Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Razia Cukur Rambut dalam Dinamika Kurikulum Merdeka, Apakah Masih Relevan?

8 September 2023   22:48 Diperbarui: 10 September 2023   18:33 1862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial, diskusi seputar razia cukur rambut di sekolah-sekolah di Indonesia kembali mencuat ke permukaan. 

Padahal kan sebenarnya praktik ini telah berlangsung puluhan tahun, dan kini menjadi topik kontroversial yang memicu berbagai pertanyaan. 

Apakah razia cukur rambut masih relevan di era digital ini?
Apa tujuan sebenarnya dari praktik ini?
Bagaimana dampaknya terhadap siswa?

Razia cukur rambut adalah kegiatan yang kerap dilakukan oleh guru-guru di sekolah-sekolah untuk memastikan bahwa para siswa memiliki rambut yang rapi dan sesuai dengan aturan sekolah. Meskipun sudah menjadi kebiasaan sekolah, tetap saja banyak siswa yang merasa was-was setiap kali razia ini dijalankan. 

Salah satu argumen yang mendukung razia cukur rambut, bahwa ini adalah cara untuk mengajarkan disiplin kepada siswa. 

Di era digital yang kerap terkontaminasi hal yang bersifat disrupsi, kepatuhan terhadap aturan-aturan sekolah dianggap sebagai salah satu cara untuk membentuk karakter dan sikap yang baik di kalangan murid. 

Sebagian besar siswa mungkin tidak masalah dengan upaya pemeliharaan rambut yang rapi yang dilakukan sekolah, namun atmosfer yang menegangkan dan perasaan was-was yang ditimbulkan oleh razia ini dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental siswa. 

Dalam era dimana pendidikan semakin mengedepankan aspek untuk memerdekakan siswa, perlu dibicarakan apakah razia cukur rambut adalah pendekatan yang sesuai.

Apalagi dalam era Kurikulum Merdeka yang menekankan pada upaya pengembangan segala potensi dan kemampuan siswa secara holistik, mungkin saatnya untuk mempertimbangkan ulang praktik razia cukur rambut. 

Praktik razia rambut mungkin boleh untuk tetap diadakan, hanya saja dalam tatacara dan prosedurnya tetap mengedepankan nilai-nilai kehidupan.

Lain dari itu, dalam merumuskan kebijakan pendidikan di masa depan, penting untuk mendengarkan suara atau pendapat siswa dengan mempertimbangkan segala dampak signifikan dari berbagai bentuk praktik penerapan aturan sekolah, termasuk razia cukur rambut. 

Sekolah adalah tempat untuk belajar dan berkembang, dan pendekatan yang mendukung pertumbuhan siswa dalam segala aspek, mungkin lebih sesuai atau relevan dengan semangat pendidikan di era digital dan Kurikulum Merdeka saat ini.

Aturan rambut di sekolah ada bukan tanpa alasan

Setiap sekolah tentu memiliki tata tertibnya sendiri. Jangankan di sekolah, tapi dimanapun kita berada pasti ada aturannya. Begitu pula, ada aturan yang diterapkan di rumah tangga kita masing-masing.

Meskipun sering menjadi bahan perdebatan, penting untuk mencermati alasan di balik adanya aturan penertiban rambut siswa ini dari sudut pandang sekolah. 

Sebenarnya terdapat beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi aturan mengenai rambut ini yang perlu dipahami lebih dalam.

  1. Demi menjaga kesehatan siswa. Rambut yang tidak terjaga dengan baik dapat menjadi tempat berkembangnya masalah kesehatan seperti ketombe, kutu, atau masalah kulit kepala lainnya. Rambut yang sudah panjang misalnya juga bisa menjadi sarang kuman dan bakteri karena keringat yang dihasilkan dari aktivitas anak di sekolah dan bisa membuat anak gatal atau iritasi.

  2. Demi menciptakan kondusivitas proses belajar-mengajar. Rambut yang terlalu panjang atau tidak sesuai dengan standar sekolah dapat mengganggu konsentrasi siswa. Kadang, saya melihat bahwa siswa yang non-muslim yang terus-menerus merapikan rambut mereka saat belajar. Hal seperti itu tentu dapat gangguan dalam proses belajarnya. Oleh sebab itu, aturan ini dapat membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih fokus dan menjaga konsentrasi.

  3. Tuntutan dan norma yang berlaku di masyarakat. Menurut saya, sampai saat ini masyarakat pasti banyak yang belum membenarkan adanya siswa laki-laki yang berambut gondrong. Masyarakat akan bertanya apakah wajar ada anak SD yang rambutnya gondrong. Dari pertanyaan sepele seperti itu dapat mempengaruhi citra dan reputasi sekolah. Dengan menjaga standar yang telah ditetapkan, sekolah dapat mempertahankan reputasinya sebagai lembaga pendidikan yang serius dalam mendidik dan membina peserta didiknya.

  4. Upaya menanamkan kesadaran akan aturan sebagai bekal kehidupan sosial. Kehidupan di masyarakat memang diatur oleh berbagai aturan, dan anak-anak perlu dipersiapkan untuk menghadapi kenyataan ini. Dengan mematuhi aturan sekolah, anak-anak dapat belajar untuk taat aturan sejak awal, yang akan menjadi bekal berharga dalam menjalani kehidupan bermasyarakat nantinya. Masyarakat umumnya mengharapkan bahwa sekolah menjalankan aturan yang konsisten dan mempersiapkan anak didik menjadi anggota masyarakat yang taat aturan.

Meskipun polemik seputar razia cukur rambut terus berlanjut, sebagai stakeholder pendidikan, kita semua perlu memahami sudut pandang sekolah dalam menerapkan aturan ini. 

Meski tampak kaku atau ketinggalan zaman di mata beberapa pihak, aturan rambut ini memiliki alasan dan tujuan tertentu sesuai dengan keempat poin yang telah disebutkan, dan utamanya demi pembentukan karakter siswa. 

Dengan memahami sudut pandang sekolah, kita dapat berbicara tentang perubahan yang lebih baik dan seimbang. dan mendiskusikan mengenai kebijakan sekolah yang relevan dengan zaman kita saat ini.

Aturan tentang rambut siswa perlu dieksekusi guru dengan semangat pendidikan yang memerdekakan. (via sentralnews.com)
Aturan tentang rambut siswa perlu dieksekusi guru dengan semangat pendidikan yang memerdekakan. (via sentralnews.com)

Transformasi penerapan aturan di era Kurikulum Merdeka

Seiring dengan perubahan dalam pendekatan-pendekatan pendidikan yang dihadirkan oleh Kurikulum Merdeka, guru dan sekolah perlu beradaptasi dengan strategi yang lebih bijak dalam menerapkan aturan sekolah, termasuk aturan mengenai rambut siswa. 

Dalam upaya mempertahankan semangat pendisiplinan murid di sekolah, maka pendekatan yang diterapkan haruslah mempertimbangkan kesehatan mental siswa serta dampak sosial yang bisa muncul, terutama di era media sosial yang dikit-dikit viral dan heboh.

Pertama, guru dan sekolah mengadopsi gaya komunikasi yang persuasif. 

Dalam menegakkan aturan, hindari menakut-nakuti atau mengancam siswa karena hanya akan menciptakan tekanan dan stres pada siswa. Sebaliknya, guru harus mampu berbicara atau berkomunikasi secara persuasif atau dalam bentuk bujukan untuk mempengaruhi dan meyakinkan siswa guna memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya aturan tersebut.

Kedua, memahami latar belakang dan profil siswa yang beragam (berdiferensiasi). 

Terkadang, siswa yang tidak mematuhi aturan secara tepat waktu lantaran memiliki kendala ekonomi yang membuat sulit untuk menyiapkan biaya pangkas rambut. Itulah gunanya peran Kurikulum Merdeka yang mendorong guru untuk memahami profil setiap siswanya agar supaya guru selalu mampu memilih keputusan atau tindakan yang paling tepat dan wajar untuk siswanya.

Sisi sensitivitas atau kemanusiaan guru perlu dikembangkan secara terus-menerus terhadap hal ini dan mencari solusi bersama dengan siswa maupun orangtua mereka. Lebih mulia lagi bila sekiranya guru ikhlas memberikan bantuan atau mengatasi masalah finansial tersebut.

Ketiga, memberikan peringatan tanpa kekerasan. 

Peringatan tentu dapat disampaikan dengan cara yang baik dan penuh empati. Cukuplah guru memperingatkan siswa secara terus-menerus tanpa mengenal batas kesabaran. Namun, bila siswa tetap tidak mengindahkan peringatan ini, perlu dipahami bahwa masalah yang lebih kompleks mungkin berasal dari orangtua terkait dengan pola asuh di rumah. 

Keempat, guru wajib menunjukkan keteladanan. 

Di sekolah, para guru adalah sosok sentral yang selalu diperhatikan oleh siswa. Bila misalnya sekolah ingin menertibkan rambut siswa laki-laki, maka harus dipastikan bahwa para guru laki-laki juga tampil dengan rambut yang sesuai aturan yang diberlakukan sekolah. Bila tidak, maka tentu hal tersebut mencerminkan sesuatu yang tidak sinkron.

Kelima, menjalin komunikasi dan berkolaborasi dengan orangtua siswa. 

Guru dan sekolah dapat memberikan informasi secara langsung saat orangtua mengantar atau menjemput anak di sekolah. Jika tidak sempat atau tak memungkinkan, maka guru dapat menghubungi orangtua melalui panggilan suara atau pesan chat melalui WhatsApp atau platform media sosial lainnya. Orangtua harus menjadi mitra dalam menegakkan aturan sekolah dan mendukung upaya sekolah dalam mendidik siswa.

Kolaborasi antara guru dan orangtua dapat membantu mendorong penerapan hal-hal positif di sekolah. Orangtua dapat memberikan masukan dan pemahaman yang berharga tentang kebutuhan anak mereka, sementara guru dan sekolah dapat memberikan panduan dan saran yang didasarkan pada pengalaman guru dalam mendidik.


Di era Kurikulum Merdeka, ada semangat untuk memerdekakan siswa namun guru atau sekolah tidak pula "menghambakan" murid.

Dalam menjalankan aturan rambut, guru perlu mempertimbangkan pendekatan-pendekatan yang lebih humanis dan responsif terhadap kebutuhan dan kondisi siswa yang sebenarnya. 

Ini akan membantu menciptakan lingkungan pendidikan yang berkesinambungan, dimana aturan-aturan yang ada tetap dihormati oleh seluruh siswa, namun tidak ada siswa yang terkekang atau merasa belum merdeka karena masalah aturan di sekolah.

Dengan demikian, sekolah dapat menjawab tantangan zaman yang terus berubah dengan lebih bijak dan bersahabat, serta diakui kebermanfaatannya oleh semua pihak.

Untuk tambahan informasi, penerapan aturan rambut siswa di sekolah tempat saya bertugas, bahwa kami para guru hanya melakukan beberapa hal berikut:

1. Menjaring siswa yang rambutnya sudah panjang. ini dilakukan biasanya pada hari Sabtu setelah melaksanakan kegiatan senam bersama di halaman sekolah.

2. Mengumpulkan siswa-siswa yang rambutnya masih panjang pada hari Senin pasca melaksanakan Upacara Bendera.

3. Menghimbau kepada siswa yang terjaring untuk segera merapikan rambutnya.

4. Bila dalam beberapa hari kedepannya siswa masih belum menjalankan himbauan, maka guru tetap mengingatkan. Tanpa melakukan kekerasan ataupun memberikan sangsi hukuman.

5. Terakhir, jika siswa masih belum mau mengindahkan informasi dari guru, maka pihak sekolah akan mengabari orangtua terkait kendala yang dihadapi guru di sekolah.

Catatan: razia yang dilakukan rekan guru tidak ada yang sampai mencukur rambut siswa. Dan itu berlaku sampai hari ini di sekolah kami.

Seorang anak yang diantar orangtuanya untuk melakukan pangkas rambut. (foto Akbar Pitopang)
Seorang anak yang diantar orangtuanya untuk melakukan pangkas rambut. (foto Akbar Pitopang)

Orangtua adalah madrasah utama tentang aturan 

Pendidikan adalah perjalanan panjang yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan salah satunya adalah peran penting orangtua dalam menegakkan aturan dan tata tertib yang disepakati, terutama dengan pihak sekolah. 

Sekolah adalah tempat untuk merangsang potensi-potensi yang ada dalam diri siswa, ilmu pengetahuan diajarkan, dan karakter mereka dibentuk. 

Meskipun guru dan sekolah berperan besar dalam proses ini, namun peran orangtua sejatinya adalah yang terbesar.

Sebuah aturan atau tata tertib sekolah, apapun bentuknya, akan lebih efektif jika didukung oleh orangtua. 

Sekolah hanyalah jembatan yang menghubungkan pendidikan formal dengan pola pengasuhan di rumah (parenting). 

Orangtua lah yang memiliki peran utama dalam membimbing dan mendukung perkembangan anak-anak mereka, termasuk dalam hal menjalankan aturan.

Guru dan sekolah hanya dapat memberikan panduan dan aturan, sedangkan implementasi yang sebenarnya terjadi di rumah.

Orangtua perlu terlibat aktif dalam interaksi dengan guru dan sekolah untuk memahami aturan-aturan yang diterapkan dan bagaimana para orangtua dapat mendukung anak-anak mereka menjadi pribadi yang taat dan mengerti aturan. 

Dalam menjalankan aturan sekolah, kita harus selalu mengingat bahwa tujuan utamanya adalah untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak. 

Harapannya aturan-aturan sekolah tidak hanya sekedar dijalankan oleh siswa, tetapi juga dihayati oleh anak-anak kita sebagai bagian dari pembentukan karakter menuju masa depan yang lebih inklusif, tanpa diskriminasi.

Bersama-sama, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik. 

Itu saja..

Oh iya, simak juga topik terkait;

Cara Pendisiplinan Murid di Era Digital Perspektif Kurikulum Merdeka

Manakala Profesi Pendidik Terancam Bahaya Demi Mendidik Generasi Bangsa

5 Gagasan Pokok Bagaimana Penerapan Tata Tertib Peraturan Sekolah di Era Digital

Guru Bukan "Menghambakan Murid" di Era Kurikulum Merdeka

"Sekolah Ramah Anak" Menginspirasi Transformasi menuju Kota Layak Anak

Pentingnya "Digital Responsibility" di Era Disrupsi

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun