Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | akbarpitopang.kompasianer@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pentingnya Optimalisasi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah

11 Oktober 2024   10:32 Diperbarui: 11 Oktober 2024   23:12 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Membangun sekolah tanpa kekerasan di era Kurikulum Merdeka. (Foto: Akbar Pitopang)

Kekerasan di lingkungan pendidikan selalu menjadi sorotan. Fenomena ini sangat mengganggu, terutama ketika kita berbicara tentang bagaimana menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi siswa untuk belajar dan tumbuh. Di balik insiden kekerasan, ada banyak faktor penyebab yang saling bercampur aduk, membuatnya sulit untuk menemukan solusi tunggal yang dapat diterapkan secara menyeluruh.

Berbagai studi menunjukkan bahwa tindakan kekerasan di sekolah bisa bersumber dari banyak hal, mulai dari masalah keluarga, pengaruh pergaulan, hingga kondisi mental anak itu sendiri. 

Namun, dalam lingkungan sekolah, sebenarnya guru dan staf pendidikan telah berupaya membentuk karakter siswa, membangun akhlak, bahkan mengembangkan sisi spiritualisme anak didik. 

Meski begitu, masalah tetap saja ada. Dan sekolah perlu berperan lebih untuk mencegah terjadinya kekerasan.

Dengan diperkenalkannya Kurikulum Merdeka, ada upaya dalam mencegah kekerasan di sekolah melalui pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). 

TPPK ini diharapkan menjadi garda terdepan dalam menciptakan sekolah bebas kekerasan. Namun, implementasi di lapangan menunjukkan bahwa tim ini belum mampu menjalankan peran pencegahan dengan optimal. 

Di banyak sekolah, TPPK hanya aktif dalam hal penanganan kekerasan yang telah terjadi, sementara aspek pencegahan cenderung terabaikan.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi TPPK adalah kurangnya pelatihan dan keterampilan untuk mengenali serta menangani potensi kekerasan sebelum menjadi masalah besar. Guru yang sudah disibukkan dengan berbagai tanggung jawab akademis maupun non akademis seringkali tidak memiliki waktu untuk melakukan kampanye anti-kekerasan atau sosialisasi kepada siswa dan orangtua. 

Ini menyebabkan TPPK masih terkesan “jalan di tempat” dan kontribusinya belum terasa signifikan.

Penting untuk dipahami bahwa kekerasan di sekolah tidak hanya melibatkan kekerasan fisik. Bentuk kekerasan verbal, emosional, dan bahkan cyberbullying juga semakin marak. 

Oleh karena itu, sekolah memerlukan pendekatan yang lebih holistik dalam mencegah berbagai bentuk kekerasan ini. Tidak cukup hanya memiliki tim pencegahan, tetapi juga perlu membangun kesadaran kolektif seluruh warga sekolah.

Upaya pencegahan kekerasan di sekolah harus dimulai dengan menciptakan dialog dan keterbukaan. Siswa perlu merasa aman untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi, baik di sekolah maupun di rumah. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator sangat penting. Guru tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga perlu menjadi pembimbing yang dapat mendeteksi tanda-tanda masalah pada siswa sejak dini.

(infografik: andri/kompas.id)
(infografik: andri/kompas.id)

Kurikulum Merdeka sebenarnya memberi peluang besar bagi sekolah untuk lebih fleksibel dalam merancang program pencegahan kekerasan. Namun, sekali lagi, ini semua memerlukan komitmen dan waktu, yang sayangnya seringkali terbatas.

Disamping itu, sekolah juga perlu melibatkan orangtua dalam upaya pencegahan kekerasan. Kolaborasi antara sekolah dan keluarga sangat penting, karena lingkungan rumah memainkan peran besar dalam membentuk perilaku anak. 

Sekolah seharusnya dapat mengadakan sosialisasi, seminar ataupun workshop bagi orangtua tentang bagaimana mendeteksi tanda-tanda kekerasan pada anak dan bagaimana berkomunikasi secara efektif dengan anak-anak mereka.

Namun, pada akhirnya, kunci dari keberhasilan pencegahan kekerasan di sekolah adalah komitmen bersama. TPPK perlu didukung dengan pelatihan yang memadai, waktu yang cukup, serta dukungan dari seluruh komunitas sekolah.

Dalam proses ini, pendidikan akademis yang baik harus sejalan dengan pengembangan karakter. Kegiatan ekstrakurikuler, seperti olahraga, seni, maupun beladiri, bisa menjadi sarana bagi siswa untuk mengekspresikan diri mereka secara positif dan membangun hubungan sosial yang sehat.

Maka, penting bagi sekolah untuk terus melakukan evaluasi terhadap efektivitas program-program pencegahan yang ada. Setiap TPPK dan pihak sekolah perlu duduk bersama untuk menilai apakah upaya yang dilakukan sudah memadai atau perlu ditingkatkan. 

Tanpa evaluasi yang berkelanjutan, sulit untuk mengetahui apakah program pencegahan yang diterapkan sudah berjalan sesuai harapan.

Dengan begitu, TPPK tidak hanya sekadar ada di atas kertas, tetapi benar-benar berfungsi sebagai “agen perubahan” anti kekerasan di lingkungan sekolah.

Pencegahan kekerasan di sekolah memang bukan tugas yang mudah, tetapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Dengan sinergi yang baik antara semua pihak, serta pemanfaatan sumber daya yang ada, kita dapat menciptakan sekolah yang bebas dari kekerasan. 

Kita menginginkan semua siswa di  sekolah bisa seperti ini. (Foto: Akbar Pitopang)
Kita menginginkan semua siswa di  sekolah bisa seperti ini. (Foto: Akbar Pitopang)

Inilah saatnya bagi kita semua untuk bergerak bersama, mewujudkan sekolah yang benar-benar menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya karakter mulia. Sebuah tempat dimana kekerasan tidak lagi menjadi ancaman, melainkan hal yang telah kita tinggalkan dan tak lagi terulang. 

Upaya mencegah kekerasan di sekolah adalah investasi jangka panjang untuk masa depan. Saat kita berhasil menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman, kita tidak hanya melindungi siswa dari bahaya, tetapi juga menciptakan tempat dimana mereka dapat tumbuh dan belajar dengan maksimal.

Pada saat yang sama, sekolah harus memastikan bahwa program-program yang mendukung kesehatan mental siswa terus diperkuat. 

Pendekatan lain yang juga tak kalah penting adalah menanamkan nilai-nilai positif melalui kegiatan sehari-hari. Pentingnya saling menghormati adalah cara untuk menginternalisasi nilai-nilai tersebut dalam interaksi sosial mereka sehari-hari.

Untuk mendukung TPPK ini, meskipun tantangannya banyak, ada banyak kisah sukses dari sekolah-sekolah yang telah berhasil menekan angka kekerasan. Adalah sekolah yang secara konsisten menerapkan program-program pencegahan yang melibatkan seluruh warga sekolah.

Hal tersebut harus dijadikan inspirasi bagi sekolah-sekolah lain yang masih berjuang menghadapi masalah yang sama.

Nah, kita harus menyadari bahwa pencegahan kekerasan adalah tanggung jawab bersama. Tidak hanya sekolah melalui TPPK, tetapi juga dari orangtua, komunitas/praktisi pendidikan, dan pemerintah memiliki peran dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan positif. 

Sekolah yang bebas dari kekerasan bukan hanya impian, melainkan tujuan yang harus kita capai bersama. Kini menjadi cita-cita yang layak diperjuangkan untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi kita.

Semoga ini bermanfaat..

Literasi: Merdeka dari Kekerasan.

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun