau tidak menunjukkan keserentakan molting. Kepiting dalam kelompok perlakuan 1-O/7 mengalami molting pada rentang waktu 26 hingga 35 hari. Jika dibandingkan dengan perlakuan dosis yang lebih tinggi, maka dapat dikatakan bahwa perlakuan 1-O/7 dan beberapa dosis rendah lainnya mengalami molting yang relatif lebih lama.

Masa laten yang lama pada perlakuan 1-O/7 dapat diasumsikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh metil farnesoat (MF) untuk bekerja sebagai stimulan OY. Masa laten yang berlangsung selama 26 hingga 35 hari tersebut dapat memberikan gambaran kemajuan stimulasi hormon kepada organ penghasil hormon. Sebagaimana dalam penelitian-penelitian sebelumnya yang melaporkan kemampuan stimulasi oleh MF kepada OY. Misalnya percepatan molting pada udang Caridina denticulata(Taketomi et al. 1989), Cherax quadricarinatus (Abdu et al. 2001), O senex senex(Reddy et al. 2004).

Masa laten stimulasi ekstrak OM terhadap OY kepiting bakau menjadi temuan berharga bagi penelitian fisiologi molting. Berbeda halnya dengan stimulasi dengan menggunakan ekdisteroid yang secara cepat bekerja pada sasaran, MF bekerja secara perlahan dengan menstimulasi OY. Keuntungan fisiologis yang diperoleh dengan adanya stimulasi lambat diantaranya adalah kepiting bakau akan lebih siap untuk berganti karapas, pertumbuhan tubuh lebih proporsional, dan tidak adanya efek negatif terhadap proses fisiologis. Misalnya ekdisteroid yang bekerja lebih cepat, namun dalam pemberiannya tidak boleh melebihi dosis yang dibutuhkan tubuh. Kelebihan dosis tidak hanya berpengaruh terhadap masa laten, melainkan lebih dari itu yakni kematian pada hewan. Misalnya fitoekdisteroid yang mematikan bagi serangga (Dinan 2001). Sementara respon cepat neuropeptida terjadi pada lobster Homarus americanusakibat pemberian ekstrak kelenjar sinus (Tsukimura dan Borst 1992).

Tingginya persentase molting yang dihasilkan oleh kepiting bakau dalam kelompok perlakuan 1-O/7 mengindikasikan adanya pengaruh dosis terhadap keberhasilan molting. Penyuntikan ekstrak OM dosis ekuivalen yang tidak tepat menghasilkan respon molting dengan nilai persentase tidak berbeda antara kepiting dalam kelompok kontrol dan perlakuan penyuntikan lainnya. Perbedaan dosis ekuivalen membuktikan bahwa OM memiliki kapabilitas untuk berperan sebagai stimulan molting pada dosis tertentu. Dosis ekuivalen yang lebih rendah ataupun lebih tinggi dari dosis 1-O/7 tidak menunjukkan respon molting yang lebih baik. Adapun terkait dosis pernah dilaporkan pada kepiting bakau yang diberikan ekdisteroid, dimana jika dosis yang diberikan terlalu rendah maka tidak menghasilkan respon molting, sebaliknya jika dosis terlampau tinggi maka akan mengakibatkan penghambatan (Fujaya et al. 2011). Sedangkan pada spesies lain pengaruh pemberian dosis yang tidak tepat telah dilaporkan berakibat pada kerusakan sel bahkan kematian pada ikan gabus Channa punctatus (Grag 2007), dan Ikan plati koral Xiphophorus maculates (Zairin et al. 2005).

Kehadiran MF dalam ekstrak OM berperan penting sebagai stimulan bagi OY kepiting bakau yang berada pada fase intermolt dan tidak berada dalam fase reproduksi. Kondisi ini dinilai sebagai waktu yang tepat bagi kepiting untuk mendapatkan stimulasi molting. Molting inhibiting hormone (MIH) yang berperan dalam menekan sintesis dan sekresi ekdisteroid (Webster dan Keller 1985), pada fase non reproduksi berada dalam level yang rendah. Persentase molting yang tinggi pada kepiting bakau dalam kelompok perlakuan I-O/7 merupakan salah satu bukti keberhasilan stimulasi terhadap sintesis dan sekresi ekdisteroid dari OY.

Bahkan keberhasilan stimulasi yang dilakukan oleh ekstrak OM terhadap OY diduga berperan dalam menekan pelepasan MIH. Oleh karena peningkatan ekdisteroid dalam hemolimfa memaksa terjadinya feedback effect melalui penghambatan pelepasan MIH dari kelenjar sinus, namun tidak menghambat sintesisnya (Huberman 2000). Hasil penelitian ini mempertegas regulasi ekdisteroid yang dipengaruhi oleh keberadaan MF dalam aliran hemolimfa. Demikian pula yang dilaporkan oleh Nagaraju et al. (2006) bahwa jumlah MF berhubungan dengan molting pada kepiting O. senex senex.

Data keserentakan molting membuktikan adanya regulasi hormon yang terorganisir dengan baik sehingga menghasilkan perubahan berarti bagi tubuh kepiting bakau. Penyuntikan dosis ekuivalen 1-O/7 menunjukkan peranan MF yang terorganisir, menjadi pembeda dengan hormon ekdisteroid dan stimulasi molting lainnya. Peranan MF tidak serta merta menghasilkan perubahan ke arah molting, melainkan mempersiapkan kondisi tubuh terlebih dahulu agar sesuai untuk kebutuhan molting.

Salah satu indikator ketidaksiapan molting dapat diamati pada kepiting yang mengalami sindrom gagal molting. Pada kepiting yang mengalami sindrom gagal molting akan tampak jelas terlihat adanya retraksi dan pembentukan endokutikula baru, namun perubahan internal akibat adanya stimulasi tidak sejalan dengan kesiapan tubuh sehingga kepiting mengalami kematian sebelum berhasil berganti karapas. Keserentakan molting yang tinggi dan tidak adanya sindrom gagal molting pada perlakuan 1-O/7 menunjukkan bahwa dosis ekuivalen tersebut merupakan dosis terbaik dalam menstimulasi molting yang simultan.

Respon Pertumbuhan terhadap Penyuntikan Ekstrak Organ Mandibular

Hasil analisis ragam, menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM pada kepiting bakau tidak memberikan pengaruh berbeda (P>0.05) terhadap pertambahan BT dan lebar karapas (LK) sesaat setelah molting. Sementara hasil analisis ragam terhadap data pertumbuhan kepiting bakau tanpa molting, menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM memberikan pengaruh berbeda (P<0.05) terhadap pertambahan BT, namun tidak berpengaruh terhadap pertambahan LK kepiting bakau.

Penelitian ini menemukan pertumbuhan kepiting pada saat postmolt dan tanpa molting. Pertumbuhan tubuh kepiting yang sangat besar terjadi pada saat postmolt, sementara pertumbuhan tanpa molting sangat kecil. Perubahan massa tubuh kepiting merupakan salah satu alasan fisiologis mengapa molting harus terjadi. Massa tubuh yang bertambah sekitar hampir 30% tentunya membutuhkan ruang baru, oleh karena daya tampung ruangan tubuh lama tidak dapat mewadahi lagi. Tubuh kepiting yang terbungkus oleh karapas kaku dan keras harus diganti dengan yang baru, tentunya dengan ukuran lebih besar dibandingkan sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, pertumbuhan antara kepiting dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan penyuntikan memberikan respon pertumbuhan yang tidak berbeda.

Penyuntikan ekstrak OM yang menggunakan berbagai dosis tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap pertambahan BT dan LK dari semua kepiting uji. Sementara MF yang terkandung dalam OM merupakan hormon yang memiliki multi peran (Nagaraju 2007), namun sejauh ini kajian terkait peranan MF dalam memicu pertumbuhan belum pernah dilaporkan. Adapun laporan yang memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan sebenarnya merupakan proses normal sebagai pendukung tercapainya progres lainnya, misalnya dalam morfogenesis (Nagaraju 2007; Sagi et al.1994), proses reproduksi (Nagaraju et al. 2004; 2003), dan molting (Laufer et al. 2005; Abdu et al.2001; Tamone dan Chang 1993). Sementara pertambahan bobot kepiting yang signifikan pada saat postmolt dibandingkan bobot awal adalah salah satunya disebabkan oleh adanya kemampuan reabsorbse kalsium dan bahan-bahan lainnya yang berada dalam perairan (Bergey dan Weis 2007).

Kepiting bakau yang tidak mengalami molting hingga akhir pengamatan tetap mengalami pertambahan BT dan LK, meskipun rata-rata pertambahannya sangat kecil jika dibandingkan sesaat setelah molting. Dari hasil uji lanjut, pertambahan BT kepiting bakau dalam kelompok perlakuan 1-O/7 menunjukkan respon berbeda dibandingkan perlakuan lainnya. Pertambahan BT dan LK tersebut memberikan informasi tambahan sehingga dapat dinyatakan sebagai indikator pertumbuhan internal tubuh. Penyuntikan berbagai dosis ekstrak OM memberikan pengaruh berbeda terhadap pertambahan BT kepiting bakau, beberapa individu kepiting dalam kelompok perlakuan 1-O/7 menunjukkan pertumbuhan BT yang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Temuan ini memperkuat parameter peubah sebelumnya. Kepiting yang tidak mengalami molting hingga akhir pengamatan, tetap menunjukkan pertambahan bobot yang lebih baik. Sedangkan pertambahan LK setelah penyuntikan ekstrak OM tidak memberikan respon berbeda. Struktur keras karapas kepiting bakau merupakan keunikan tersendiri, sehingga pertambahan LK yang lebih besar akan sulit dicapai sebelum terjadinya molting. Pertambahan LK yang mencapai rata-rata 3.67±0.27 mm terjadi karena adanya desakan massa tubuh yang semakin membesar sebagai persiapan untuk molting.

Kelangsungan hidup kepiting bakau setelah penyuntikan ekstrak Organ Mandibular

Hasil analis ragam terhadap data kelangsungan hidup kepiting bakau menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM memberi pengaruh berbeda (P<0.05) terhadap kelangsungan hidup hingga akhir pengamatan. Adapun rata-rata kelangsungan hidup kepiting bakau setelah penyuntikan ekstrak OM disajikan dalam Tabel 4. Berdasarkan hasil uji lanjut, menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari kepiting bakau dalam kelompok perlakuan kontrol memberikan respon berbeda dengan kelompok perlakuan lainnya. Kepiting bakau dalam kelompok perlakuan 1-O/3, 1-O/4, 1-O/6, 1-O/7, 1-O/8, 1-O/9, dan 1-O/11 menghasilkan respon kelangsungan hidup tertinggi, yakni 100%.

Sedangkan parameter kualitas air pada akhir tahun yang dikuatirkan berakibat buruk terhadap pemeliharaan kepiting bakau dapat ditepis dengan adanya data mortalitas rendah. Kepiting bakau yang telah disuntik ekstrak OM dan dipelihara dalam media pemeliharaan dalam kisaran salinitas 32±1.44 - 33±2.14 ppt mampu bertahan hidup dengan baik. Selain itu kisaran suhu air yang tinggi, yakni 30.5±1.35 – 34.1±1.54°C ikut mempertegas bahwa kondisi kepiting setelah penyuntikan relatif lebih prima, sehingga kelangsungan hidup menjadi lebih baik pada kondisi lingkungan tersebut.

Hasil pengamatan kelangsungan hidup kepiting bakau yang telah disuntik ekstrak OM memberikan gambaran kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan kontrol. Ekstrak OM yang di dalamnya terkandung MF diduga berperan penting dalam meningkatkan kemampuan kepiting bakau untuk beradaptasi, akan tetapi belum secara pasti diketahui proses fisiologisnya. Hasil pengamatan pengaruh tekanan hyper-osmotic terhadap Libinia emarginatayang menemukan peningkatan sintesis MF (Ogan et al. 1997) mungkin dapat dijadikan indikator peranan MF dalam meningkatkan kelangsungan hidup.

Kualitas air utama dalam budidaya kepiting lunak yakni salinitas dan suhu selama pengamatan berada pada level yang tinggi, dibandingkan kebutuhan ideal kepiting bakau. Menurut Karim (2008) salinitas optimal untuk kebutuhan metabolisme yang baik bagi kepiting bakau jenis S. olivacea adalah 25 ppt. Pemeliharaan yang dilakukan Aslamyah dan Fujaya (2010) pada kisaran salinitas 36-50 ppt dan suhu 26-35°C mengakibatkan kepiting bakau mengalami stres, yang mengakibatkan induksi molting terganggu. Kondisi kualitas air yang kurang ideal selama pengamatan diduga berkontribusi terhadap mortalitas yang terjadi pada beberapa kepiting dan penghambatan molting pada perlakuan kontrol. Proses osmoregulasi berguna untuk mengendalikan volume cairan tubuh, sebagaimana tekanan osmotik dan komposisi ionik, sehingga peranannya sebagai fungsi adaptasi hewan (Nagaraju 2007).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun