Sebelum mengembalikan UN, kita harus menelaah secara mendalam fungsi sebenarnya dari ujian ini.Â
Apakah UN diharapkan sebagai alat ukur pencapaian, sebagai motivasi belajar, atau sekadar formalitas belaka?
Selain itu, hasil dari pelaksanaan UN yang adil dan jujur juga harus dipertimbangkan. Sistem PPDB zonasi yang diterapkan sekarang memungkinkan siswa masuk ke sekolah unggulan tanpa memperhatikan prestasi akademis.
Sistem zonasi bertujuan baik, yakni untuk memeratakan kualitas pendidikan. Namun, dampaknya adalah siswa yang kurang berjuang dalam belajar tetap bisa masuk ke sekolah berdasarkan lokasi tempat tinggalnya.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah UN tetap relevan jika tidak lagi menjadi syarat masuk ke sekolah lanjutan? Atau justru perannya harus didefinisikan dalam konteks baru?
Tanpa perubahan pendekatan, UN hanya akan kembali berakhir menjadi simbol. Padahal, yang diharapkan adalah bahwa UN bisa memotivasi siswa untuk berkembang dalam bidang akademik dan keterampilan mengamalkan nilai-nilai hidup seperti kejujuran, mandiri, dan bertanggung jawab.
Dalam skala lebih besar, hasil belajar siswa haruslah berfungsi untuk mencerminkan hasil pendidikan secara keseluruhan, bukan sekadar nilai yang tercantum di atas kertas.
Selain itu, penyesuaian UN dengan kebutuhan zaman juga sangat penting. Misalnya, ujian yang hanya mengukur hafalan sudah dianggap usang di era digital ini.
Sistem pendidikan secara global saat ini telah menekankan keterampilan berpikir kritis dan analitis. Serta kemampuan pemecahan masalah, yang menjadi kebutuhan utama di berbagai bidang termasuk di dunia kerja.
Jika UN kembali diadakan, mungkin formatnya perlu disesuaikan untuk lebih fokus pada kompetensi dasar siswa, seperti literasi, numerasi, dan berpikir kritis.