Masa laten stimulasi ekstrak OM terhadap OY kepiting bakau menjadi temuan berharga bagi penelitian fisiologi molting. Berbeda halnya dengan stimulasi dengan menggunakan ekdisteroid yang secara cepat bekerja pada sasaran, MF bekerja secara perlahan dengan menstimulasi OY. Keuntungan fisiologis yang diperoleh dengan adanya stimulasi lambat diantaranya adalah kepiting bakau akan lebih siap untuk berganti karapas, pertumbuhan tubuh lebih proporsional, dan tidak adanya efek negatif terhadap proses fisiologis. Misalnya ekdisteroid yang bekerja lebih cepat, namun dalam pemberiannya tidak boleh melebihi dosis yang dibutuhkan tubuh. Kelebihan dosis tidak hanya berpengaruh terhadap masa laten, melainkan lebih dari itu yakni kematian pada hewan. Misalnya fitoekdisteroid yang mematikan bagi serangga (Dinan 2001). Sementara respon cepat neuropeptida terjadi pada lobster Homarus americanusakibat pemberian ekstrak kelenjar sinus (Tsukimura dan Borst 1992).
Tingginya persentase molting yang dihasilkan oleh kepiting bakau dalam kelompok perlakuan 1-O/7 mengindikasikan adanya pengaruh dosis terhadap keberhasilan molting. Penyuntikan ekstrak OM dosis ekuivalen yang tidak tepat menghasilkan respon molting dengan nilai persentase tidak berbeda antara kepiting dalam kelompok kontrol dan perlakuan penyuntikan lainnya. Perbedaan dosis ekuivalen membuktikan bahwa OM memiliki kapabilitas untuk berperan sebagai stimulan molting pada dosis tertentu. Dosis ekuivalen yang lebih rendah ataupun lebih tinggi dari dosis 1-O/7 tidak menunjukkan respon molting yang lebih baik. Adapun terkait dosis pernah dilaporkan pada kepiting bakau yang diberikan ekdisteroid, dimana jika dosis yang diberikan terlalu rendah maka tidak menghasilkan respon molting, sebaliknya jika dosis terlampau tinggi maka akan mengakibatkan penghambatan (Fujaya et al. 2011). Sedangkan pada spesies lain pengaruh pemberian dosis yang tidak tepat telah dilaporkan berakibat pada kerusakan sel bahkan kematian pada ikan gabus Channa punctatus (Grag 2007), dan Ikan plati koral Xiphophorus maculates (Zairin et al. 2005).
Kehadiran MF dalam ekstrak OM berperan penting sebagai stimulan bagi OY kepiting bakau yang berada pada fase intermolt dan tidak berada dalam fase reproduksi. Kondisi ini dinilai sebagai waktu yang tepat bagi kepiting untuk mendapatkan stimulasi molting. Molting inhibiting hormone (MIH) yang berperan dalam menekan sintesis dan sekresi ekdisteroid (Webster dan Keller 1985), pada fase non reproduksi berada dalam level yang rendah. Persentase molting yang tinggi pada kepiting bakau dalam kelompok perlakuan I-O/7 merupakan salah satu bukti keberhasilan stimulasi terhadap sintesis dan sekresi ekdisteroid dari OY.
Bahkan keberhasilan stimulasi yang dilakukan oleh ekstrak OM terhadap OY diduga berperan dalam menekan pelepasan MIH. Oleh karena peningkatan ekdisteroid dalam hemolimfa memaksa terjadinya feedback effect melalui penghambatan pelepasan MIH dari kelenjar sinus, namun tidak menghambat sintesisnya (Huberman 2000). Hasil penelitian ini mempertegas regulasi ekdisteroid yang dipengaruhi oleh keberadaan MF dalam aliran hemolimfa. Demikian pula yang dilaporkan oleh Nagaraju et al. (2006) bahwa jumlah MF berhubungan dengan molting pada kepiting O. senex senex.
Data keserentakan molting membuktikan adanya regulasi hormon yang terorganisir dengan baik sehingga menghasilkan perubahan berarti bagi tubuh kepiting bakau. Penyuntikan dosis ekuivalen 1-O/7 menunjukkan peranan MF yang terorganisir, menjadi pembeda dengan hormon ekdisteroid dan stimulasi molting lainnya. Peranan MF tidak serta merta menghasilkan perubahan ke arah molting, melainkan mempersiapkan kondisi tubuh terlebih dahulu agar sesuai untuk kebutuhan molting.
Salah satu indikator ketidaksiapan molting dapat diamati pada kepiting yang mengalami sindrom gagal molting. Pada kepiting yang mengalami sindrom gagal molting akan tampak jelas terlihat adanya retraksi dan pembentukan endokutikula baru, namun perubahan internal akibat adanya stimulasi tidak sejalan dengan kesiapan tubuh sehingga kepiting mengalami kematian sebelum berhasil berganti karapas. Keserentakan molting yang tinggi dan tidak adanya sindrom gagal molting pada perlakuan 1-O/7 menunjukkan bahwa dosis ekuivalen tersebut merupakan dosis terbaik dalam menstimulasi molting yang simultan.
Respon Pertumbuhan terhadap Penyuntikan Ekstrak Organ Mandibular
Hasil analisis ragam, menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM pada kepiting bakau tidak memberikan pengaruh berbeda (P>0.05) terhadap pertambahan BT dan lebar karapas (LK) sesaat setelah molting. Sementara hasil analisis ragam terhadap data pertumbuhan kepiting bakau tanpa molting, menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak OM memberikan pengaruh berbeda (P<0.05) terhadap pertambahan BT, namun tidak berpengaruh terhadap pertambahan LK kepiting bakau.
Penelitian ini menemukan pertumbuhan kepiting pada saat postmolt dan tanpa molting. Pertumbuhan tubuh kepiting yang sangat besar terjadi pada saat postmolt, sementara pertumbuhan tanpa molting sangat kecil. Perubahan massa tubuh kepiting merupakan salah satu alasan fisiologis mengapa molting harus terjadi. Massa tubuh yang bertambah sekitar hampir 30% tentunya membutuhkan ruang baru, oleh karena daya tampung ruangan tubuh lama tidak dapat mewadahi lagi. Tubuh kepiting yang terbungkus oleh karapas kaku dan keras harus diganti dengan yang baru, tentunya dengan ukuran lebih besar dibandingkan sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, pertumbuhan antara kepiting dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan penyuntikan memberikan respon pertumbuhan yang tidak berbeda.
Penyuntikan ekstrak OM yang menggunakan berbagai dosis tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap pertambahan BT dan LK dari semua kepiting uji. Sementara MF yang terkandung dalam OM merupakan hormon yang memiliki multi peran (Nagaraju 2007), namun sejauh ini kajian terkait peranan MF dalam memicu pertumbuhan belum pernah dilaporkan. Adapun laporan yang memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan sebenarnya merupakan proses normal sebagai pendukung tercapainya progres lainnya, misalnya dalam morfogenesis (Nagaraju 2007; Sagi et al.1994), proses reproduksi (Nagaraju et al. 2004; 2003), dan molting (Laufer et al. 2005; Abdu et al.2001; Tamone dan Chang 1993). Sementara pertambahan bobot kepiting yang signifikan pada saat postmolt dibandingkan bobot awal adalah salah satunya disebabkan oleh adanya kemampuan reabsorbse kalsium dan bahan-bahan lainnya yang berada dalam perairan (Bergey dan Weis 2007).
Kepiting bakau yang tidak mengalami molting hingga akhir pengamatan tetap mengalami pertambahan BT dan LK, meskipun rata-rata pertambahannya sangat kecil jika dibandingkan sesaat setelah molting. Dari hasil uji lanjut, pertambahan BT kepiting bakau dalam kelompok perlakuan 1-O/7 menunjukkan respon berbeda dibandingkan perlakuan lainnya. Pertambahan BT dan LK tersebut memberikan informasi tambahan sehingga dapat dinyatakan sebagai indikator pertumbuhan internal tubuh. Penyuntikan berbagai dosis ekstrak OM memberikan pengaruh berbeda terhadap pertambahan BT kepiting bakau, beberapa individu kepiting dalam kelompok perlakuan 1-O/7 menunjukkan pertumbuhan BT yang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Temuan ini memperkuat parameter peubah sebelumnya. Kepiting yang tidak mengalami molting hingga akhir pengamatan, tetap menunjukkan pertambahan bobot yang lebih baik. Sedangkan pertambahan LK setelah penyuntikan ekstrak OM tidak memberikan respon berbeda. Struktur keras karapas kepiting bakau merupakan keunikan tersendiri, sehingga pertambahan LK yang lebih besar akan sulit dicapai sebelum terjadinya molting. Pertambahan LK yang mencapai rata-rata 3.67±0.27 mm terjadi karena adanya desakan massa tubuh yang semakin membesar sebagai persiapan untuk molting.