Baru-baru ini, berita mengejutkan tentang penutupan beberapa cabang toko buku Gunung Agung di berbagai tempat telah menggelitik beberapa kalangan mencermati fenomena dunia literasi di negeri ini.
Terlebih lagi, ini terjadi hanya beberapa hari setelah kita merayakan Hari Buku Nasional pada bulan Mei ini. Kejadian ini seperti membuat kita bertanya-tanya.Â
Yup! kita semua yang menjadi bagian dari masyarakat dengan rendahnya minat terhadap membaca atau memiliki buku bacaan. Kita mungkin sadar, tapi mengira hal itu biasa saja. Benar begitu?
Eksistensi toko buku-toko buku yang ada di berbagai wilayah di Indonesia telah menjadi simbol penting bagi para pecinta dunia literasi dan penggemar buku selama beberapa dekade terakhir.Â
Dengan atmosfer yang khas disertai daya tarik tersendiri dari toko buku dengan berbagai koleksi buku yang lengkap, maka toko buku seringkali menjadi surga bagi para pecintanya.Â
Namun, penetrasi kehadiran teknologi digital yang semakin dominan dalam berbagai aspek kehidupan manusia saat ini, didukung dengan adanya tren membaca buku secara online telah meruntuhkan daya tarik toko buku.
Tutupnya toko buku, tamparan untuk rendahnya minat baca masyarakat
Salah satu faktor yang relevan menjadi penyebab toko buku memilih "gulung tikar" adalah perubahan gaya hidup masyarakat modern.Â
Di era digital saat ini, orang-orang telah beralih ke perangkat elektronik untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Buku elektronik (e-book) dan platform baca online semakin populer yang menawarkan kenyamanan dan aksesibilitas tanpa batas. Hal ini mempengaruhi penurunan minat membaca buku secara fisik.
Sebaiknya kita tidak melupakan nilai dan manfaat yang ditawarkan oleh buku fisik. Membaca buku memberikan pengalaman yang berbeda dan mendalam.Â
Dengan menyentuh halaman-halaman buku, mencium aroma kertas yang khas, dan merasakan beratnya dalam genggaman, kita gampang terhubung dengan kata-kata yang dituangkan oleh penulis. Buku akan menjadi harta karun bagi para penggemarnya.