Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kasus Luluk Nuril dan Peran Sekolah Menangani Dampak Cyberbullying pada Siswa

7 September 2023   17:55 Diperbarui: 8 September 2023   16:31 2627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan verbal dan cyberbullying kembali menggemparkan jagat maya, mengingatkan kita betapa berbahayanya dunia digital ketika digunakan untuk mengejek/memaki dan merendahkan sesama manusia. 

Kasus terbaru ini melibatkan seleb TikTok asal Probolinggo, Luluk Sofiatul Jannah atau lebih dikenal sebagai Luluk Nuril. Tindakan yang dilakukannya terhadap seorang siswi SMK yang sedang menjalani magang di sebuah swalayan menciptakan gelombang kegaduhan dan pergunjingan netizen secara besar-besaran di berbagai platform media sosial.

Peristiwa ini berawal di sebuah pusat perbelanjaan Kota Probolinggo, dimana siswi magang tersebut dengan penuh dedikasi menjalankan tugasnya sesuai standar operasional prosedur (SOP) toko. Namun, seperti yang sering terjadi dalam dunia kerja, terjadi salah paham antara Luluk dan siswi tersebut. Nota yang harus dibawa ke kasir jika konsumen ingin membatalkan atau mengembalikan barang yang sudah dibeli menjadi penyebab miss communication dalam interaksi mereka. (simak Kompas.com)

Seharusnya, setelah pihak pusat perbelanjaan memberikan penjelasan dan permintaan maaf, masalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Namun, apa yang terjadi kemudian adalah lebih dari sekadar salah paham biasa. Luluk Nuril dan suaminya, Bripka Nuril Huda, seorang anggota polisi, memutuskan untuk menyebarkan peristiwa ini dan mengunggahnya di media sosial. Akibatnya, video tersebut menjadi viral dalam sekejap, karena siswi magang menjadi korban dan memicu kemarahan publik.

Sikap Luluk Nuril yang terlihat merendahkan seorang siswi yang sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) sangat disayangkan. Kasus seperti ini tidak hanya mencoreng nama baik siswi tersebut, tetapi juga memberikan bayangan buruk bagi para pelajar lainnya yang akan terlibat dalam tahap belajar di lapangan seperti yang dilakukan oleh siswi tersebut. 

Sangat disayangkan, kasus seperti ini tentu akan berdampak buruk terhadap para pelajar dan menunjukkan indikasi sikap diskriminasi usia (ageisme) yang dilakukan oknum masyarakat terhadap pelajar yang masih dalam tahap belajar di lapangan. 

Untuk itu, hendaknya hal ini menjadi perhatian bagi kita semua.

Luluk meminta maaf atas perbuatannya di SMKN 1 Kota Probolinggo. Apakah sudah benar-benar mengakui kesalahannya? (KOMPAS.com/Ahmad Faisol)
Luluk meminta maaf atas perbuatannya di SMKN 1 Kota Probolinggo. Apakah sudah benar-benar mengakui kesalahannya? (KOMPAS.com/Ahmad Faisol)

Dunia pendidikan harus merdeka dan bebas dari kekerasan

Kasus yang baru-baru ini menghebohkan masyarakat terkait kekerasan verbal dan cyberbullying di media sosial memang menjadi cambuk keras bagi kita semua. Namun, ada hal yang perlu dicatat dan diapresiasi dari insiden ini, yakni tindakan cepat dan bijak yang diambil oleh pihak sekolah dalam menangani kasus tersebut.

Setelah kejadian itu terjadi, pihak sekolah tidak tinggal diam. Mereka segera melibatkan berbagai pihak dalam upaya mediasi yang komprehensif, termasuk Kapolres Probolinggo, orangtua siswi, guru, pihak pusat perbelanjaan, dan tim psikolog dari Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Upaya mediasi seperti ini bukan hanya untuk mencari solusi dan ketegasan dari pihak berwenang, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi siswi yang menjadi korban.

Selain itu, pihak sekolah coba mengatasi trauma yang dialami siswi tersebut dengan memberikan bimbingan konseling yang sangat penting untuk membantunya pulih secara emosional. Ini menunjukkan bahwa pihak sekolah tidak hanya peduli terhadap perkembangan akademik, tetapi juga kesejahteraan mental dan emosional anak didik.

Kita perlu mengapresiasi langkah-langkah ini sebagai penegasan bahwa setiap satuan pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mencegah dan menangani berbagai bentuk kekerasan dan bullying. 

Ini bukan hanya tanggung jawab pihak sekolah, tetapi juga seluruh elemen yang terlibat dalam proses pendidikan, termasuk orangtua dan masyarakat.

Dengan disahkannya Permendikbud No 46 Tahun 2023 terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, adalah langkah yang sangat positif. 

Hal ini semakin menguatkan peran setiap elemen sekolah harus mengambil langkah tegas dalam menangani dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi, baik yang terjadi di dalam maupun di luar sekolah, seperti pada proses Praktek Kerja Lapangan (PKL) atau magang yang dijalani oleh peserta didik.

Karena pendidikan bukan hanya tentang buku dan pelajaran, tetapi juga tentang membentuk karakter dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. 

Pihak sekolah, bersama-sama dengan semua pihak terkait, memiliki peran krusial dalam melindungi anak didik dan menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan.

Dampak kekerasan pada anak didik/siswa.(SHUTTERSTOCK via Kompas.com)
Dampak kekerasan pada anak didik/siswa.(SHUTTERSTOCK via Kompas.com)

Dampak signifikan pada siswa korban kekerasan (cyberbullying)

Ketika kita mendengar tentang kasus cyberbullying dan kekerasan verbal yang viral di dunia maya, seringkali diakhiri dengan ritual permintaan maaf dan mediasi dengan maksud dapat memulihkan segalanya. 

Namun, pada kenyataannya jauh lebih kompleks. Kasus yang melibatkan seorang siswi yang menjadi korban cyberbullying di tempat magangnya mengingatkan kita akan dampak psikologis yang mendalam yang bisa timbul dan harus dihadapi oleh korban.

Meskipun pelaku telah meminta maaf secara terbuka dan mediasi telah dilakukan, korban seringkali masih menghadapi konsekuensi emosional yang berat. 

Menurut informasi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), siswi yang menjadi korban awalnya merasa sangat malu kepada teman-temannya setelah kasus viral tersebut. Bahkan, ia sempat berpikir untuk berhenti mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) karena merasa terhina dan terintimidasi. [sumber]

Pihak sekolah juga memberikan gambaran yang jelas tentang dampak nyata dari kekerasan verbal tersebut. Meskipun siswi tersebut kembali menjalani PKL, ia telah kehilangan rasa percaya diri yang dulu dimilikinya. 

Korban lebih memilih ditempatkan di bagian belakang yang tidak berhadapan langsung dengan konsumen. Ini adalah bukti nyata bahwa korban telah mengalami penurunan kepercayaan diri dan kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain secara normal.

Kasus ini juga mengingatkan kita pada fakta bahwa cyberbullying dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius. Korbannya bisa mengalami depresi, mudah marah, gelisah, bahkan mencoba menyakiti diri sendiri, atau dalam kasus yang paling tragis, merasa lebih pantas untuk mengakhiri nyawanya sendiri. 

Dampaknya juga bisa terlihat dalam kehidupan sekolah, dengan penurunan prestasi akademik, malas ke sekolah atau memilih absen, terlibat konflik emosional di sekolah, kesulitan beradaptasi atau berinteraksi, dan sebagainya.

Artinya bahwa kita harus memahami bahwa kekerasan verbal dan cyberbullying, tidak bisa diabaikan sebagai "fenomena biasa" di dunia maya. 

Dalam dunia pendidikan, tidak ada alasan yang bisa membenarkan perilaku semacam ini. Kita semua harus terus memperjuangkan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan, serta memberikan dukungan emosional yang diperlukan bagi para korban untuk pulih kembali melanjutkan kehidupannya.

Sebuah konten bisa sangat berdampak pada komunitas online. Bagaimana bertanggung jawab dengan platform digital di era disrupsi.(Pexels/Magnus Mueller)
Sebuah konten bisa sangat berdampak pada komunitas online. Bagaimana bertanggung jawab dengan platform digital di era disrupsi.(Pexels/Magnus Mueller)

Sadar etika dan tanggung jawab digital

Kisah ini mencerminkan dampak buruk dari perilaku cyberbullying yang bisa merusak kehidupan seseorang dalam sekejap, meskipun kejadian awalnya hanya merupakan kesalahpahaman biasa. 

Ini juga mengingatkan kita bahwa tidak ada alasan untuk mengabaikan moralitas, budaya, etika dan kesopanan yang diakui oleh masyarakat, terlepas dari apapun situasinya. 

Bagaimanapun juga, kita harus mengambil pelajaran berharga dari kasus ini untuk memastikan bahwa dunia maya tetap menjadi tempat yang aman dan inklusif bagi semua orang.

Tak bosan-bosannya, secara pribadi saya menghimbau kepada kita semua bahwa di era digital yang diliputi oleh beragam sensasi yang mencerminkan telah terjadinya disrupsi.

Maka kita harus terus menjaga etika digital berbarengan dengan tanggung jawab digital. Bila tidak, itu akan menjadi bumerang dan menghancurkan.

Masih berkaitan dengan topik yang kita bahas kali ini, coba kembali simak: 

Akhirul kalam, kejadian ini harus memunculkan kesadaran kita semua tentang bagaimana kita seharusnya bersikap dalam dunia digital yang antara hitam dan putihnya terkadang berbaur satu sama lain, jadi kita harus bijak dan harus selalu "waras".

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun