Namun, bagi mereka yang benar-benar menjadi pendidik sebagai panggilan hidup, mereka memandang bahwa kesejahteraan bukanlah sebuah pergunjingan tanpa akhir.Â
Lebih dari itu, mereka mengejar kebahagiaan dari setiap keberhasilan dan kegembiraan yang muncul ketika melihat bibit unggul tumbuh dan berkembang di bawah naungannya.
Dengan terus majunya teknologi dan tantangan pendidikan yang semakin kompleks, dibutuhkan lebih banyak tenaga pendidik yang berdedikasi dan berintegritas untuk menghadapinya.Â
Para calon mahasiswa yang memilih jurusan pendidikan harus berani menghadapi tantangan ini, dengan keyakinan bahwa transformasi pendidikan yang mensejahterakan tenaga pendidiknya di negeri ini akan diraih di kemudian hari.
Nah, meskipun ada carut-marut dan tantangan dalam dunia kerja di bidang pendidikan, semangat para pejuangnya (baca: guru honorer) tak pernah luntur.Â
Dengan melihat antusiasme calon mahasiswa yang tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, kita menyadari bahwa harapan masih terus menyala meski kadang tak terlalu bersinar terang.Â
Panggilan jiwa dan passion akan menjadi pendorong yang kuat untuk mencapai kesejahteraan para guru honorer ini.
Karena ketika seseorang guru mendedikasikan diri untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa, maka kesuksesan sejati telah diraih, meskipun dalam kesederhanaan.
Akankah terus begitu sepanjang hayat pendidikan negeri ini?
Fenomena sarjana pendidikan enggan berkarier menjadi guru honorer
Di era yang semakin kompetitif ini, para sarjana pendidikan dihadapkan pada sebuah dilema yang krusial.
Apakah memilih jalur karier dengan mengajar berstatus guru honorer atau mencoba peruntungan di dunia kerja di luar pendidikan, seperti di kantor atau perusahaan.Â
Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, terutama bagi Generasi Z saat ini yang harus memikirkan segala aspek sebelum membuat keputusan yang berpengaruh pada masa depan mereka. Aspek finansial tidak bisa diabaikan begitu saja.