Hal yang paling krusial saat itu adalah tentang bagaimana cara untuk pulang sendiri ke rumah menggunakan angkot atau angkutan umum.Â
Dari kecil sebenarnya memang penulis sudah diarahkan untuk dapat mandiri dalam melakukan segala sesuatu.
Karena kedua orang tua kami sama-sama bekerja maka tidak ada ritual antar-jemput ke sekolah layaknya siswa yang lain.
Oleh sebab itu penulis harus bisa pulang sendiri ke rumah dengan menggunakan angkot dengan cara menyisihkan uang untuk membayar ongkosnya.
Namun yang namanya anak SD yang masih labil dan belum mampu mengelola keuangannya dengan baik. Sehingga pada hari itu penulis menghabiskan semua uang jajan yang diberikan oleh orang tua tanpa menyisihkan uang 1 rupiah untuk membayar ongkos angkot.
Kira-kira ketika tidak ada uang untuk bayar ongkos, bagaimana caranya ya untuk bisa pulang ke rumah?
Ya, mau nggak mau tentu solusinya adalah harus dengan berjalan kaki.
Dan pada akhirnya penulis memutuskan untuk jalan kaki dari sekolah menuju rumah yang jaraknya cukup jauh. Anehnya jarak sejauh itu tidak menjadi sebuah penghalang bagi seorang anak SD untuk mau jalan kaki dan dibawah teriknya sinar matahari di siang bolong.Â
Tapi coba kita ulangi kembali momen jalan kaki semasa SD ketika kini kita sudah dewasa pasti kita punya 1001 alasan untuk menolaknya.
Pada saat itu penulis jalan kaki berdua dengan teman yang arah tujuan rumah kami memang searah. Buah dari momen yang sangat unik dan menggelitik tersebut, kami terus menjalin persahabatan hingga kini.
Luar biasa!