Pertama, mempertimbangkan penambahan waktu jam istirahat. Misalnya, waktu istirahat dapat diperpanjang menjadi 30 hingga 35 menit. Dengan durasi yang lebih panjang diharapkan siswa tidak perlu tergesa-gesa dan bisa lebih tenang dalam antrean. Selain itu, ini juga memberikan waktu yang cukup bagi mereka untuk makan dengan santai tanpa merasa terburu-buru.
Kedua, menetapkan waktu istirahat 15 menit bagi setiap kelas secara bergantian. Caranya adalah siswa dari masing-masing kelas bergantian untuk ke kantin dengan maksud istirahatnya tidak berbarengan semua kelas. Dengan begitu siswa bisa lebih nyaman untuk antre makanan. Sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mengajarkan budaya antre secara langsung. Misalnya, melalui simulasi antrean yang melibatkan guru dan staf sekolah agar memberikan contoh nyata tentang pentingnya praktek budaya antre.
Ketiga, menyediakan jalur khusus antrean. Sebaiknya pihak sekolah atau pihak kantin menyediakan jalur khusus antrean yang diberi pembatas misalnya dengan tali. Sehingga hanya siswa yang antre dalam barisan saja lah yang akan dilayani.Â
Keempat, kantin sekolah juga bisa dikelola lebih efisien. Penambahan jumlah pelayan atau pengaturan sistem pemesanan yang lebih terorganisir dapat menjadi solusi. Misalnya kantin sudah mengemas makanan dengan wadahnya lalu siswa tinggal mengambil dan membayarnya saat waktu istirahat tersebut.
Budaya antre seharusnya menjadi bagian dari nilai-nilai yang ditanamkan secara tegas di sekolah. Dengan pendekatan yang holistik, siswa tidak hanya memahami pentingnya antre tetapi juga merasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi bukan hanya tentang teori tetapi juga praktik nyata.
Di sekolah, semua pihak dapat terlibat dalam proses pendidikan karakter termasuk pihak kantin juga memegang peranan penting dalam pembentukan karakter siswa.Â
Kolaborasi antara sekolah dan kantin diperlukan untuk memastikan nilai-nilai yang diajarkan di kelas juga diterapkan di kantin.Â
Dalam era modern ini, tantangan dalam pendidikan karakter semakin kompleks. Media sosial dan teknologi seringkali menjadi penghalang bagi pembentukan karakter yang baik. Oleh karena itu, sekolah juga perlu memberikan pendidikan literasi digital mengajarkan mereka tentang etika.
Kembali ke isu budaya antre, sekolah dapat menjadikan ini sebagai bagian dari proyek besar pendidikan karakter. Misalnya, sekolah dapat mengadakan lomba antre terdisiplin atau memberikan penghargaan kepada kelas yang paling tertib saat jam istirahat. Pendekatan ini dapat memotivasi siswa untuk lebih menghargai budaya antre.
Dengan upaya yang konsisten dan terstruktur hendaknya budaya antre dapat menjadi salah satu langkah awal dalam membangun generasi berkarakter. Ini adalah harapan jangka panjang yang hasilnya akan terlihat di masa depan ketika siswa-siswa ini tumbuh menjadi individu yang memiliki integritas tinggi.