Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Baru Kelas 1 Kok Sudah Menyontek saat Ujian?

19 Desember 2024   06:17 Diperbarui: 19 Desember 2024   13:38 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa. Pembaharuan sistem penilaian hasil belajar dan pendidikan untuk mewujudkan generasi berintegritas. (Dok. AKBAR PITOPANG)

Penilaian Sumatif Akhir untuk Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2024-2025 telah usai dilakukan. Pekan ini guru sedang mempersiapkan rapor untuk nantinya diserahkan kepada siswa dan orangtuanya pada hari pembagian rapor. Seperti biasa, momen ini menjadi waktu yang mendebarkan bagi siswa maupun orangtua. Tidak sedikit yang harap-harap cemas menantikan hasil usaha selama satu semester. Rapor menjadi simbol pencapaian belajar meskipun seringkali angkanya lebih menggambarkan hasil akhir daripada proses yang sesungguhnya.

Saat ini, nilai-nilai yang tertera di rapor biasanya sudah sesuai dengan KKTP (Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran). Namun, dibalik angka-angka tersebut ada perasaan yang sulit diabaikan, apakah nilai tersebut benar-benar mencerminkan usaha dan kemampuan siswa?

Fenomena menarik muncul di Kelas 1. Beberapa siswa dengan polosnya mencoba menyontek jawaban teman. Aksi ini dilakukan terang-terangan meski para guru sudah memperingatkan sebelumnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Padahal mereka baru saja memulai perjalanan panjang di dunia pendidikan formal.

Menyontek, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti "mencontoh, meniru, mengutip tulisan pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya". 

Sebuah tindakan yang sekilas terlihat sederhana namun mengandung implikasi mendalam terhadap nilai kejujuran.

Mengutip dari etheses.iainkediri.ac.id, bentuk-bentuk perilaku menyontek antara lain melihat jawaban orang lain, mengizinkan orang lain menyalin atau melihat jawabannya, membuka buku secara sembunyi-sembunyi, saling tukar lembar jawaban, maupun melihat catatan kecil.

Para guru telah berupaya mengingatkan siswa untuk tidak menyontek, baik sebelum ujian dimulai maupun selama ujian berlangsung. Namun, perilaku ini tetap terjadi yang memunculkan pertanyaan besar tentang akar masalahnya.

Apakah tindakan menyontek ini murni karena ketidaktahuan siswa tentang nilai kejujuran atau ada faktor lain yang berkontribusi? 
Mungkin saja, lingkungan sosial dan budaya turut membentuk pola pikir mereka.

Di sisi lain, peran orangtua juga menjadi sorotan. Adakah orangtua secara aktif mendidik anak untuk percaya diri dan mandiri dalam belajar dan ujian? Ataukah fokus orangtua hanya pada hasil ujian yang memuaskan?

Ternyata banyak orangtua mengajarkan anak bahwa nilai bagus adalah tujuan utama. "Rajin belajar, maka ujian akan mudah, dan dapat nilai bagus", begitu kira-kira nasihat yang sering terdengar. Namun, jarang ada yang menekankan pentingnya kejujuran meskipun hasilnya belum memuaskan.

Sikap ini menciptakan tekanan bagi anak. Mereka merasa harus meraih nilai tinggi agar tidak mengecewakan orangtua. meskipun dengan cara yang tidak seharusnya. Tidak heran jika akhirnya menyontek menjadi pilihan.

Sistem pendidikan kita juga memegang peranan penting. Fokus yang terlalu besar pada angka sebagai indikator keberhasilan telah mengaburkan esensi pembelajaran sejati. Seolah-olah nilai tinggi adalah segalanya.

Akibatnya, budaya mengejar hasil dengan segala cara menjadi hal yang lumrah atau dinormalisasi. Tidak peduli bagaimana cara mencapainya sebab yang penting angka di rapor memuaskan.

Fenomena ini memiliki dampak jangka panjang. Jika dibiarkan maka generasi kita akan terbiasa dengan praktik-praktik yang mengabaikan integritas. Dalam konteks yang lebih luas, ini bisa berujung pada perilaku korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Lihatlah kondisi bangsa kita saat ini. Banyak pencapaian materi diraih dengan cara yang mencoreng nilai-nilai moral. Korupsi, nepotisme, dan kolusi menjadi bayang-bayang gelap yang terus menghantui.

Padahal, pendidikan seharusnya menjadi pondasi untuk membangun karakter bangsa. Generasi muda yang penuh integritas adalah harapan besar untuk masa depan yang lebih humanis.

Untuk itu, revolusi sistem penilaian pendidikan menjadi kebutuhan mendesak. Sistem yang ada perlu diarahkan agar lebih menekankan proses dan bukan hanya hasil akhir.

Bayangkan bila sistem pendidikan dimana siswa dihargai atas usaha dan kejujurannya. Sebuah sistem yang memberikan ruang untuk refleksi dan evaluasi diri dan bukan sekadar mengejar angka.

Dalam sistem seperti itu siswa akan belajar menghargai proses. Supaya siswa memahami bahwa kegagalan bukanlah akhir melainkan sisi penting dari pembelajaran yang hakiki.

Orangtua juga perlu dilibatkan dalam perubahan ini. Mereka harus menyadari bahwa pendidikan adalah perjalanan panjang dan bukan perlombaan dalam waktu singkat.

Dengan dukungan dari orangtua, guru, dan kita semua, maka siswa dapat tumbuh menjadi individu yang percaya diri, mandiri, dan jujur. Ini adalah nilai-nilai yang jauh lebih berharga daripada angka di rapor.

Kemendikdasmen memiliki peran kunci dalam mewujudkan perubahan ini. Kebijakan yang berpihak pada pembentukan karakter harus diutamakan sebagaimana yang ditekankan pada Hari Guru Nasional 2024 yang lalu.

Misalnya dengan evaluasi berbasis proyek, portofolio, dan refleksi belajar dapat menjadi alternatif yang lebih humanis. Dengan cara ini, siswa didorong untuk berpikir kritis dan kreatif sekaligus menjaga integritas. 

Materi pelajaran selama ini harus semuanya dipahami ---atau biasanya dihafal--- padahal itu semua hanya fokus pada pengetahuan bukan penerapan dalam kehidupan.

Kemampuan guru juga perlu ditingkatkan. Guru harus memiliki keterampilan untuk menilai siswa secara holistik dan bukan hanya berdasarkan hasil ujian tertulis.

Transformasi ini tentu tidak mudah. Dibutuhkan komitmen dan kerjasama dari semua pihak. Namun, kelak hasilnya akan sepadan dengan usaha yang dilakukan.

Pendidikan bukanlah tentang mencetak siswa dengan nilai sempurna. Pendidikan adalah tentang membentuk manusia yang bermartabat, berintegritas dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Semoga revolusi sistem penilaian pendidikan segera terwujud. Agar kita bersama menciptakan generasi yang jujur dan berkarakter. Aamiin yaa robbal'alamiin..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun