Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Salah Asuhan" dalam Kasus Asusila Guru dan Murid di Gorontalo

28 September 2024   04:47 Diperbarui: 28 September 2024   05:04 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relasi di balik skandal guru dan siswi, ketika "mengayomi" berubah menjadi manipulasi. | ilustrasi kompas.id

Di dunia pendidikan, seorang guru seharusnya menjadi teladan, figur yang membimbing murid untuk mencapai potensi terbaiknya. Namun, sayangnya, baru-baru ini sebuah kasus video asusila dari Gorontalo justru memantik perhatian publik dan sekaligus telah menodai reputasi institusi pendidikan. Sebuah video viral memperlihatkan seorang guru terlibat hubungan tidak pantas dengan siswinya. Meski sebagian netizen melihatnya sebagai "suka sama suka", realitasnya lebih kompleks dan mengkhawatirkan.

Ketika kita berbicara tentang hubungan antara guru dan murid, yang sering terlupakan adalah relasi kuasa yang terlibat. Guru, dalam hal ini, memiliki otoritas besar terhadap murid. 

Otoritas ini tidak hanya mencakup wewenang akademis, tetapi juga menyangkut aspek psikologis dan emosional. Ini adalah celah yang berbahaya, yang dapat disalahgunakan oleh oknum guru untuk menanamkan pengaruh lebih besar daripada yang seharusnya.

Dalam banyak kasus, hubungan seperti ini bukanlah soal "suka sama suka". Sebaliknya, ini lebih sering merupakan hasil dari proses manipulasi yang berjalan secara halus. 

Guru, dengan posisinya yang dianggap bijak dan berpengalaman, dapat menggunakan pendekatan yang seolah-olah mengayomi, membuat murid merasa nyaman dan percaya. Namun di balik "kelembutan" itu, ada agenda tersembunyi, yakni mengeksploitasi kerentanan murid. Diketahui ternyata siswi ini merupakan anak yatim piatu.

Siswi yang masih dalam proses tumbuh kembang dan pencarian jati diri, seringkali tidak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi. Mereka mungkin merasa terikat secara emosional kepada guru yang dianggap sebagai sosok pelindung. 

Ironisnya, hubungan yang awalnya terlihat seperti bentuk perhatian dan kepedulian ini, malah bisa berubah menjadi perangkap yang sulit dihindari. Ternyata guru bisa saja telah menjalankan aksi "child grooming".

via kompas.tv
via kompas.tv

Kasus asusila ini seharusnya membuka mata kita terhadap betapa pentingnya pengawasan di lingkungan sekolah. Tidak hanya untuk mencegah kasus-kasus seperti ini, tetapi juga untuk membangun sistem dimana siswa merasa aman dan terlindungi dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang seharusnya menjadi panutan. 

Regulasi dan kode etik yang lebih ketat perlu diterapkan agar setiap guru memahami batasan moral dan profesional.

Sebagai orang tua, penting pula untuk terus berkomunikasi dengan anak. Anak-anak perlu diajari untuk mengenali tanda-tanda hubungan yang tidak sehat, terutama jika melibatkan figur orang dewasa. 

Dengan memberikan pemahaman ini, kita bisa membantu anak untuk lebih waspada dan mencegah terjadinya situasi yang tidak diinginkan.

Tentu saja, kejadian di Gorontalo bukanlah pertama kalinya kasus seperti ini muncul ke permukaan. Namun, setiap kali kita mendengar berita semacam ini, kita harus selalu ingat bahwa pendidikan adalah tentang menanamkan nilai-nilai moral yang baik, bukan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan. 

Kasus-kasus asusila ini harus menjadi peringatan keras bagi kita semua bahwa sistem pendidikan kita memang sedang tidak baik-baik saja dan perlu terus diperbaiki.

Pentingnya menjaga batasan. Ketika relasi guru dan murid bisa menyimpang. | ilustrasi: sekolah cikal
Pentingnya menjaga batasan. Ketika relasi guru dan murid bisa menyimpang. | ilustrasi: sekolah cikal

Maka, kasus video asusila guru dan siswinya viral di Gorontalo ini kembali membuka mata kita akan lemahnya pengawasan dan pengendalian dalam dunia pendidikan. 

Sejak kedekatan guru dan murid ini dimulai pada 2022, tak satupun pihak di sekolah tampaknya menyadari adanya tanda-tanda yang mencurigakan. 

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, apakah tidak ada yang memperhatikan gestur yang tak wajar di antara keduanya? Atau, lebih buruk lagi, apakah tak ada yang berani menegur?

Meskipun relasi guru dan murid umumnya dianggap positif dan profesional, tapi kasus ini menunjukkan bahwa penyimpangan bisa terjadi di tempat yang seharusnya paling aman. 

Sulit memang untuk menerka sesuatu yang berada di luar dugaan, terutama karena masyarakat cenderung mempercayai bahwa hubungan guru-murid didasari oleh niat baik. 

Namun, kita perlu sadar bahwa pengawasan tetap dibutuhkan agar batas-batas profesionalisme tetap terjaga.

Tentu saja, sekali lagi ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak; sekolah, orangtua, dan stakeholder masyarakat secara umum. 

Sekolah perlu memperkuat regulasi dan kode etik, tidak hanya untuk melindungi murid, tetapi juga untuk menjaga integritas para pengajar. 

Guru perlu diingatkan bahwa peran mereka bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga menjaga standar moral yang tinggi, tanpa pernah melewati batas kapasitasnya.

Bila orangtua telah tiada maka pihak keluarga juga memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi dan mendampingi anak-anak, terutama saat mereka berada dalam fase butuh perhatian lebih serta masa pubertas yang rawan. 

Di masa ini, anak-anak sering mencari perhatian lebih, baik dari keluarga maupun lingkungan di luar rumah, seperti sekolah. 

Di sinilah peran penting orangtua dan keluarga untuk selalu terbuka dalam komunikasi, memberikan kasih sayang dan pemahaman yang lebih agar anak tidak merasa harus mencari dukungan emosional dari orang lain yang tidak sepatutnya.

Ketika terjadi kelalaian, kita tidak hanya kecolongan, tetapi juga mencoreng citra pendidikan yang dinilai menjadi tempat yang aman dan positif. 

Ilustrasi. guru harus menjaga integritas pendidikan. | ANTARA/Norjani via kompas.com 
Ilustrasi. guru harus menjaga integritas pendidikan. | ANTARA/Norjani via kompas.com 

Semua pihak harus bersinergi untuk membangun lingkungan yang sehat, dimana murid merasa aman dan terlindungi, sementara guru menjalankan tugasnya dengan integritas tinggi.

Kasus ini harus menjadi alarm keras bagi kita semua. Batasan yang jelas antara guru dan murid perlu ditegakkan tanpa kompromi. 

Jangan sampai karena kita terlalu percaya, kita malah menutup mata terhadap penyimpangan yang bisa merusak masa depan generasi.

Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing moral bagi para murid. Ketika figur yang seharusnya menjadi pelindung justru menyalahgunakan kekuasaan mereka, seluruh institusi pendidikan ikut terkena dampaknya. 

Mari kita bersatu untuk memastikan bahwa lingkungan sekolah tetap menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk belajar dan tumbuh.

Pendidikan adalah kunci peradaban. Ayo kita pantau integritas para guru dengan ketegasan dan perhatian lebih, karena masa depan anak-anak kita sangat bergantung pada bagaimana kita menjaga mereka hari ini.

Semoga aib seperti ini tidak terulang kembali. Astaghfirullah..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun