Di era yang serba digital seperti sekarang, kehidupan kita sangat bergantung pada teknologi, terutama kita seakan tidak bisa hidup tanpa smartphone. Hampir setiap orang memiliki akses internet di genggaman tangan mereka. Tak terkecuali di lingkungan sekolah. Jika beberapa tahun lalu koran harian menjadi teman setia para guru untuk mengikuti perkembangan berita, kini keberadaannya seakan tergeser oleh laman berita online yang lebih cepat dan mudah diakses. Tak heran, ketika loper koran datang setiap pagi lalu koran diletakkan di ruang majelis guru, kertas-kertas itu hanya tergeletak begitu saja.
Perubahan ini tak bisa dipungkiri sebagai konsekuensi dari revolusi informasi. Generasi sekarang lebih memilih membuka aplikasi berita daripada membolak-balik lembaran koran.Â
Di satu sisi, ini menunjukkan efisiensi dengan satu ketukan jari, berita terkini dapat langsung muncul di layar.Â
Berbeda dengan koran yang harus menunggu waktu cetak dan distribusi. Bahkan, berita di koran seringkali sudah kita ketahui dari media sosial beberapa jam sebelumnya.
Namun, di balik kecepatan teknologi, ada sesuatu yang hilang dari budaya membaca koran. Lembar demi lembar koran memberikan pengalaman yang tak bisa digantikan oleh layar digital.Â
Sayangnya, bagi banyak guru di sekolah-sekolah, kenyataan bahwa waktu terbatas dan teknologi menggantikan segalanya membuat kebiasaan ini perlahan ditinggalkan.Â
Meskipun begitu, eksistensi koran cetak belum benar-benar padam. Masih ada institusi, perpustakaan, atau beberapa sekolah yang tetap berlangganan koran. Bagi mereka, koran memiliki nilai historis dan peran edukatif yang tak tergantikan.Â
Dengan koran, kita bisa menyentuh langsung sejarah dan berbagai kejadian yang tertulis dan menyimpan dokumentasi cetak sebagai arsip berharga. Mungkin ini yang membuat beberapa sekolah masih bertahan dengan langganan koran, meskipun hanya sebagai simbol dari tradisi membaca koran.
Di tengah gempuran konten viral dan informasi instan, koran cetak masih menawarkan kualitas dalam penyajian berita yang terverifikasi dan lebih terpercaya.
Bagi para guru di sekolah, tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara teknologi dan tradisi literasi.Â
Teknologi memungkinkan akses informasi yang cepat, tetapi koran memberikan kedalaman dan kenikmatan tersendiri dalam membaca.Â
Akankah koran bertahan di era digital ini? Jawabannya mungkin ada pada kemampuan kita menghargai informasi, dari manapun sumbernya, meski itu dari lembaran kertas koran.
Untuk Apa Sekolah Masih Berlangganan Koran?
Meski kita hidup di zaman serba digital, ada sekolah yang tetap setia berlangganan koran cetak, termasuk sekolah kami. Dengan menggunakan dana BOS, setiap pagi loper koran rutin mengantar edisi terbaru.Â
Di ruang majelis guru, koran tersebut menjadi sumber informasi bagi beberapa guru yang masih menikmati pengalaman membaca berita di atas kertas. Namun, tak dapat dipungkiri, sebagian lainnya lebih memilih mengakses berita secara online melalui smartphone mereka.
Kehadiran koran cetak di sekolah kami sebenarnya lebih dari sekadar sarana informasi. Sebagai Ketua Bank Sampah di sekolah, saya mengambil peran penting dalam pengelolaan limbah kertas ini. Setiap hari, saya mengumpulkan koran-koran tersebut setelah selesai dibaca, lalu mengumpulkannya di tempat khusus.Â
Ini adalah bentuk upaya kami untuk memanfaatkan kembali koran-koran tersebut secara bijak dan tidak langsung dibuang begitu saja.
Pemanfaatan koran cetak ini ternyata cukup beragam. Misalnya, ada guru atau siswa yang memanfaatkan lembaran koran untuk membersihkan kaca kelas atau untuk melap meja-meja yang kotor. Bahkan, bagi mereka yang aktif di kegiatan seni, koran ini sering digunakan sebagai media atau bahan membuat prakarya. Artinya, koran tetap memiliki fungsi meskipun peran utamanya sebagai sumber berita mulai bergeser.
Setelah terkumpul dalam jumlah yang cukup banyak, koran-koran ini kemudian disetor ke Bank Sampah untuk dijual dan tujuan akhirnya adalah didaur ulang.
Koran yang awalnya dianggap hanya sebagai sumber informasi yang sudah usang, ternyata masih dapat memberikan nilai ekonomi dan juga berkontribusi pada budaya pengelolaan sampah kertas.
Berlangganan koran di sekolah pun bisa dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap industri media cetak yang terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.Â
Nah, dengan segala manfaatnya, tidak ada salahnya jika sekolah-sekolah tetap mempertahankan berlangganan koran cetak.Â
Selama koran-koran ini dapat dimanfaatkan dengan baik, bahkan bisa diintegrasikan dengan program lingkungan seperti Bank Sampah, keberadaan koran cetak masih memberikan banyak manfaat yang relevan di tengah era digital saat ini.
Budaya Membaca dan Literasi dalam Konteks Pendidikan di Sekolah
Di era digital, koran cetak mungkin terasa kuno bagi sebagian orang. Namun, jika benar-benar dimanfaatkan, koran memiliki potensi besar, terutama dalam mendukung proses pendidikan dan membangun budaya literasi di sekolah.Â
Tidak hanya sebagai sumber informasi, koran bisa menjadi alat untuk meningkatkan minat baca siswa dan memperkaya pengetahuan mereka dengan berita-berita terkini.Â
Di sekolah, tidak semua siswa memiliki akses ke smartphone. Ini adalah peluang emas untuk mengoptimalkan penggunaan koran cetak sebagai sumber literasi bagi mereka.Â
Koran yang datang setiap pagi bisa dijadikan bahan bacaan bagi siswa. Jika koran hanya dibiarkan tergeletak di ruang majelis guru, mengapa tidak mencoba memajangnya di mading sekolah.Â
Dengan begitu, siswa, guru, dan warga sekolah dapat mengakses informasi harian secara mudah.
Langkah sederhana seperti memasang koran di mading sekolah dapat menjadi salah satu cara efektif untuk memperkenalkan siswa pada dunia berita dan informasi.Â
Mereka bisa belajar lebih banyak tentang perkembangan dunia luar, bahkan tentang isu-isu penting yang mungkin tidak terjangkau dalam buku pelajaran.Â
Ini juga bisa menjadi cara bagi sekolah untuk menanamkan kebiasaan membaca yang bermanfaat, sekaligus menambah wawasan siswa dari sumber-sumber terpercaya.
Tidak hanya itu, langkah ini bisa menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain. Alih-alih membiarkan koran menumpuk atau tidak terpakai, sekolah dapat mengoptimalkan keberadaan koran cetak untuk mendukung kegiatan belajar mengajar.Â
Bila perlu, sekolah bisa menambah mading agar lebih banyak halaman koran yang bisa terpajang. Dengan demikian, seluruh siswa dapat menikmati berbagai informasi tanpa harus berebut atau menunggu giliran untuk membaca koran.
Pentingnya mengalokasikan dana BOS untuk menambah mading atau fasilitas penunjang literasi seperti ini tentu sejalan dengan tujuan pendidikan.Â
Pengembangan budaya literasi tidak hanya terbatas pada buku teks, tetapi juga melalui akses informasi dari media cetak seperti koran.Â
Dalam konteks pendidikan, hal ini justru dapat memperkaya metode pengajaran yang lebih bervariasi dan dinamis yang sesuai dengan konsep pembelajaran terdiferensiasi ala Kurikulum Merdeka.
Berbeda dengan informasi yang mungkin bersifat dangkal di media sosial, koran memberikan pandangan lebih mendalam yang bisa menstimulasi diskusi di kelas.
Meskipun teknologi terus berkembang, koran cetak tetap relevan dalam mendukung proses pendidikan di sekolah. Selain sebagai alat untuk mendukung literasi, koran juga bisa menjadi sarana bagi siswa untuk mengenal dunia di luar buku pelajaran.Â
Asalkan dengan pengelolaan yang baik, maka jangan biarkan koran cetak terabaikan di era digital. Mari manfaatkan sepenuhnya, agar siswa dapat terus belajar dan memahami dunia di sekitar mereka, sekaligus memperkuat budaya membaca di sekolah.Â
Dengan sentuhan inovasi sederhana seperti memajang koran di mading, kita bisa menciptakan lingkungan belajar yang lebih kaya dan beragam.
Semoga ini bermanfaat..
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H