Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sudah Kerja Keras Bagai Kuda, Gaji (Masih) Dipotong Tapera

5 Juni 2024   06:19 Diperbarui: 5 Juni 2024   15:10 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Tangkapan layar Akbar Pitopang via tapera.go.id)

Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang menimbulkan beragam reaksi di kalangan masyarakat. Melalui program ini, pemerintah berencana untuk memotong iuran dari gaji pekerja sebagai simpanan untuk perumahan. Kebijakan ini, meski bertujuan untuk membantu masyarakat memiliki rumah, ternyata menuai pro dan kontra yang signifikan.

Tapera mengharuskan setiap pekerja menyisihkan 3 persen dari gaji mereka, dengan perincian 2,5 persen dibayar oleh pekerja sendiri dan 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja. Potongan ini dilakukan setiap tanggal 10 bulan berjalan. Kebijakan ini mulai berlaku bagi pekerja yang berusia minimal 20 tahun, sebuah langkah yang seharusnya memfasilitasi kepemilikan rumah bagi generasi muda. 

Namun, di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan, banyak masyarakat yang merasa keberatan dengan tambahan potongan ini.

Bagi sebagian pekerja, beban finansial semakin berat dengan adanya Tapera. Mereka telah memiliki berbagai iuran dan cicilan yang harus dibayar setiap bulan, ditambah lagi harga kebutuhan pokok terus melambung setiap saat. 

Tambahan potongan untuk Tapera dirasakan memberatkan dan dikhawatirkan dapat menurunkan daya beli masyarakat. Di sisi lain, pemberi kerja juga harus menanggung sebagian biaya Tapera, yang mungkin berimbas pada pengurangan keuntungan perusahaan atau bahkan pengurangan tenaga kerja untuk menekan biaya operasional.

Namun demikian, ada juga yang (mungkin) mencoba melihat niat baik dari kebijakan ini. Mereka berpendapat bahwa Tapera adalah solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah kepemilikan rumah di Indonesia. 

Di tengah pro dan kontra yang berkembang, penting bagi pemerintah untuk memberikan sosialisasi dan penjelasan yang lebih komprehensif mengenai Tapera. Sosialisasi yang baik akan membantu masyarakat memahami manfaat jangka panjang dari program ini. 

Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa implementasi Tapera dilakukan dengan transparan, akuntabel dan berkeadilan.

Kebijakan Tapera sedang berada dalam situasi kritis yang memerlukan dukungan dan pemahaman dari seluruh lapisan masyarakat. Harapannya Tapera dapat menjadi solusi efektif untuk masalah perumahan di Indonesia, tanpa menambah beban yang terlalu berat bagi mereka yang sudah memiliki banyak tanggungan finansial.

Ilustrasi program Tapera. (KOMPAS/HERYUNANTO)
Ilustrasi program Tapera. (KOMPAS/HERYUNANTO)

Potongan gaji untuk Tapera, worth it?

Sejak pertama kali diinisiasi pada tahun 2016, program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah menjadi topik perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat pekerja. 

Melalui program ini, pemerintah bertujuan menghimpun dana dari berbagai kalangan pekerja termasuk PNS, TNI, Polri, pegawai BUMN dan BUMD, serta pekerja swasta. Bahkan, pekerja mandiri pun tak luput dari kebijakan ini, yang diharapkan dapat mempermudah pembiayaan perumahan. 

Namun, perjalanan Tapera tidak semulus yang dibayangkan, terutama karena kurangnya sosialisasi dan edukasi mengenai program ini.

Sejak diperkenalkan, Tapera berjalan dengan minim publikasi dan sosialisasi. Banyak pekerja yang baru menyadari keberadaan program ini ketika melihat potongan pada amprah/slip gaji. 

Hal ini mirip dengan "vampir" yang secara diam-diam menghisap darah, begitu pula Tapera yang secara tidak terasa menyedot iuran dari gaji pekerja, terutama di kalangan PNS biasa yang bukan dari "Kemensultan".

