Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menakar Gizi di Tengah Tantangan Anggaran Makan Bergizi Gratis

7 Desember 2024   04:42 Diperbarui: 7 Desember 2024   07:24 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rp 10 ribu untuk program makan bergizi gratis, emangnya bisa? Tampak bagian karbohidrat jauh lebih dominan. (Sumber foto: Akbar Pitopang)

Salah satu ambisi pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia lewat pencanangan program makan bergizi gratis. Namun, ketika anggaran per anak turun dari Rp15.000 menjadi Rp10.000, banyak pihak mulai mempertanyakan bagaimana memastikan makanan bergizi dengan angka yang terlihat begitu kecil ini.

Mari kita cermati realitas harga makanan di sekitar kita. Di Pekanbaru, misalnya, harga sarapan sederhana seperti nasi goreng tanpa telur sudah mencapai Rp5.000 hingga Rp7.000. Itu baru nasi goreng tok, belum termasuk komponen gizi lainnya seperti protein atau susu.

Pemerintah juga berencana melengkapi menu dengan susu sebagai salah satu sumber protein dan kalsium. Namun, di warung saja harga susu kemasan berkisar Rp4.000. Jika Rp4.000 digunakan untuk susu, sisa Rp6.000 harus mencakup makanan lengkap. Bagaimana hal ini mungkin tersaji?

Antar daerah memiliki harga bahan makanan belum tentu sama. Di kota besar seperti Jabodetabek harga makanan jauh lebih mahal dibandingkan daerah lain. Anggaran Rp10.000 mungkin cukup di satu daerah tetapi menjadi sulit diterapkan di tempat lain.

Sebagai seorang guru, saya sering memperhatikan bekal siswa di sekolah. Beberapa siswa membawa bekal dibelikan nasi dengan ayam goreng takeaway. Harganya? Di atas Rp10.000. Apa yang bisa diharapkan dengan anggaran pemerintah yang lebih kecil dari itu?

Jika program ini tidak dikelola dengan bijak maka ada risiko bahwa menu yang disediakan mungkin hanya lebih dominan karbohidrat dan minim protein, vitamin, serta mineral. Pola makan seperti ini justru berpotensi memicu masalah kesehatan lain.

Menanti eksekusi program makan bergizi gratis. Dan melihat realita harga makanan saat ini. (Sumber foto: Akbar Pitopang)
Menanti eksekusi program makan bergizi gratis. Dan melihat realita harga makanan saat ini. (Sumber foto: Akbar Pitopang)

Apa sebenarnya definisi makanan bergizi? 

Menurut Kementerian Kesehatan, makanan bergizi harus seimbang mengandung karbohidrat, protein, lemak sehat, serta vitamin dan mineral. Dengan anggaran Rp10.000, bagaimana semua elemen ini bisa tersaji?

Para vendor atau penyedia makanan harus berpikir kreatif untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak dengan anggaran yang ada. 

Beberapa negara telah berhasil menjalankan program makan gratis untuk anak-anak. Jepang, misalnya, terkenal dengan program makan siang sekolahnya yang bergizi dan bergulir sampai sekarang. 

Bila anggarannya kecil sebagaimana yang kita tahu sering menjadi celah untuk eksekusi yang tidak maksimal. Transparansi dalam pengelolaan dana dan pengawasan pelaksanaan program ini menjadi sangat penting.

Program ini diluncurkan dengan harapan besar. Namun, anggaran yang dikurangi menjadi pertanda bahwa komitmen terhadap gizi anak-anak mulai berkurang alias “setengah hati”.

Banyak orangtua mulai mempertanyakan keefektifan program ini. Mereka khawatir anak-anak mereka hanya mendapatkan makanan murah tanpa nilai gizi yang cukup.

Mimpi menyediakan makanan bergizi untuk setiap anak adalah hal mulia. Namun, mimpi ini membutuhkan anggaran yang realistis dan eksekusi yang serius.

Rp 10 ribu untuk program makan bergizi gratis, emangnya bisa? Tampak bagian karbohidrat jauh lebih dominan. (Sumber foto: Akbar Pitopang)
Rp 10 ribu untuk program makan bergizi gratis, emangnya bisa? Tampak bagian karbohidrat jauh lebih dominan. (Sumber foto: Akbar Pitopang)

Anak-anak yang kekurangan gizi di usia sekolah berisiko menghadapi masalah kesehatan dan perkembangan di masa depan. Program ini tidak hanya tentang hari ini tetapi juga tentang masa depan bangsa.

Komunitas lokal bisa membantu keberhasilan program ini. Dengan memberdayakan bahan makanan dari masyarakat mungkin biaya bisa ditekan tanpa mengorbankan kualitas. Atau mungkin mendorong keterlibatan sektor swasta untuk mendukung program ini. melalui subsidi atau donasi perusahaan yang ingin berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.

Dengan perencanaan yang tepat, makanan bergizi bisa diwujudkan meski dengan menu sederhana. Namun, ini membutuhkan “keajaiban” dan keahlian tingkat tinggi.

Contoh sumber protein dan vitamin dalam bekal makanan siswa. (Sumber foto: Akbar Pitopang)
Contoh sumber protein dan vitamin dalam bekal makanan siswa. (Sumber foto: Akbar Pitopang)

Pemerintah, sekolah, komunitas, dan sektor lainnya harus bekerjasama untuk memastikan program ini berjalan dengan baik. Program ini bukan yang pertama. Banyak program sebelumnya yang gagal karena perencanaan dan pengawasan yang lemah. 

Selain biaya yang dianggarkan untuk seporsi makan bergizi gratis, ada juga biaya distribusi makanan ke sekolah-sekolah yang juga menjadi tantangan dalam memastikan makanan tetap segar dan layak konsumsi.

Program ini perlu dikawal dan dievaluasi yang boleh dilakukan oleh semua pihak untuk memastikan bahwa tujuan awal dapat tercapai.

Program makan bergizi gratis ini adalah tanggung jawab. Di tengah semua tantangan, (mungkin) yang bisa kita lakukan adalah untuk tetap optimis bahwa program ini bisa membawa dampak positif bagi generasi.

Dengan terus mengawasi dan memberikan masukan kita bisa membantu pemerintah mewujudkan ambisinya. Mari kita kawal bersama bila memang ada niat baik untuk masa depan anak-anak Indonesia!

Semoga ini bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun