Tak hanya mengejar gelar, tetapi juga mampu menyelami realitas sosial dengan memberikan kontribusi nyata.Â
Mahasiswa tidak wajib skripsi, dianggap kemunduran literasi dan jadi tak berkualitas?
Tak bisa dipungkiri bahwa terobosan baru dalam dunia pendidikan selalu memicu gelombang perdebatan dan kontroversi. Ketika aturan terbaru ini dikeluarkan menghapuskan keharusan skripsi sebagai syarat kelulusan, maka muncul pula kekhawatiran dengan menuduh bahwa ini adalah langkah mundur dalam memupuk literasi mahasiswa dan merosotkan kualitas lulusan sarjana.Â
Namun, perlu disadari bahwa hadir atau tidaknya skripsi tidak serta-merta mengukur kualitas seorang mahasiswa. Pada dasarnya, menjaga budaya literasi di kalangan akademisi adalah tugas kampus.Â
Sedangkan bila diaplikasikan dengan pijakan yang tepat, kebijakan baru ini justru bisa menjadi peluang untuk mengukuhkan kultur literasi yang lebih beragam dan inklusif.
Bila kampus mengeluarkan kebijakan bahwa skripsi tidak menjadi syarat kelulusan, maka untuk terus menjaga budaya literasi mahasiswa bisa dilakukan dengan cara berikut ini.
Pertama, salah satu langkah penting untuk mempertahankan literasi di era baru ini adalah melalui pembuatan makalah.Â
Seiring dengan perkembangan teknologi pendidikan, makalah pun bisa diperluas dengan berbagai inovasi. Konsep presentasi dalam bentuk video bisa menggantikan cara konvensional dengan memanfaatkan berbagai platform digital yang semakin canggih.Â
Langkah ini mungkin saja dapat mendukung perkembangan pendidikan yang lebih dinamis, juga berperan dalam meningkatkan literasi digital di tengah masyarakat yang semakin terkoneksi dengan internet dan media sosial.
Kedua, tak berhenti di situ, kampus juga dapat memberikan tugas-tugas alternatif yang memupuk literasi.Â
Sebagai contoh, pihak kampus bisa menetapkan pembuatan laporan dari buku-buku tertentu yang relevan dengan program studi.Â