Hal itu dapat terjadi bila tidak adanya ketegasan dalam proses penyadaran anak dan remaja tentang bagaimana tindak lanjut dari tindak pidana anak.
Konsekuensi hukuman atau sanksi adalah sebuah bagian dari proses penyadaran agar tindakan serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. sedangkan kita lebih banyak mentolerir tindak pidana yang dilakukan anak dengan dalih karena kasihan pada anak-anak.
Dunia sudah semakin maju sehingga menyebabkan pola perkembangan manusia juga terjadi semakin cepat, baik fisik, mental, dan konsep berpikir.
Kini, anak-anak sudah semakin cepat memasuki masa pubertas. sementara itu, masa pubertas merupakan masa transisi dari anak--anak menjadi remaja.
Pada masa remaja, fase ini dianggap sebagai proses individu akan semakin mengenal konsep benar-salah, baik-buruk, terpuji-tercela dan seterusnya, dalam lingkup perbuatan atau perilaku.
Dalam ajaran Islam, ada istilah tamyiz/mumayyiz yang bermakna bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Bila seorang anak sudah bisa membedakannya dan memahami konsekuensinya maka mereka sudah bisa dijatuhi sanksi atau hukuman atas perbuatannya sebagai sebuah bentuk ketegasan dengan tujuan membangun kesadaran menghirkan diri dari perbuatan yang dilarang yang bisa mendatangkan dosa yang ditanamkan sejak dini.
Sementara di Indonesia, dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun dalam praktik penegakan hukum atas aksi tindak pidana anak terkesan lebih "santai" atau istilah sempit adalah anak terlalu dimanja.
Nah, dengan semakin maraknya kejadian yang dilakukan oleh anak-anak maupun remaja, maka sudah selayaknya kita perlu mengkaji kembali sistem peradilan anak.
Sudah saatnya kita memikirkan kembali batasan usia bagi anak-remaja dan dewasa.
Berdasarkan UU RI No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang masih dalam kandungan hingga belum genap berusia 18 tahun.