Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menghancurkan Pendidikan Dimulai dari Mempolisikan Pendidik

5 November 2024   14:18 Diperbarui: 6 November 2024   05:27 5848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menggugat rasa keadilan dalam kasus-kasus mempolisikan guru. (Ilustrasi via Kompas.id)

Dalam beberapa tahun terakhir, profesi guru tampaknya tidak hanya menghadapi tantangan di ruang kelas, tetapi juga di ranah hukum. Kasus Supriyani, seorang guru honorer yang dituduh menganiaya anak polisi, menggugah kembali perhatian publik akan peran dan posisi guru di masyarakat. Fenomena ini tentu saja mencederai martabat guru, yang sejatinya berperan sebagai garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan bagi generasi penerus bangsa.

Ironisnya, Supriyani bukanlah satu-satunya guru yang terlibat dalam masalah serupa. Beberapa waktu yang lalu, publik juga dikejutkan dengan kasus seorang guru yang mengalami cedera serius pada mata akibat tindakan kasar dari orang tua siswa. Kasus ini menunjukkan adanya ketegangan antara pihak orangtua dan guru yang apabila tidak diselesaikan dengan baik, dapat berdampak buruk bagi ekosistem pendidikan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa guru harus dipolisikan?
Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah selain melalui proses hukum? 

Masih banyak orang yang menganggap bahwa aksi menuntut guru ke pengadilan tampak berlebihan. Karena pada dasarnya, seorang pendidik sejati tidak akan pernah berniat menyakiti anak didiknya.

Masalah ini menunjukkan adanya ketidakharmonisan yang perlu dibicarakan dengan kepala dingin. Semua pihak yang terlibat ---guru, orangtua, bahkan siswa--- perlu duduk bersama, mendiskusikan masalah ini tanpa prasangka, dan mencari solusi terbaik untuk semua.

Di sisi lain, situasi ini bisa memicu kekhawatiran yang mendalam bagi para guru di seluruh negeri. Rasa was-was menyelimuti mereka, terutama ketika tindakan yang sebetulnya diniatkan untuk mendidik malah dapat disalahartikan dan berakhir dengan gugatan hukum.

Rasa cemas ini dapat mengurangi rasa tanggung jawab moral seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Bagaimanapun, mendidik adalah seni yang tidak hanya mengandalkan pengetahuan akademis, tetapi juga melibatkan nilai-nilai kemanusiaan. 

Dalam mengajar dan mendidik, guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga berusaha "memanusiakan manusia."

 Supriyani (36), guru honorer yang menjadi tersangka penganiayaan siswa, sementara penahanannya ditangguhkan. (KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS)
 Supriyani (36), guru honorer yang menjadi tersangka penganiayaan siswa, sementara penahanannya ditangguhkan. (KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS)

Sayangnya, kepekaan tersebut seringkali terhalang oleh prasangka orangtua atau pihak lain yang memandang setiap tindakan guru dengan kecurigaan. Akibatnya, banyak guru yang menjadi ragu untuk memberikan arahan atau teguran pada siswa, karena takut akan tindakan balasan dari pihak orangtua.

Tidak sedikit guru yang akhirnya memutuskan untuk "main aman". Daripada berusaha lebih dalam mendidik karakter siswa, mereka memilih hanya untuk mengajar semata. 

Tindakan ini pada akhirnya mengurangi kualitas pendidikan dan bahkan bisa mengurangi semangat belajar siswa. Parahnya, bisa saja siswa makin "menjadi-jadi" atau lost control.

Di tengah perubahan masyarakat yang dinamis ini, seharusnya kita mendukung guru agar mereka dapat mendidik dengan sepenuh hati. 

Orangtua dan masyarakat perlu memahami bahwa guru memiliki tanggungjawab besar dalam membentuk karakter generasi masa depan.

Tidak ada guru yang ingin melihat siswa mereka gagal. Mereka bahkan sering mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memastikan setiap siswa mendapat pendidikan terbaik. Namun, pengabdian ini seringkali tidak mendapat apresiasi yang memadai.

Kekhawatiran akan pelaporan hukum mungkin membuat guru enggan menegakkan disiplin. Padahal, disiplin merupakan bagian penting dalam pembentukan karakter siswa. Jika disiplin ini hilang, maka kualitas generasi muda juga bisa terancam.

Terlepas dari segala kesulitan yang dihadapi, situasi ini juga menjadi bahan refleksi bagi guru. Sebagai pendidik, perlu terus memperbarui metode dan pendekatan dalam mengajar agar lebih relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan siswa saat ini.

Anak didik belajar di kelas. Menghargai pendidik menyikapi Konflik dengan bijak dalam dunia pendidikan. (Foto: Akbar Pitopang)
Anak didik belajar di kelas. Menghargai pendidik menyikapi Konflik dengan bijak dalam dunia pendidikan. (Foto: Akbar Pitopang)

Guru masa kini dituntut untuk lebih adaptif. Cara-cara mengajar tradisional mungkin tidak lagi sesuai, dan inovasi dalam pengajaran perlu ditingkatkan. Misalnya, guru bisa menggunakan teknologi dan pendekatan yang lebih interaktif untuk mendekati siswa.

Namun, perubahan ini tentu saja tidak mudah. Guru juga membutuhkan dukungan dari pihak sekolah, orangtua, dan masyarakat agar mereka merasa dihargai dalam mengemban tugas yang "berat" ini.

Menghargai guru tidak hanya melalui aspek finansial, tetapi juga melalui apresiasi atas dedikasi mereka. Orangtua dapat menunjukkan dukungan ini dengan bekerjasama dan berkomunikasi lebih baik dengan guru.

Membangun komunikasi yang sehat dan kolaborasi guru dan orangtua adalah salah satu kunci untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang harmonis. Dengan komunikasi yang baik, kesalahpahaman dapat dihindari. Dan fokus pendidikan akan kembali pada tujuan utamanya.

Pendidikan bukan hanya tugas guru. Orangtua juga memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter anak di rumah. 

Sementara guru mendidik di sekolah, orangtua perlu memberikan contoh dan arahan yang baik di rumah sebagaimana mestinya.

Apabila orangtua dan guru mampu bersinergi, proses pendidikan akan berjalan lebih optimal. Anak didik akan merasakan bimbingan yang konsisten dimanapun mereka berada, baik di sekolah maupun di rumah.

Kasus yang melibatkan guru seharusnya tidak perlu berakhir di pengadilan. Dengan adanya mediasi atau pembicaraan terbuka, masalah dapat diselesaikan dengan damai, tanpa harus merusak kehormatan dan nama baik dari pihak-pihak yang terlibat.

Guru adalah pilar penting dalam masyarakat yang berperan mencerdaskan bangsa. Kehilangan kepercayaan pada mereka lalu seenaknya mempolisikan berarti kehilangan bagian penting dalam pendidikan yang kita harapkan untuk masa depan.

Ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah di dunia pendidikan tanpa harus menggunakan jalur hukum. Pendekatan yang bijak dan saling menghormati dapat mencegah timbulnya konflik yang merugikan semua pihak.

Di masa depan, kita berharap tidak ada lagi kasus serupa yang muncul. Mari kita hargai guru dengan memberi dukungan yang mereka butuhkan. Guru maupun dosen adalah pejuang pendidikan yang memberikan kontribusi besar dalam membentuk generasi bangsa.

Semoga, masyarakat dapat lebih memahami pentingnya peran guru dalam kehidupan anak-anak mereka dan menghargai segala bentuk pengorbanan yang telah diberikan. Dukungan ini akan sangat berarti bagi guru dan juga akan berdampak positif bagi siswa.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi bangsa. Dengan menghargai guru, kita menghargai masa depan yang lebih cerah bagi generasi penerus. Insya Allah.

Semoga ini bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun