Beberapa negara telah berhasil menjalankan program makan gratis untuk anak-anak. Jepang, misalnya, terkenal dengan program makan siang sekolahnya yang bergizi dan bergulir sampai sekarang.
Bila anggarannya kecil sebagaimana yang kita tahu sering menjadi celah untuk eksekusi yang tidak maksimal. Transparansi dalam pengelolaan dana dan pengawasan pelaksanaan program ini menjadi sangat penting.
Program ini diluncurkan dengan harapan besar. Namun, anggaran yang dikurangi menjadi pertanda bahwa komitmen terhadap gizi anak-anak mulai berkurang alias “setengah hati”.
Banyak orangtua mulai mempertanyakan keefektifan program ini. Mereka khawatir anak-anak mereka hanya mendapatkan makanan murah tanpa nilai gizi yang cukup.
Mimpi menyediakan makanan bergizi untuk setiap anak adalah hal mulia. Namun, mimpi ini membutuhkan anggaran yang realistis dan eksekusi yang serius.
Anak-anak yang kekurangan gizi di usia sekolah berisiko menghadapi masalah kesehatan dan perkembangan di masa depan. Program ini tidak hanya tentang hari ini tetapi juga tentang masa depan bangsa.
Komunitas lokal bisa membantu keberhasilan program ini. Dengan memberdayakan bahan makanan dari masyarakat mungkin biaya bisa ditekan tanpa mengorbankan kualitas. Atau mungkin mendorong keterlibatan sektor swasta untuk mendukung program ini. melalui subsidi atau donasi perusahaan yang ingin berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.
Dengan perencanaan yang tepat, makanan bergizi bisa diwujudkan meski dengan menu sederhana. Namun, ini membutuhkan “keajaiban” dan keahlian tingkat tinggi.
Pemerintah, sekolah, komunitas, dan sektor lainnya harus bekerjasama untuk memastikan program ini berjalan dengan baik. Program ini bukan yang pertama. Banyak program sebelumnya yang gagal karena perencanaan dan pengawasan yang lemah.