Kurangnya informasi dan pemahaman mengenai Tapera menyebabkan kebingungan dan kekhawatiran di kalangan pekerja, yang tiba-tiba mendapati gaji mereka ternyata telah dipotong setiap bulannya.

Sebagai seorang guru dengan pangkat yang masih rendah, saya termasuk salah satu yang awalnya terkejut, heran, dan bingung ketika mendapati adanya potongan untuk Tapera saat mengecek amprah gaji. 

Kebingungan ini memicu saya untuk mencari tahu lebih jauh mengenai Tapera, terutama kala itu diminta untuk mengirimkan data kepesertaan Tapera.

Potongan yang dilakukan setiap bulan, cukup membebani, terutama bagi mereka yang sudah memiliki berbagai cicilan dan iuran lain. 

Meskipun tujuan dari Tapera adalah mulia, yaitu untuk membantu masyarakat memiliki tabungan perumahan, akan tetapi implementasinya yang kurang transparan dan minim sosialisasi menimbulkan banyak pertanyaan. 

Bagi banyak pekerja, tambahan potongan ini dirasakan sebagai beban baru yang memperparah kondisi finansial mereka. Banyak yang merasa bahwa dana yang dipotong dari gaji mereka seharusnya digunakan untuk kebutuhan mendesak lainnya.

Agar tujuan ini tercapai, pemerintah perlu memperbaiki cara mereka menyampaikan informasi mengenai Tapera, memastikan bahwa setiap pekerja memahami manfaat dan mekanisme program ini.

Ke depan, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan sosialisasi dan edukasi mengenai Tapera. Termasuk bagaimana transparansi dalam pengelolaan dana, mekanisme program, skema pembiayaan, serta alur komunikasi yang jelas kepada masyarakat akan sangat membantu dalam membangun kepercayaan terhadap program ini. 

Yang dan paling penting adalah, poin tentang apa manfaat dari iuran atau potongan gaji ini. 

Gaji dipotong untuk Tapera? Boleh, asalkan... Yup, asalkan dibarengi dengan kenaikan gaji berkala yang nominalnya signifikan. Pengeluaran harus sebanding dengan pemasukan.

ilustrasi membeli rumah KPR via Tapera. (foto Akbar Pitopang)
ilustrasi membeli rumah KPR via Tapera. (foto Akbar Pitopang)

Membeli rumah dengan Tapera, mencari manfaat di tengah pengorbanan?

Sejak diluncurkan kembali, implementasi dan manfaat nyata dari Tapera masih menjadi tanda tanya besar bagi banyak pekerja. Tanpa adanya keuntungan yang jelas, potongan gaji sebesar 3 persen setiap bulan terasa memberatkan, apalagi bagi mereka yang sudah memiliki banyak iuran dan cicilan lainnya.

Salah satu alasan utama banyak pekerja menolak Tapera adalah kurangnya keuntungan langsung yang bisa dirasakan. Berbeda dengan iuran BPJS Kesehatan yang manfaatnya jelas dan terasa dengan prinsip gotong royong, Tapera belum menunjukkan manfaat yang nyata bagi banyak pekerja. 

Seandainya dengan adanya potongan iuran ini, pekerja bisa mendapatkan subsidi atau potongan signifikan saat membeli rumah KPR, mungkin program ini akan lebih diterima dan diapresiasi.

Pertanyaan "apakah kamu ingin menggunakan Tapera untuk membeli rumah?" sering muncul di kalangan pekerja. 

Saya pun pernah bertanya kepada rekan kerja yang dulu menyicil rumah melalui Tapera. Dengan iuran sekitar 1 juta rupiah per bulan dan masa tenor selama 15 tahun, pengalaman tersebut tampak mirip dengan KPR pada umumnya. 

Namun, rekan kerja saya yang kini mendekati masa pensiun merasa cukup dimudahkan dari segi birokrasi dan administrasi. Semua proses dilakukan oleh pihak Tapera, dan ia hanya perlu mengajukan lokasi perumahan yang diinginkan.

Kemudahan dari segi birokrasi ini mungkin menjadi salah satu poin positif Tapera. Bagi pekerja yang sibuk dan tidak ingin repot dengan urusan administrasi yang berbelit, Tapera menawarkan solusi yang lebih praktis. 

Namun, kemudahan ini saja belum cukup untuk mengimbangi rasa keberatan banyak pekerja terhadap potongan gaji yang mereka alami setiap bulan. Masih banyak yang merasa bahwa manfaat Tapera belum sebanding dengan beban finansial yang harus mereka tanggung.

Untuk meningkatkan kepercayaan dan penerimaan terhadap Tapera, pemerintah perlu memperjelas dan memperluas manfaat yang dapat diterima peserta. Subsidi atau potongan signifikan dalam pembelian rumah, misalnya, bisa menjadi insentif yang menarik. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan dana juga sangat diperlukan pekerja untuk menepis anggapan bahwa Tapera akan bernasib sama seperti Asabri, Jiwasraya, dan lainnya.

Sejatinya, jika diterapkan dengan baik, Tapera bisa menjadi program yang tidak hanya menyedot iuran, tetapi juga memberikan manfaat nyata yang dirasakan oleh setiap pekerja, layaknya sebuah iuran dengan prinsip gotong royongnya.

(Tangkapan layar Akbar Pitopang via tapera.go.id)
(Tangkapan layar Akbar Pitopang via tapera.go.id)

Menanti manfaat Tapera saat pensiun, apakah sepadan?

Bagi banyak pekerja di Indonesia, program Tapera lebih terasa sebagai beban daripada berkah. Ketika gaji mereka dipotong, banyak yang merasa pasrah. Mereka terpaksa melihat Tapera sebagai solusi jangka panjang untuk masalah perumahan di Indonesia, meski belum merasakan manfaatnya secara langsung. Dengan membayar iuran atau menabung secara teratur, diharapkan masyarakat dapat memiliki dana yang cukup untuk membeli rumah. 

Namun, apakah harapan ini sebanding dengan kenyataan yang dihadapi?

Bagi sebagian orang yang telah memiliki rumah tanpa Tapera, mereka harus tetap membayar iuran setiap bulan sambil menunggu kapan Tapera bisa dicairkan. 

Ketika akhirnya mencapai masa pensiun, banyak yang kecewa karena jumlah yang diterima sangat sedikit dibandingkan dengan iuran yang sudah dibayarkan selama puluhan tahun. 

Misalnya, seorang guru PNS yang hanya menerima sekitar 8 juta rupiah dari Tapera setelah bertahun-tahun menyetor iuran. Jumlah ini terasa tidak sepadan dengan harapan dan pengorbanan yang telah dilakukan.

Rasa kecewa ini tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang. Banyak pekerja yang merasa bahwa Tapera tidak memberikan manfaat yang nyata. Jumlah yang diterima saat pensiun jauh dari cukup untuk membeli rumah atau bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya. 

Situasi ini membuat banyak pekerja merasa bahwa Tapera "tidak ada gunanya" dan hanya menambah beban finansial mereka tanpa memberikan keuntungan yang sepadan.

Untuk mengatasi ketidakpuasan ini, perlu ada perbaikan signifikan dalam pengelolaan dan implementasi Tapera. Pemerintah harus memastikan bahwa iuran yang dibayarkan oleh pekerja memberikan manfaat yang nyata dan sepadan. 

Banyak pekerja yang masih bingung dan tidak memahami sepenuhnya bagaimana Tapera bekerja dan apa manfaat yang bisa mereka peroleh. Dengan informasi yang jelas dan transparan, diharapkan pekerja bisa melihat Tapera sebagai investasi jangka panjang yang menguntungkan, bukan sebagai beban tambahan yang harus mereka tanggung setiap bulan.

Hendaknya Tapera bisa benar-benar menjadi solusi bagi masalah perumahan di Indonesia, memberikan manfaat yang sepadan dengan iuran yang dibayarkan, dan membantu pekerja merasa lebih tenang dan optimis tentang masa depan mereka.

Semoga bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun