Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa Antre Tidak Masuk Gerakan Kebiasaan Anak Indonesia Hebat?

7 Januari 2025   09:34 Diperbarui: 7 Januari 2025   14:35 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret budaya antre di sekolah membangun generasi berkarakter. Antre membeli jajanan di kantin. (Kompas/Stephanus Aranditio)

Pendidikan bukan hanya tentang seberapa cemerlang siswa menjawab soal saat diujikan atau seberapa fasih mereka berbicara dalam bahasa asing. Imam Syafi’i pernah mengatakan, "ilmu adalah yang memberikan manfaat, bukan yang sekadar hanya dihafal"

Pendidikan sejati adalah tentang membangun nilai-nilai dan karakter yang menjadi fondasi kesuksesan hidup. Pendidikan adalah proses membangun generasi yang tidak hanya pintar secara akademik tetapi juga berkarakter. 

Namun, mari kita jujur saja bahwa memang menciptakan generasi berkarakter adalah tantangan yang tidak mudah.

Karakter yang baik menjadi kunci kesuksesan individu dan masyarakat di masa depan. Seorang individu yang cerdas tanpa karakter hanya akan menjadi ancaman bagi dunia. Inilah mengapa pembentukan karakter menjadi isu yang sangat penting dalam dunia pendidikan saat ini. 

Sekolah sebagai tempat tumbuh kembang anak memegang peranan strategis dalam proses ini. Namun, seringkali kita menghadapi realita yang membuat prihatin. 

Salah satunya adalah budaya antre yang seharusnya menjadi salah satu hal penting di sekolah. Kurangnya budaya antre di kalangan siswa tidak hanya menciptakan kericuhan di kantin tetapi juga dapat berdampak pada perilaku mereka di luar sekolah seperti kebiasaan menyerobot antrean di fasilitas umum atau kurangnya rasa hormat terhadap aturan yang ada. 

Sayangnya, di banyak sekolah malah budaya antre justru sering menjadi masalah yang sulit dipecahkan.

Coba bayangkan dalam waktu istirahat yang hanya 15 menit ada 300 siswa berebut untuk mendapatkan makanan di kantin. Teriakan, dorongan, dan keributan pun acap kali terjadi. Kondisi ini tentu jauh dari nilai-nilai karakter yang ingin kita tanamkan kepada siswa.

Waktu istirahat 15 menit yang terbatas membuat siswa merasa harus bersaing untuk menjadi yang tercepat mendapatkan makanan. Berdasarkan survei sederhana di sekolah, 78% siswa merasa bahwa waktu istirahat yang singkat membuat mereka terburu-buru dan cenderung mengabaikan nilai-nilai kedisiplinan seperti antre secara tertib

Ini menunjukkan perlunya evaluasi terhadap alokasi waktu istirahat untuk mendukung pembelajaran karakter secara optimal. 

Mungkinkah 15 menit cukup untuk siswa belajar antre di kantin sekolah? (Dok. Akbar Pitopang)
Mungkinkah 15 menit cukup untuk siswa belajar antre di kantin sekolah? (Dok. Akbar Pitopang)

Situasi ini tidak hanya menciptakan kekacauan tetapi juga menghilangkan esensi dari nilai-nilai kesabaran, keadilan, dan kedisiplinan. Padahal sekolah seharusnya menjadi ruang untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut secara nyata.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Pertama, mempertimbangkan penambahan waktu jam istirahat. Misalnya, waktu istirahat dapat diperpanjang menjadi 30 hingga 35 menit. Dengan durasi yang lebih panjang diharapkan siswa tidak perlu tergesa-gesa dan bisa lebih tenang dalam antrean. Selain itu, ini juga memberikan waktu yang cukup bagi mereka untuk makan dengan santai tanpa merasa terburu-buru.

Kedua, menetapkan waktu istirahat 15 menit bagi setiap kelas secara bergantian. Caranya adalah siswa dari masing-masing kelas bergantian untuk ke kantin dengan maksud istirahatnya tidak berbarengan semua kelas. Dengan begitu siswa bisa lebih nyaman untuk antre makanan. Sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mengajarkan budaya antre secara langsung. Misalnya, melalui simulasi antrean yang melibatkan guru dan staf sekolah agar memberikan contoh nyata tentang pentingnya praktek budaya antre.

Ketiga, menyediakan jalur khusus antrean. Sebaiknya pihak sekolah atau pihak kantin menyediakan jalur khusus antrean yang diberi pembatas misalnya dengan tali. Sehingga hanya siswa yang antre dalam barisan saja lah yang akan dilayani. 

Keempat, kantin sekolah juga bisa dikelola lebih efisien. Penambahan jumlah pelayan atau pengaturan sistem pemesanan yang lebih terorganisir dapat menjadi solusi. Misalnya kantin sudah mengemas makanan dengan wadahnya lalu siswa tinggal mengambil dan membayarnya saat waktu istirahat tersebut.

Pentingnya budaya antre ditanamkan sejak dini. Menakar efektivitas jam istirahat dalam membangun budaya antre di sekolah. (Dok. Akbar Pitopang)
Pentingnya budaya antre ditanamkan sejak dini. Menakar efektivitas jam istirahat dalam membangun budaya antre di sekolah. (Dok. Akbar Pitopang)

Budaya antre seharusnya menjadi bagian dari nilai-nilai yang ditanamkan secara tegas di sekolah. Dengan pendekatan yang holistik, siswa tidak hanya memahami pentingnya antre tetapi juga merasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi bukan hanya tentang teori tetapi juga praktik nyata.

Di sekolah, semua pihak dapat terlibat dalam proses pendidikan karakter termasuk pihak kantin juga memegang peranan penting dalam pembentukan karakter siswa. 

Kolaborasi antara sekolah dan kantin diperlukan untuk memastikan nilai-nilai yang diajarkan di kelas juga diterapkan di kantin. 

Dalam era modern ini, tantangan dalam pendidikan karakter semakin kompleks. Media sosial dan teknologi seringkali menjadi penghalang bagi pembentukan karakter yang baik. Oleh karena itu, sekolah juga perlu memberikan pendidikan literasi digital mengajarkan mereka tentang etika.

Kembali ke isu budaya antre, sekolah dapat menjadikan ini sebagai bagian dari proyek besar pendidikan karakter. Misalnya, sekolah dapat mengadakan lomba antre terdisiplin atau memberikan penghargaan kepada kelas yang paling tertib saat jam istirahat. Pendekatan ini dapat memotivasi siswa untuk lebih menghargai budaya antre.

Dengan upaya yang konsisten dan terstruktur hendaknya budaya antre dapat menjadi salah satu langkah awal dalam membangun generasi berkarakter. Ini adalah harapan jangka panjang yang hasilnya akan terlihat di masa depan ketika siswa-siswa ini tumbuh menjadi individu yang memiliki integritas tinggi.

Sekolah yang berhasil membangun generasi berkarakter bukan hanya mencetak siswa yang cerdas secara akademik tetapi juga individu yang peduli, bertanggung jawab, dan mampu memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. 

Oleh karena itu, diperlukan sinergi yang kuat antara sekolah, orangtua, dan masyarakat (pihak kantin) untuk memastikan nilai-nilai karakter ini ditanamkan secara konsisten dalam setiap aspek kehidupan siswa. 

Ada tujuan pendidikan sejati yang harus kita capai bersama. Pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab sekolah tetapi juga seluruh elemen masyarakat. 

Nelson Mandela pun mengatakan, “pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat anda gunakan untuk mengubah dunia”. 

Mari kita bekerjasama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pembentukan karakter generasi muda yang mampu membawa perubahan positif bagi dunia.

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun