Ada sebuah pengalaman pribadi yang sangat menarik yang perlu penulis bagikan kali ini terkait penyematan status anak berkebutuhan khusus (ABK) pada anak yang terkena hidrosefalus (hydrocephalus).
Jika anak yang mengidap hidrosefalus dikatakan sebagai ABK, maka penulis termasuk seseorang yang sangat erat dalam berhubungan dengan ABK.Â
Tapi sebenarnya penulis sendiri masih bingung apakah memang anak yang kami tangani ini digolongkan menjadi anak berkebutuhan khusus atau tidak.Â
Sejak kecil penulis sudah mengalami sendiri pengalaman yang cukup berharga ketika ikut mengasuh keponakan yang terkena hidrosefalus.Â
Ya, penulis memiliki seorang keponakan yang sangat istimewa. Keponakan kami yang terkena hidrosefalus ini lahir ketika menulis masih duduk di bangku kelas 5 SD.Â
Jadi bisa dibilang penulis sudah berhubungan dengan yang namanya hidrosefalus ini selama lebih kurang 19 tahun lamanya jika dihitung hingga usia penulis saat ini yang sudah berkepala tiga.Â
Dulu, waktu zaman penulis masih SD, anak-anak yang terkena hidrosefalus ini mungkin jumlahnya masih sedikit sehingga keluarga kami merasa cukup syok atau gagap dalam menghadapi kondisi tersebut sehingga penanganannya kurang maksimal karena minimnya literasi tentang hidrosefalus ini. Lagian di masa itu penetrasi internet sebelum maju pesat seperti kondisi saat ini.
Walau demikian keluarga kami khususnya orang tua dari keponakan ini tetap mengusahakan yang terbaik dari segi perawatan medis maupun pengobatan secara tradisional. Hingga pada akhirnya hidrosefalus yang diidap oleh keponakan kami dapat berangsur pulih mengikuti fase perkembangannya.Â
Bila penulis perhatikan kondisi tengkorak kepalanya terlihat cukup menarik perhatian jika diperhatikan secara dekat. Namun dari segi pergerakan kemampuan kognitif serta segi karakter dan sikap, keponakan kami ini bisa dibilang kondisinya sama saja dengan anak-anak dengan kondisi normal atau dalam kondisi biasa lainnya.Â
Sejak dulu sebenarnya penulis memang sudah bisa melihat bahwa keponakan kami ini memiliki kemampuan IQ yang cukup baik. Hal itu dapat terlihat bahwa ketika kecil keponakan ini menunjukkan bukti perkembangan kognitifnya cukup membanggakan.Â
Bahkan dulu ketika keponakan kami ini masih berumur sekitar 6 tahun ia sudah sangat tertarik dengan kendaraan bermotor dan begitu antusias dan tahu istilah-istilah yang berhubungan dengan kendaraan bermotor.
Padahal jika dibandingkan dengan teman seusianya, mereka belum tentu bisa jago pula dalam menguasai beberapa informasi penting tentang kendaraan bermotor ini. Itu hanya contoh sederhana saja.Â
Banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan IQ yang tidak kalah jika dibandingkan dengan anak-anak yang dalam keadaan normal atau yang tumbuh kembangnya tidak terganggu oleh penyakit bawaan yang diderita seperti hidrosefalus ini.Â
Pilihan antara Sekolah Reguler atau SLB yang Sangat Dilematis
Pada usia 6 tahun, dimana keponakan kami ini hendak memasuki masa belajar di sekolah, seperti ada kegalauan atau dilema tersendiri yang dihadapi oleh orang tuanya.Â
Dilema yang dimaksud adalah apakah keponakan ini akan dimasukkan ke sekolah reguler atau ke sekolah khusus (SLB). Mengingat kondisi fisik dari sisi tampilan tulang tengkoraknya. Anda semua pasti sudah paham tentang seperti apa penampakan bagian kepala anak yang terkena hidrosefalus.
Namun, pada masa itu ia sudah memiliki kemampuan motorik yang baik sehingga dapat bergerak dan beraktivitas dengan lancar tanpa perlu bantuan dari orang disekitarnya atau tidak bergantung sama sekali dengan orang lain.
Ia pun juga sudah lancar berbicara sehingga dapat berkomunikasi dengan lancar dan baik. Jadi sebenarnya kami menilai keponakan kami ini bukanlah seorang ABK.
Hanya saja jika orang tuanya memilih mendaftarkannya ke sekolah reguler kemungkinan besar ia bisa saja menjadi bahan olok-olokan atau terkena bully dari temannya. Oleh karena itulah kami rasa orang tuanya memilih untuk mendaftarkannya ke SLB.
Di SLB, ia dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Ia pun mampu berinteraksi dengan teman dan guru-gurunya dengan baik pula.Â
Namun, kami menilai bahwa keponakan kami telah berubah menjadi sosok yang cukup berbeda dari sisi cara berinteraksi dengan orang lain.Â
Dugaan kami sementara lantaran kondisi tersebut dipengaruhi oleh hasil interaksi dengan teman-temannya yang benar-benar dalam kondisi ABK dari segi kondisi fisik maupun kondisi mental atau psikis.
SLB sebagai tempat keponakan kami bersekolah menjadi salah satu SLB yang menjadi tujuan para orang tua ABK untuk menyekolahkan anaknya. Jumlah muridnya pun cukup banyak serta fasilitasnya pun cukup baik. Termasuk adanya layanan bus antar jemput bagi para siswa ABK.
Tapi tetap saja kami menilai hasilnya kurang maksimal dalam hal peningkatan kemampuan kognisinya.Â
Apakah disebabkan selisih antara jumlah guru dan ABK yang tidak sebanding sehingga "treatment" atau penanganan secara profesional kepada setiap siswa ABK menjadi kurang maksimal. Atau mungkinkah pengaruhnya datang dari segi interaksi dengan siswa ABK lainnya? Entahlah, kami tidak belum mampu menyimpulkan secara gamblang.
Kini keponakan kami sudah besar dan tumbuh layaknya anak-anak dalam kondisi normal lainnya. Bahkan keponakan kami dapat menjalin pertemanan dan berinteraksi dengan baik bersama teman-temannya.Â
Syukurlah temannya tidak ada satupun yang melakukan bullying terhadap kondisinya. Mungkin karena sudah memaklumi kondisi yang dialami oleh keponakan kami.Â
Lagian keponakan kami dari segi sikap dan karakter juga cukup baik bahwa ia tidak pernah mengganggu temannya atau tidak pernah mencari masalah.Â
Selain itu, ia juga mampu membawa motor dengan seorang sendiri.Â
Bagaimana dengan kondisi psikisnya?
Kami melihat kondisi sesungguhnya juga sudah sangat positif karena dia bisa dibina untuk dekat dengan ajaran agama dengan selalu beribadah.Â
Ia pun ternyata juga sudah mengenal lawan jenis. Hal itu terbukti ketika penulis pura-pura meminjam handphone-nya dan kami coba periksa pesan chat yang dikirimkannya kepada teman perempuannya.Â
Jadi, dapat disimpulkan bahwa keponakan kami ini tumbuh dengan wajar dan sejatinya bisa dikatakan sebagai anak yang bukan termasuk kategori ABK. Sayang sekali, selama ini ia mengenyam pendidikan di SLB.Â
Penting bagi Orangtua Memastikan Kondisi Riil yang Dialami Anak
Sungguh suatu catatan yang sangat berharga yang perlu kami bagikan di sini kepada para orang tua agar selalu dapat memastikan kondisi riill atau kondisi sesungguhnya dari masing-masing anak.Â
Hal ini penting sekali bagi orang tua guna menyimpulkan kondisi anaknya apakah dikategorikan menjadi ABK atau tidak. Sehingga penanganan yang akan diberikan kepada anak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.Â
Pada kasus yang dialami keponakan kami yang terkena hidrosefalus ini sebenarnya ia bisa saja berpotensi untuk dimasukkan ke sekolah reguler karena kondisinya baik-baik saja. Hanya dari sisi pembentukan tengkorak kepalanya saja yang berbeda sedangkan dari sisi yang lainnya ia memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh anak di sekolah reguler.
Khusus untuk para orang tua yang memiliki kasus serupa dengan kondisi yang dialami oleh keponakan kami maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar anak mendapatkan akses pendidikan yang semestinya.
1. Orang tua bisa berkonsultasi ke psikolog atau ke dokter spesialis untuk memastikan seperti apa kondisi kognisi dan mental dari anak yang bersangkutan. Jika memang kondisi anaknya baik-baik saja maka bisa didaftarkan ke sekolah reguler. Sedangkan jika hasil pemeriksaan memutuskan bahwa anaknya termasuk kategori ABK maka orang tua bisa mantap memasukkan anaknya ke SLB atau sekolah inklusi.
2. Jika anak yang terkena hidrosefalus bukanlah ABK dan orang tuanya berani untuk mendaftarkan ke sekolah reguler maka orang tua dapat menjalin kerjasama dengan pihak sekolah untuk memastikan anak tersebut pantas untuk dimasukkan ke sekolah reguler dengan memperlihatkan bukti rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter spesialis dan psikolog.
3. Guru dan pihak sekolah bisa mengawasi bagaimana sikap dari anak-anak dalam kondisi normal dalam berinteraksi dengan anak yang terkena hidrosefalus ini. Dengan pengawasan yang baik dan terkontrol maka hal-hal yang tidak inginkan seperti kasus bullying atau perundungan dapat terhindarkan sejak awal.
Demikianlah beberapa hal yang bisa kami bagikan terkait pengalaman keluarga kami mengambil langkah penanganan untuk anak yang terkena hidrosefalus. Sehingga informasi ini hendaknya dapat menjadi rekomendasi proses penanganan bagi orang tua yang anaknya juga terkena hidrosefalus.
Pesan kami kepada orang tua yang anaknya terkena hidrosefalus adalah jangan minder dan yakin bahwa anaknya bisa tumbuh dengan baik layaknya anak-anak yang lainnya. Sehingga orang tua harus dapat mengambil keputusan yang pas sesuai dengan kondisi riil yang dialami oleh anak yang terkena hidrosefalus ini.
Karena semua anak berhak mendapatkan pengalaman belajar dan proses pendidikan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan anak sehingga potensi yang tersimpan di dalam diri setiap anak dapat tereksplor dan dikembangkan secara baik dan berkelanjutan. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UU dan peraturan menteri terkait.
Semoga informasi ini bermanfaat bagi kita semua dan menambah wawasan khususnya bagi orang tua yang anaknya terkena hidrosefalus.
Tetap semangat, jangan khawatir karena anak-anak yang terkena hidrosefalus bisa tumbuh normal dan berpotensi untuk tidak dikelompokkan menjadi ABK.
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
[Akbar Pitopang]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H