Selanjutnya akan ada dua alternatif; dititipkan ke SLB atau jika hasil rekomendasi psikolog menyatakan ABK ini tetap di sekolah reguler maka siswa itu harus didampingi guru pendamping khusus (GPK).
Tentu kendalanya sekolah tidak memiliki biaya yang memadai untuk menghadirkan GPK di sekolah reguler. Disinilah sebenarnya harus ada “duduk bersama” antara sekolah dan orangtua.
Syukur-syukur jika orangtua bersedia menanggung biaya untuk guru pendamping khusus.
Di banyak sekolah inklusi, keberadaan GPK ini untuk mendampingi masing-masing ABK. 1 ABK, 1 GPK. GPK ini nantinya yang akan mendampingi ABK selama pembelajaran di kelas bersama siswa normal lainnya.
Indikator pembelajaran untuk ABK tetap akan dibedakan dengan siswa yang normal. Hal ini dapat sejalan dengan konsep Kurikulum Merdeka yakni semua anak itu kondisinya berbeda-beda.
Maka perlakukan lah gaya mengajar dan gaya belajar bagi setiap siswa pun berbeda termasuk untuk para ABK.
Menyamakan persepsi untuk kelayakan dan kesetaraan pendidikan
Semua pihak harus menyamakan persepsi bahwa sejatinya setiap anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak di mana pun anak akan bersekolah.
Ruh yang harus ada yakni kesetaraan dalam pendidikan. Jika sekolah tidak memberikan hak tersebut kepada para siswa termasuk kepada ABK, maka telah terjadi pelanggaran UUD 1945 pasal 31 ayat 1, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran".
Lalu didukung oleh adanya Permendikbud Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi.
Jangan lagi ada diantara kita semua yang menyebut “anak cacat”, tapi “anak istimewa”. Jangan menyebut anak inklusif, tapi anak berkebutuhan khusus.