Wacana tentang kembalinya Ujian Nasional (UN) kembali menggema dan menggiring beragam reaksi dari pengamat dan masyarakat. Sejumlah pihak merasa optimis bahwa UN bisa menjadi penawar atas permasalahan pendidikan saat ini, sedangkan yang lain justru skeptis, melihatnya sebagai langkah mundur yang kontraproduktif.
Sebagai sebuah sistem penilaian, UN pernah menjadi patokan pencapaian akademik siswa Indonesia, bahkan acap kali dianggap sebagai tiket menuju kesuksesan dalam belajar (baca: kelulusan). Namun, upaya menuju kesuksesan itu seringkali dibayangi oleh tekanan besar yang utamanya dirasakan siswa.
Pelaksanaan UN kerap menjadi momok bagi sebagian besar siswa. Ketegangan pada aspek kesehatan mental dan tekanan dari ekspektasi tinggi, baik dari sekolah maupun orangtua, menciptakan suasana yang kurang kondusif dan kadang dramatis.
Ketika penghapusan UN, ada harapan agar sistem pendidikan bisa lebih menekankan pada aspek pembelajaran yang holistik tanpa tekanan ujian. Namun, penghapusan ini juga membawa dampak lain yang tak terduga.
Banyak laporan di lapangan menunjukkan bahwa setelah UN dihapus, semangat belajar siswa menurun. Siswa-siswa seperti kehilangan motivasi belajar yang dulu mendorong mereka untuk berusaha lebih keras.
Anak didik yang cenderung malas atau kurang disiplin dalam belajar tetap bisa naik kelas, bahkan lulus dengan nilai yang cukup baik tertera di rapor. Ini memunculkan persepsi bahwa proses pendidikan tidak lagi menantang, sehingga keseriusan dalam belajar mulai berkurang.
Di sisi lain, guru dan orangtua mulai merasakan ada penurunan kualitas kemampuan siswa, terutama dalam hal literasi, numerasi, dan kemampuan berpikir kritis. Siswa terlihat kesulitan memahami materi yang lebih kompleks.
Fenomena ini memicu keinginan dari beberapa kalangan untuk mengembalikan UN, dengan harapan bisa mengembalikan standar belajar yang lebih ketat (baca: serius dan bersungguh-sungguh) dan mendorong siswa untuk berusaha lebih keras dalam pencapaian akademik.
Para rekan guru pun merasa UN bisa menjadi tolok ukur yang lebih jelas bagi pencapaian siswa. Mereka berpendapat bahwa ujian ini bisa mengembalikan tantangan dalam belajar. Sekaligus membantu menyeleksi siswa yang memang memiliki daya juang tinggi.
Namun, kembali ke UN tanpa memahami tujuannya dapat berujung pada kesalahan yang sama seperti UN model lama. Jika UN hanya diadakan untuk mengulang sejarah yang telah terjadi, itu hanya akan menjadi beban tambahan yang tidak menghasilkan perbaikan atau dampak nyata dalam sistem pendidikan.
Sebelum mengembalikan UN, kita harus menelaah secara mendalam fungsi sebenarnya dari ujian ini.Â
Apakah UN diharapkan sebagai alat ukur pencapaian, sebagai motivasi belajar, atau sekadar formalitas belaka?
Selain itu, hasil dari pelaksanaan UN yang adil dan jujur juga harus dipertimbangkan. Sistem PPDB zonasi yang diterapkan sekarang memungkinkan siswa masuk ke sekolah unggulan tanpa memperhatikan prestasi akademis.
Sistem zonasi bertujuan baik, yakni untuk memeratakan kualitas pendidikan. Namun, dampaknya adalah siswa yang kurang berjuang dalam belajar tetap bisa masuk ke sekolah berdasarkan lokasi tempat tinggalnya.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah UN tetap relevan jika tidak lagi menjadi syarat masuk ke sekolah lanjutan? Atau justru perannya harus didefinisikan dalam konteks baru?
Tanpa perubahan pendekatan, UN hanya akan kembali berakhir menjadi simbol. Padahal, yang diharapkan adalah bahwa UN bisa memotivasi siswa untuk berkembang dalam bidang akademik dan keterampilan mengamalkan nilai-nilai hidup seperti kejujuran, mandiri, dan bertanggung jawab.
Dalam skala lebih besar, hasil belajar siswa haruslah berfungsi untuk mencerminkan hasil pendidikan secara keseluruhan, bukan sekadar nilai yang tercantum di atas kertas.
Selain itu, penyesuaian UN dengan kebutuhan zaman juga sangat penting. Misalnya, ujian yang hanya mengukur hafalan sudah dianggap usang di era digital ini.
Sistem pendidikan secara global saat ini telah menekankan keterampilan berpikir kritis dan analitis. Serta kemampuan pemecahan masalah, yang menjadi kebutuhan utama di berbagai bidang termasuk di dunia kerja.
Jika UN kembali diadakan, mungkin formatnya perlu disesuaikan untuk lebih fokus pada kompetensi dasar siswa, seperti literasi, numerasi, dan berpikir kritis.
Penilaian berbasis keterampilan seperti ini akan mengurangi ketergantungan siswa pada hafalan dan lebih menekankan pada pemahaman konsep.
Di samping itu, kembalinya UN juga memerlukan persiapan yang matang agar tidak menimbulkan beban mental seperti dulu. Pendekatan yang lebih humanis dan responsif terhadap kondisi psikologis siswa sangat perlu diterapkan.
Juga tidak kalah penting, UN seharusnya tidak lagi dipandang sebagai ujian yang menakutkan, tetapi sebagai alat bantu bagi siswa untuk mengukur sejauh mana hasil perkembangan akademik mereka. Buruk pun hasilnya maka itu bukanlah kiamat atau akhir dari segalanya.
Pendidikan bukan hanya soal ujian. Sistem penilaian hasil belajar siswa idealnya mengintegrasikan aspek akademis, keterampilan, dan pembentukan karakter untuk membentuk generasi yang unggul.
Tantangan besar ada pada perancang kebijakan, guru, sekolah maupun masyarakat dalam mendefinisikan kembali UN yang relevan bagi pendidikan Indonesia saat ini dan nanti.
Kita semua berharap, ada atau tidak ada UN, kualitas pendidikan Indonesia dapat terus meningkat dan membentuk siswa yang kompeten, berdaya juang, tangguh, dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Semoga ini bermanfaat..
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI