Meskipun awalnya mungkin merasa canggung atau tidak terbiasa dengan berbagai fitur PMM, banyak guru senior yang berhasil mengatasi ketidaknyamanan tersebut.Â
Mereka belajar untuk mengutak-atik aplikasi, belajar bersama dengan guru yang lebih muda, dan akhirnya meningkatkan kompetensi mereka dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam metode pengajaran.
Dari gaptek menuju paham tentang penerapan teknologi dalam pembelajaran, banyak guru senior membuktikan bahwa semangat belajar tidak mengenal usia.Â
Hingga akhirnya menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan memberdayakan untuk semua kalangan guru.
Infrastruktur digital belum memadai di pelosok Indonesia
Meskipun dunia teknologi semakin maju, nyatanya akses internet di pelosok Indonesia masih jauh dari ideal. Sehingga memunculkan serangkaian tantangan bagi pendidikan di era digital.Â
Realitanya, masih banyak wilayah yang belum terjangkau oleh jaringan internet yang berkualitas, akhirnya memaksa guru di pedalaman untuk menjangkau sinyal dengan cara yang tidak lazim, seperti manjat pohon, naik bukit, atau mencari daerah yang tinggi.
Kisah nyata ini menjadi catatan penting saat membahas mengapa sebagian guru di pelosok enggan untuk mengakses fitur-fitur di Platform Merdeka Mengajar (PMM) secara intensif.Â
Bukan karena mereka tidak mau, melainkan karena keterbatasan koneksi internet yang disebabkan jaringan hilang-timbul dengan frekuensi yang tidak dapat diprediksi.
Kondisi ini menciptakan tantangan serius bagi pendidikan di daerah terpencil. Guru yang berdedikasi untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada anak-anak di pedalaman seringkali harus berhadapan dengan rintangan sebelum mereka dapat menggunakan PMM sepenuhnya.Â
Internet yang tidak stabil menjadi penghambat bagi implementasi dan efektivitas dari adanya PMM ini.
Akan tetapi di balik tantangan ini, kita juga melihat semangat dan tekad para guru di pelosok yang tetap berusaha mengatasi kendala teknologi. Meskipun harus berhadapan dengan kenyataan yang sulit.