Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Monopoli Kantin Sekolah

10 Januari 2025   08:14 Diperbarui: 10 Januari 2025   17:24 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Menakar konflik yang terjadi antara penjaga kantin dengan siswa yang berjualan di sekolah. (KOMPAS/FRANSISCA NATALIA)

Sebuah insiden tak terduga mencuri perhatian di sebuah sekolah yang tengah melaksanakan kegiatan P5. Video viral memperlihatkan dagangan siswa yang berserakan di tanah karena dibuang oleh penjaga kantin. Tak pelak, peristiwa ini memantik perdebatan. Mengapa makanan yang dengan susah payah disiapkan siswa demi pengalaman berwirausaha malah berakhir di tong sampah?

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang dicanangkan dalam Kurikulum Merdeka sejatinya bertujuan baik. Melalui tema kewirausahaan siswa diajak merasakan langsung tantangan dunia bisnis. 

Dengan penuh semangat siswa mencoba berjualan di sekolah dengan menawarkan hasil kreasi mereka kepada teman-teman. Sayangnya, semangat itu seolah pupus ketika dagangan mereka tidak mendapat tempat.

Mengapa siswa tidak boleh berjualan di sekolah?
Apakah keberadaan mereka benar-benar mengancam keuntungan kantin?
Ataukah ada dinamika lain yang belum kita pahami?

Kantin sekolah kerap menjadi tumpuan utama siswa saat istirahat. Dalam banyak kasus, penjaga kantin merasa keberatan jika ada siswa atau pihak lain turut berjualan makanan. Mereka khawatir pendapatan harian menurun akibat persaingan maupun retribusi kantin sekolah. Namun, benarkah demikian?

Bila di sekolah dengan siswa yang berjumlah ratusan maka kantin seharusnya tidak perlu khawatir. Potensi pembeli yang tinggi bisa menjamin pemasukan yang stabil. 

Sebaliknya, di sekolah dengan jumlah siswa yang sedikit maka mencari untung seringkali dianggap lebih "susah". Bukankah rezeki telah diatur oleh Allah SWT?

Penjaga kantin seharusnya menyadari bahwa kehadiran dagangan siswa bukanlah ancaman. Bisa saja peluang untuk berkolaborasi. Bisa saja kantin turut memasarkan produk siswa dengan sistem bagi hasil. 

Kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Di banyak sekolah, siswa kerap menghadapi larangan keras untuk berjualan. 

Bahkan, di beberapa tempat kantin juga melarang siswa membeli makanan dari pedagang luar. Sikap ini justru menciptakan jarak antara kantin dan warga sekolah.

Orangtua pun akan memandang negatif kantin yang terlalu protektif. Ketimbang menghadapi konflik dengan penjaga kantin maka orangtua memilih menyiapkan bekal sendiri untuk anak. 

Larangan ini juga berpotensi mengikis semangat siswa dalam belajar berwirausaha. Lantaran siswa keterbatasan ruang untuk bereksperimen dan mengasah kreativitas. Padahal, pengalaman ini penting untuk pembentukan karakter.

Menghadapi situasi ini pihak sekolah memiliki peran penting sebagai penengah. Kolaborasi antara kantin dan siswa dapat diwujudkan dengan perencanaan yang matang. Contohnya, mengatur jadwal berjualan. Aspek komunikasi terbuka sangat dibutuhkan guna menghindari konflik. 

Misalnya, di sekolah kami saat pelaksanaan market day, kantin sekolah sengaja memasak sedikit jenis makanan. Untuk menghindari kerugian.

Bagi siswa, larangan berjualan seharusnya tidak memadamkan semangat. Mereka bisa mencari cara lain untuk mengembangkan kemampuan wirausaha seperti menjual produk secara daring di luar lingkungan sekolah.

Di sisi lain, dukungan orangtua juga sangat dibutuhkan bagi anak-anak mereka. orangtua dapat memberikan motivasi serta membantu mencarikan alternatif untuk dagangan siswa.

Penting juga bagi pihak sekolah untuk memberikan edukasi kepada semua pihak mengenai makna rezeki. Penjaga kantin perlu memahami bahwa persaingan sehat justru dapat meningkatkan kualitas layanan mereka.

Semua pihak perlu diingatkan bahwa rezeki adalah urusan Allah SWT. Yang penting adalah tetap berusaha dan bertawakal. Dalam proses ini kita juga diajarkan untuk berbagi kesempatan dan bersyukur.

Peristiwa yang terjadi ini wajib menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Sikap saling mendukung dan percaya akan rezeki yang telah diatur oleh Allah SWT adalah kunci untuk menciptakan harmoni. Dengan begitu, tidak ada lagi dagangan siswa yang terbuang sia-sia karena dirusak.

Masa depan pendidikan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita menangani masalah seperti ini. Jika kolaborasi dan saling pengertian bisa dijunjung tinggi maka program-program seperti P5 dapat menciptakan generasi yang berdaya juang.

Sekolah adalah rumah kedua bagi siswa. Semua pihak seharusnya bisa membuat siswa merasa dihargai, didukung, dan diberi ruang untuk berkembang. Dengan semangat gotong royong kita bisa menjadikan sekolah tempat terbaik untuk tumbuh bersama.

Kantin dan siswa bukanlah lawan. Siswa yang belajar wirausaha tentu tidak pernah berniat untuk mematikan usaha kantin. Kolaborasi adalah kunci untuk mencapai tujuan bersama.

Rezeki itu sudah diatur. tinggal bagaimana kita mensyukuri dan memanfaatkannya dengan bijak. Bukankah lebih indah jika semua pihak bisa berbagi kebahagiaan dan keberkahan? Coba kita renungkan bersama.

Semoga kejadian seperti ini tidak lagi terulang. Hendaknya setiap pihak dapat mengambil hikmah dan memperbaiki diri. bersama-sama menciptakan lingkungan sekolah yang lebih baik.

Semoga ini bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun