Sebuah insiden tak terduga mencuri perhatian di sebuah sekolah yang tengah melaksanakan kegiatan P5. Video viral memperlihatkan dagangan siswa yang berserakan di tanah karena dibuang oleh penjaga kantin. Tak pelak, peristiwa ini memantik perdebatan. Mengapa makanan yang dengan susah payah disiapkan siswa demi pengalaman berwirausaha malah berakhir di tong sampah?
Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang dicanangkan dalam Kurikulum Merdeka sejatinya bertujuan baik. Melalui tema kewirausahaan siswa diajak merasakan langsung tantangan dunia bisnis.Â
Dengan penuh semangat siswa mencoba berjualan di sekolah dengan menawarkan hasil kreasi mereka kepada teman-teman. Sayangnya, semangat itu seolah pupus ketika dagangan mereka tidak mendapat tempat.
Mengapa siswa tidak boleh berjualan di sekolah?
Apakah keberadaan mereka benar-benar mengancam keuntungan kantin?
Ataukah ada dinamika lain yang belum kita pahami?
Kantin sekolah kerap menjadi tumpuan utama siswa saat istirahat. Dalam banyak kasus, penjaga kantin merasa keberatan jika ada siswa atau pihak lain turut berjualan makanan. Mereka khawatir pendapatan harian menurun akibat persaingan maupun retribusi kantin sekolah. Namun, benarkah demikian?
Bila di sekolah dengan siswa yang berjumlah ratusan maka kantin seharusnya tidak perlu khawatir. Potensi pembeli yang tinggi bisa menjamin pemasukan yang stabil.Â
Sebaliknya, di sekolah dengan jumlah siswa yang sedikit maka mencari untung seringkali dianggap lebih "susah". Bukankah rezeki telah diatur oleh Allah SWT?
Penjaga kantin seharusnya menyadari bahwa kehadiran dagangan siswa bukanlah ancaman. Bisa saja peluang untuk berkolaborasi. Bisa saja kantin turut memasarkan produk siswa dengan sistem bagi hasil.Â
Kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Di banyak sekolah, siswa kerap menghadapi larangan keras untuk berjualan.Â
Bahkan, di beberapa tempat kantin juga melarang siswa membeli makanan dari pedagang luar. Sikap ini justru menciptakan jarak antara kantin dan warga sekolah.