Berbicara masalah joki ilmiah dalam dunia akademik merupakan sebuah cerita lama dan sudah menjadi rahasia umum di di kalangan mahasiswa maupun dosen.
Memang terasa miris apabila keberadaan joki ilmiah ini tidak segera diberantas tentu menjadikan pandangan masyarakat awam tentang dunia pendidikan menjadi sinis karena dianggap sudah tidak lagi memiliki integritas sebagai bentuk terkikisnya karakter dan moral para pelakunya.
Sebenarnya eksistensi joki ilmiah ini terjadi karena adanya kesempatan. Saat ada banyak mahasiswa yang membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan tugas akhir namun dengan cara instan saja.
Sejatinya, para mahasiswa dan dosen yang berkecimpung dalam dunia pendidikan sudah harus terdidik dengan pola kompetensi yang dibangun.
Tugas akhir bagi mahasiswa dan karya/jurnal ilmiah bagi para dosen merupakan sebuah hal yang harus dirancang sedemikian rupa sebagai buah dari hasil pemikiran dan proses literasi yang dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan sejak masa awal saat memutuskan terjun dalam dunia akademisi ini.
Namun, terkadang mahasiswa yang kuliah bukanlah bersumber dari kemauan dan kesadaran diri sendiri melainkan karena adanya faktor paksaan dari orang tua atau keluarga. Sedangkan dosen yang hendak menjadi guru besar dilatarbelakangi karena faktor gengsi atau status sedangkan kemampuan diri masih terbatas untuk dapat meraih gelar yang diinginkan tersebut. Ada pula yang beralasan bahwa karena minimnya waktu dan kesempatan yang dilatar belakangi oleh faktor usia meskipun yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kompetensi.
Sehingga keberadaan joki ilmiah dianggap menjadi sangat penting dan berguna bagi para mahasiswa dan dosen yang hanya mementingkan hasil akhir tanpa mengedepankan pentingnya sebuah proses berpikir dan mengaktualisasikan diri.Â
Sekali lagi, seperti yang saya sampaikan di atas bahwa joki ilmiah hadir karena adanya peluang dan kesempatan yang diberikan oleh para mahasiswa dan dosen itu sendiri.
Apakah keberadaan joki ilmiah ini bisa "ditolak" dari dunia akademik? Jawabannya tentu saja bisa.Â
Lalu, bagaimana caranya agar tercipta iklim pendidikan dalam arti yang sesungguhnya hingga menjadikan para manusia yang terlibat di dalamnya menjadi "orang-orang yang terdidik".