Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Stop Menormalisasi Emak-emak "Caper" kepada Guru (Muda)

30 September 2024   11:58 Diperbarui: 1 Oktober 2024   08:12 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- Guru olahraga berinteraksi dengan murid. (Freepik)

Kasus asusila seorang guru dengan siswinya yang baru-baru ini terjadi di Gorontalo menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Kejadian ini seakan membuka mata kita bahwa meski kehangatan dan kedekatan adalah bagian penting dalam membangun ikatan di lingkungan sekolah, tetap ada batasan yang harus dijaga. Sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki peran besar dalam menegakkan etika dan norma demi menjaga integritas hubungan dan atau interaksi antar warga sekolah.

Hubungan antara guru dan siswa harus dibangun dengan dasar profesionalisme. Guru sebagai pendidik dan role model, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan interaksi yang terjadi di dalam dan luar kelas selalu berada dalam koridor etis atau sesuai kode etik. 

Kedekatan emosional yang sehat tentunya diperlukan untuk mendukung proses belajar, tetapi penting bagi guru untuk tidak pernah mengaburkan prinsip profesionalisme dalam bentuk apapun.

Ilustrasi guru muda di sekolah. | sumber: iStockphoto.com
Ilustrasi guru muda di sekolah. | sumber: iStockphoto.com

Perlu diingat bahwa siswa adalah individu yang masih dalam proses pembentukan karakter. Mereka rentan dan mudah terpengaruh oleh figur pengayom seperti guru. 

Hal inilah yang menuntut para guru untuk tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga berperan sebagai pendidik akhlak, pembentuk karakter, dan pengarah moral yang menjaga nilai-nilai luhur. 

Maka sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang aman bagi setiap individu di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk memiliki kebijakan yang jelas mengenai kode etik perilaku antara guru, siswa, dan orangtua. 

Kejelasan mengenai batas-batas interaksi ini perlu selalu disosialisasikan dan dipahami oleh semua pihak. Sehingga semua warga sekolah bisa bekerja sama dengan nyaman dan saling menghormati.

Kasus di Gorontalo ini juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa teknologi dan media sosial dapat menjadi pedang bermata dua. Interaksi antara guru dan siswa, meskipun terlihat wajar, tetap harus diatur secara bijaksana. Keleluasaan berkomunikasi secara daring bisa menimbulkan celah bagi pelanggaran batas profesional, apabila tidak diawasi dengan ketat.

Nah, menjaga batasan dalam setiap interaksi di sekolah merupakan tanggung jawab bersama. Guru, siswa, orangtua, dan juga pihak sekolah harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang kondusif, aman, dan profesional. 

Jika kita mampu menjaga batasan ini dengan baik, insiden seperti yang terjadi di Gorontalo dapat dihindari, dan dunia pendidikan akan menjadi tempat yang lebih baik untuk masa depan generasi penerus bangsa.

Guru muda dan wali murid. Bercanda boleh, asal ada batasan meski di media sosial. | ilustrasi via dream.co.id
Guru muda dan wali murid. Bercanda boleh, asal ada batasan meski di media sosial. | ilustrasi via dream.co.id

Jangan Caper, Pentingnya Self-Control 

Selain hubungan antara guru dan murid, penting juga untuk menyoroti hubungan antara guru dan wali murid. Sebagai mitra dalam pendidikan, kolaborasi guru dan orangtua memang sangat krusial. 

Namun, harus tetap diingat bahwa ramah tamah antara guru dan orangtua tidak boleh menjurus ke dalam hubungan yang berpotensi menimbulkan "kemesraan" atau pelanggaran batas etika.

Di era sekarang, sekolah-sekolah banyak diisi oleh guru-guru muda dalam rentang usia Gen Z dan Milenial. Dengan rentang usia yang masih muda, mereka seringkali menjadi sasaran perhatian lebih dari wali murid, terutama para emak-emak. 

Namun, ada fenomena yang terlihat di beberapa kesempatan, di mana hubungan antara guru muda dan wali murid kerap disertai canda berlebihan yang terkadang keluar dari batas profesionalisme. 

Interaksi ini, meskipun terlihat ringan dan sepele, bisa membawa dampak yang kurang baik jika dibiarkan tanpa kendali.

Memang, menjaga komunikasi yang baik antara guru dan wali murid adalah hal penting untuk mendukung perkembangan siswa. Namun, ada kalanya interaksi ini justru terlalu santai hingga menimbulkan kesan genit atau bercanda yang tidak pada tempatnya. 

Para wali murid, khususnya emak-emak, kadang merasa terlalu akrab dengan para guru muda, dan tanpa disadari mereka melontarkan candaan yang seharusnya tidak dilontarkan dalam ruang pendidikan.

Bercanda dalam batas yang wajar tentu tidak masalah. Tetapi, ketika candaan tersebut mulai mengaburkan batasan antara profesionalisme dan privasi personal, disitulah risiko muncul. 

Tidak jarang, kasus asusila bermula dari interaksi yang awalnya dianggap ringan dan santai, tetapi kemudian berkembang menjadi hal yang jauh lebih intens dan menjadi memalukan.

Kehadiran media sosial memperbesar ruang interaksi antara guru dan wali murid. Dalam situasi ini, penting bagi setiap pihak untuk menyadari bahwa interaksi digital sekalipun tetap harus mematuhi etika profesional. 

Terkadang, lelucon yang dibuat di ruang chat atau grup media sosial bisa disalahartikan, dan ini dapat menjadi pintu masuk bagi hubungan yang melampaui batas. Semua pihak harus menjaga kehati-hatian, karena celah kecil bisa berakibat fatal.

Integritas adalah hal yang harus dijaga oleh setiap pendidik. Sebagai guru muda, penting untuk memiliki self-control yang kuat dalam menghadapi situasi yang mungkin "menggoda". 

Wali murid pun harus menyadari bahwa meskipun keakraban bisa membangun hubungan yang baik, tetap ada batasan yang tidak boleh dilanggar. 

Kedua belah pihak harus saling menghormati peran dan fungsinya masing-masing demi menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat.

Menjaga jarak aman dalam membangun etika interaksi guru dan murid. | ilustrasi: huitu.com
Menjaga jarak aman dalam membangun etika interaksi guru dan murid. | ilustrasi: huitu.com

Anak Meniru Bagaimana Orangtua Berinteraksi

Menjaga jarak aman dalam interaksi antara guru dan wali murid bukan hanya soal profesionalisme, tetapi juga memberikan contoh yang baik bagi anak didik. 

Anak-anak adalah peniru ulung. Yang mana mereka akan mengamati dan meniru bagaimana orangtua mereka berinteraksi dengan orang lain, termasuk guru. 

Jika wali murid, khususnya emak-emak yang aktif di media sosial seperti TikTok, sering bercanda berlebihan atau genit kepada guru muda, ini bisa membentuk persepsi yang salah di benak anak.

Saat anak melihat orangtua mereka berinteraksi secara genit dengan guru, mereka bisa menganggap bahwa sikap tersebut wajar untuk ditiru. Hal ini dapat menimbulkan masalah di kemudian hari, karena anak-anak akan merasa sah-sah saja berperilaku serupa terhadap gurunya. 

Akibatnya, batas-batas profesionalisme antara siswa dan guru bisa kabur, yang berpotensi menciptakan situasi yang diluar batas di lingkungan sekolah layaknya yang terjadi di Gorontalo.

Sekali lagi, membangun hubungan yang sehat dan profesional antara guru dan wali murid sangatlah penting untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Wali murid perlu memahami bahwa meskipun interaksi yang ramah diperlukan, ada batasan yang tidak boleh dilewati. 

Demikian pula dengan para guru, khususnya yang masih muda, mereka harus mampu menjaga integritas dan menghormati peran mereka sebagai pendidik serta role model.

Penting bagi kita untuk menyadari bahwa setiap tindakan orang dewasa memiliki dampak langsung terhadap perkembangan anak. 

Mengajarkan batasan yang sehat dalam berinteraksi akan membentuk anak-anak yang paham etika dan memiliki rasa hormat terhadap gurunya. Ini adalah pondasi yang kuat untuk menciptakan generasi yang berkarakter baik dan bermoral tinggi.

Maka, ayo bersama-sama menjaga interaksi yang sehat dan profesional ---antara guru dan wali murid, juga antara guru dan siswa--- demi menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan terjamin. 

Jangan sampai kasus-kasus yang memalukan dan menyedihkan seperti asusila antara guru dan murid di Gorontalo kembali terulang.

Bercanda itu boleh, tapi tetap dalam batasan yang sehat. Dengan begitu, kita semua turut menjaga integritas, keamanan, dan kenyamanan bagi semua pihak di lingkungan pendidikan.

Mari kita semua mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Bukan sekadar untuk menghukum, tetapi untuk belajar dan berkembang menjadi institusi yang lebih baik. Dengan menegakkan batasan-batasan yang jelas antara profesionalisme dan kedekatan personal di lingkungan pendidikan.

Semoga ini bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun