Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pentingnya Pencegahan Tindak Pidana Anak dalam Konteks Pendidikan Karakter

28 Januari 2023   09:59 Diperbarui: 6 Februari 2023   07:08 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum kita membahas mengenai tindak pidana yang dilakukan anak-anak, mari kita sama-sama berdoa semoga generasi atau keturunan kita terhindar dan secara sadar menjauhkan dirinya dari perbuatan yang mengarah pada tindak pidana.

Keresahan itu timbul setelah mengetahui banyaknya kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak/remaja/siswa dan terus terjadi hingga kini.

Beberapa waktu lalu, kita mengetahui kabar mengenai aksi dua remaja (17 dan 14 tahun) yang nekat membunuh bocah berusia 11 tahun karena ingin menjual organ tubuh korban melalui situs di internet. tapi mereka malah tidak tahu caranya, tapi nyawa korban sudah tiada.

Selain itu, ada seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku TK dicabuli oleh tiga anak SD. Akibat kejadian ini, korban mengalami trauma sehingga enggan sekolah dan keluar rumah untuk bermain dan berinteraksi.

Itu hanya salah dua dari banyaknya kasus tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang masih dalam kategori usia yang dianggap sebagai anak-anak/remaja yang notabene merupakan seorang siswa yang masih bersekolah.

Bila kita tak bergerak cepat dalam upaya melindungi dan menanggulangi, maka akan masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa dengan kasus yang berbeda sebagai sebuah tindak pidana yang merupakan perilaku tak terpuji yang dilakukan seorang anak. 

Lalu, apakah kita masih bisa memaklumi dengan menganggap itu semua sebagai "kenakalan" semata? wajarkah bila kita bila terus-menerus melabeli perilaku "menyimpang" anak sebagai sebuah kenakalan sehingga menganggap itu itu semua hal yang biasa saja terjadi pada fase usia dan perkembangan mental dan perilaku seorang anak.

Sayangnya, banyak di antara kita tidak tahu mesti berbuat apa. Hingga akhirnya kita jua lah --- sebagai orang dewasa atau orangtua --- yang akan kelimpungan menghadapi dan menyelesaikan masalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

Menurut undang-undang yang berlaku, sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum.

Ilustrasi Peradilan Pidana Anak. (KOMPAS/HERYUNANTO) 
Ilustrasi Peradilan Pidana Anak. (KOMPAS/HERYUNANTO) 

Rekomendasi Tinjauan Ulang Asas Peradilan Tindak Pidana Anak untuk Ketegasan Hukum

Anak-anak dan remaja di Indonesia bisa saja berpotensi akan terperangkap dalam kecenderungan terdorong untuk melakukan aksi yang berujung pada tindak pidana.

Hal itu dapat terjadi bila tidak adanya ketegasan dalam proses penyadaran anak dan remaja tentang bagaimana tindak lanjut dari tindak pidana anak.

Konsekuensi hukuman atau sanksi adalah sebuah bagian dari proses penyadaran agar tindakan serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. sedangkan kita lebih banyak mentolerir tindak pidana yang dilakukan anak dengan dalih karena kasihan pada anak-anak.

Dunia sudah semakin maju sehingga menyebabkan pola perkembangan manusia juga terjadi semakin cepat, baik fisik, mental, dan konsep berpikir.

Kini, anak-anak sudah semakin cepat memasuki masa pubertas. sementara itu, masa pubertas merupakan masa transisi dari anak--anak menjadi remaja.

Pada masa remaja, fase ini dianggap sebagai proses individu akan semakin mengenal konsep benar-salah, baik-buruk, terpuji-tercela dan seterusnya, dalam lingkup perbuatan atau perilaku.

Dalam ajaran Islam, ada istilah tamyiz/mumayyiz yang bermakna bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Bila seorang anak sudah bisa membedakannya dan memahami konsekuensinya maka mereka sudah bisa dijatuhi sanksi atau hukuman atas perbuatannya sebagai sebuah bentuk ketegasan dengan tujuan membangun kesadaran menghirkan diri dari perbuatan yang dilarang yang bisa mendatangkan dosa yang ditanamkan sejak dini.

Sementara di Indonesia, dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun dalam praktik penegakan hukum atas aksi tindak pidana anak terkesan lebih "santai" atau istilah sempit adalah anak terlalu dimanja.

Nah, dengan semakin maraknya kejadian yang dilakukan oleh anak-anak maupun remaja, maka sudah selayaknya kita perlu mengkaji kembali sistem peradilan anak.

Sudah saatnya kita memikirkan kembali batasan usia bagi anak-remaja dan dewasa.

Berdasarkan UU RI No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang masih dalam kandungan hingga belum genap berusia 18 tahun.

Menurut hemat saya, agak ambigu kata anak yang digunakan sebagai redaksinya. memang benar bahwa anak adalah seseorang yang masih dalam kandungan hingga belum genap berusia 18 tahun. Bila sudah menikah maka akan dianggap nantinya sebagai orangtua. karena pada usia 19 tahun, seseorang sebenarnya sudah bisa melangsungkan pernikahan meskipun BKKBN merekomendasikan pada usia diatas 20 tahun. 

Oleh sebab itu, maka perlu ditegaskan kembali berapa usia kategori anak-anak, usia remaja, dan usia dewasa.

Untuk konsekuensinya, pelanggaran juga harus dibedakan sesuai kategori tersebut. dalam pengimplementasian tetap mengutamakan prinsip pengajaran atau pendidikan bagi anak tentang menyikapi sebuah aturan yang berlaku dengan konsekuensi hukum yang meliputinya.

Pencegahan anak dari tindakan pidana dimulai dari dukungan orangtua dan keluarga (Direktorat Sekolah Dasar/Kemdikbud.go.id)
Pencegahan anak dari tindakan pidana dimulai dari dukungan orangtua dan keluarga (Direktorat Sekolah Dasar/Kemdikbud.go.id)

Langkah Pencegahan Harus Dimulai dari Pendidikan Informal

Mengapa anak kecil bisa melakukan tindak pidana? 

Apa anak sudah benar-benar sadar dalam melakukannya?

Pada dasarnya, setiap anak akan melewati fase pencarian jati diri dan penemuan karakter kepribadian. proses pembentukannya dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. salah satu yang dominan adalah dari faktor lingkungan.

Lingkungan pergaulan bisa saja menjadi tempat bagi anak mengenal berbagai model karakter dari sesama teman sejawat.

Sedangkan dari sekian banyak anak juga akan memiliki beragam jenis karakter bawaan yang terbangun dari lingkungan keluarga atau pendidikan informal.

Ketika anak telah melakukan tindakan pidana, wajarkah itu karena ketidaktahuan anak melakukannya atau belum mengerti apa yang sebenarnya dilakukan?

Penelusuran karakter yang mendorong anak melakukan segala sesuatu dapat ditelusuri dari garis karakter informal; orangtua dan atau keluarga. karakter pada setiap anak sangat dipengaruhi oleh karakter orangtua maupun keluarganya.

Secara konsep sederhana, karakter anak adalah cerminan dari karakter orangtuanya. karakter yang ada pada anak bisa menjadi gambaran seperti apa orangtua sesungguhnya. 

Hendaknya orangtua harus siap dan mampu memberikan keteladanan yang baik bagi anak-anaknya. 

Ketika anak melakukan kesalahan jangan terlalu ditolerir dan menganggapnya sebuah hal biasa. bila orangtua selalu mengabaikan maka dari kesalahan kecil bisa berujung pada tindak pidana yang akan menjadi bumerang bagi orangtua itu sendiri.

Ketegasan orangtua dalam mendidik anak sangat diperlukan. Berbarengan dengan kasih sayang serta perhatian orangtua kepada anak sebagai bagian dari proses memaksimalkan peran dan fungsi parenting.

Ilustrasi. Peran guru dalam proses pembentukan karakter siswa. (Dok. TOTO SIHONO via Kompas.com) 
Ilustrasi. Peran guru dalam proses pembentukan karakter siswa. (Dok. TOTO SIHONO via Kompas.com) 

Upaya Guru Menguatkan Pendidikan Karakter bagi Peserta Didik di Sekolah

Sekolah bukanlah sekadar tempat untuk belajar ilmu pengetahuan, namun yang terpenting adalah bagaimana sekolah mampu menanamkan nilai-nilai untuk diterapkan peserta didik di dalam kehidupannya.

Untuk itu, apabila ditemukan adanya murid yang bermasala baik dari segi kognitif maupun karakter, maka sekolah atau guru harus segera melakukan tindakan preventif.

Bila sekolah adalah tempat untuk belajar, maka tujuan dari proses belajar adalah perubahan. 

Apabila peserta didik mampu membedakan hal baik dan hal buruk serta tidak cenderung ceroboh dalam bersikap maka tujuan dari adanya proses belajar sudah dapat dikatakan berhasil.

Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa sebenarnya tidak akan ada anak atau murid yang nakal bila sejak awal guru dapat membimbing dan membina dengan baik.

Karena proses belajar saat ini sudah bisa diterapkan dimana saja, kapan saja bahkan tanpa harus bertatap muka yakni secara daring atau virtual, maka guru harus selalu hadir sebagai role model yang baik bagi murid-muridnya.

Guru memerankan fungsi pembinaan, pemberian bimbingan, pendorong untuk berubah dan mendidik murid menjadi lebih baik untuk bertransformasi menjadi anak yang baik dan berakhlak.

Sekolah untuk mencetak kepribadian generasi-generasi bangsa yang dicita-citakan sesuai dengan konsep kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara atau memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

Maka dalam pengimplementasiannya, Kurikulum Merdeka pasti akan menghadapi tantangan dalam mewujudkannya Profil Pelajar Pancasila yang dicita-citakan.

Tujuan dihadirkannya Kurikulum Merdeka untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, bergotong-royong, berkebinekaan global, bernalar kritis dan kreatif.

Sekolah bisa dianggap berhasil menerapkan Kurikulum Merdeka apabila peserta didik telah menunjukkan karakter Profil Pelajar Pancasila dan mengamalkannya di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari.

Satu hal lagi, jelas saja bahwa pendidikan dihadirkan ke tengah kehidupan ini untuk memanusiakan manusia.

Dan sekolah pun diadakan sebagai tempat pembentukan karakter agar murid-murid menjadi manusia yang berakhlak mulia disertai dengan tertanamnya nilai-nilai moral dan kesusilaan pada setiap individu murid sebagai seorang pelajar.

Harapannya setiap satuan pendidikan dapat meraih tujuan mulia itu mulai dari jenjang PAUD, pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi.

Semoga para guru diberi kekuatan dan kemudahan untuk menunaikan tugas mulia membina karakter peserta didik menjadi generasi bangsa yang dapat memahami arti sebuah kehidupan hingga mereka sendiri dapat menghindarkan diri dari perilaku-perilaku yang tidak berimbas pada tindakan pidana.

Pentingnya masyarakat bersama-sama patuhi aturan, moral dan etika yang berlaku berpegang teguh pada Pancasila. (DOK. KOMPAS/HANDINING) 
Pentingnya masyarakat bersama-sama patuhi aturan, moral dan etika yang berlaku berpegang teguh pada Pancasila. (DOK. KOMPAS/HANDINING) 

Pendidikan Karakter oleh Masyarakat (Stakeholder) dalam Proses Penegakan Aturan yang Berlaku

Disamping itu, dalam proses perkembangan mental dan karakter anak juga dipengaruhi oleh paparan jenis karakter yang berkembang di lingkungan sekitar.

Tak bisa dipungkiri bahwa faktor lingkungan mengambil porsi yang cukup signifikan dalam mempengaruhi perubahan karakter anak --- dari baik menjadi tidak baik bahkan juga sebaliknya.

Oleh sebab itu, segenap lapisan masyarakat/stakeholder juga harus saling berjibaku bagaimana membangun pemahaman kepada anak dan remaja bahwa pentingnya mematuhi aturan yang berlaku demi terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang harmonis.

Secara logika, orang dewasa yang dianggap telah khatam dalam proses pembentukan karakter anak dikarenakan mereka sudah mampu menentukan pilihan karakter sesuai aturan moral yang berlaku. Namun faktanya tak sedikit kita mengetahui karakter orang dewasa yang "uneducated" sehingga upaya penegakan aturan bisa menjadi "ambyar".

Maka proses pendidikan karakter bagi anak adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan.

Pemerintah juga sudah berupaya mewujudkan generasi yang baik agar terhindar dari tindakan pidana. Misalnya saja upaya yang telah dilakukan Kemendikbud dengan menghadirkan Kurikulum Merdeka untuk membentuk akhlak generasi bangsa sesuai Profil Pelajar Pancasila.

Maka dari itu, segenap masyarakat perlu mendukung upaya guru agar sama-sama bekerja sama senantiasa meluruskan karakter generasi agar kembali dapat dibina dan dibimbing dalam proses pengenalan karakter baik yang semestinya menjadi karakter utama dari setiap anak.

Selain dari Kemdikbud, kementerian dan instansi pemerintah lainnya yang memegang kunci peran pencegahan tindakan pidana anak juga harus bersinergi dengan baik. Seperti misalnya Kominfo yang harus berjibaku meredam peredaran konten-konten yang tidak pantas disaksikan oleh anak. 

Pemerintah dan masyarakat harus "maju dua langkah" dalam proses membentengi generasi bangsa dari dampak globalisasi dan kemajuan zaman yang mempengaruhi karakter anak dan anggota masyarakat itu sendiri.

Wasana Kata

Pengkajian ulang terhadap asas peradilan pidana anak pasti akan menemui opsi atau pilihan dalam proses penentuan keputusan finalnya nanti bila memang terlaksana. Dan hendaknya keputusan yang dikembangkan berasal dari pilihan yang tepat dan benar-benar bijak karena menyangkut masa depan generasi.

Meski begitu, ada banyak cara, langkah dan strategi yang seharusnya diupayakan terlebih dahulu oleh berbagai pihak baik orangtua, sekolah, masyarakat dan pemerintah dalam upaya pencegahan anak pada tindakan pidana.

Kerja sama dengan orangtua memang sangat dibutuhkan dalam upaya meluruskan cara pandang dalam memilih sebuah sikap dan perilaku bagi anak. karena orangtua tidak bisa pasrah seutuhnya menyerahkan tanggung jawab pembinaan hanya kepada pihak sekolah atau guru.

Meminta bantuan atau rekomendasi pembinaan karakter yang diarahkan oleh anggota masyarakat pun juga bisa dijadikan wawasan untuk upaya pembinaan dan pembentukan karakter anak.

Bila berbagai upaya telah dilakukan maka kita bisa melihat anak akan terhindar dari tindakan pidana maupun tindakan lainnya yang berdampak fatal pada perkembangan anak. 

Setiap anak sebenarnya bisa diarahkan dan dibentuk karakternya menjadi lebih baik karena sejatinya yang dibutuhkan anak adalah perhatian --- berupa pembinaan, bimbingan dan didikan dari lingkungan dan orang-orang disekelilingnya sebagai support system yang baik.

Apakah kita sudah menemukan sebuah kesimpulan tentang bagaimana yang seharusnya dilakukan dalam upaya mencegah anak dari tindakan pidana? Sinergitas dan kerja sama semua adalah kuncinya yang utama.

Kembali kita berdoa, semoga anak, keturuan dan generasi kita semua senantiasa memperoleh petunjuk dalam bersikap, memiliki karakter dan akhlak mulia, serta terhindar dari tindak pidana. Aamiin.

*****

Salam berbagi dan menginspirasi.

== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun