Kini, dunia telah berangsur pulih dari dampak pandemi. Begitu pula dengan dunia pendidikan yang telah kembali membuka akses untuk Siswa mengikuti proses pembelajaran di ruang kelas melalui tatap muka secara langsung.
Dunia pendidikan kembali bergulir seperti sedia kala sebagaimana keadaan sebelum adanya pandemi.
Kurikulum pun ikut berganti dari Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka. Secara garis besar Kurikulum Merdeka ini dihadirkan guna memerdekakan siswa.
Baru saja dunia pendidikan mencoba memulihkan keadaan, tapi kasus teranyar terkait bullying yang dilakukan anak SD ini kembali membuat dunia pendidikan di Indonesia merasa sangat berduka.
Padahal sekolah terus berupaya mengusahakan yang terbaik untuk murid dapat disiapkan menjadi generasi impian di masa depan.
Selaku guru, tugas mulia yang telah kami lakukan selama ini berupa mengajar ilmu pengetahuan serta mendidik karakter murid, memanusiakan manusia.
Tidak hanya otak yang diasah, tapi karakter murid terus dipertajam dengan pengamalan sikap-sikap positif yang dicita-citakan berguna bagi kehidupan sosial kemasyarakatan murid di masa mendatang.
Di sekolah, para murid dibimbing untuk belajar dengan gaya kolaboratif melalui diskusi atau pembelajaran berbasis problem based learning untuk menanamkan sikap kerjasama antar murid dalam memecahkan suatu masalah.
Murid yang berasal dari berbagai latar belakang seperti suku, ras, agama, dan lainnya terus dibina untuk dapat menerapkan sikap toleransi di antara mereka.
Sudah sebegitu luar biasa upaya yang telah dilakukan oleh guru di sekolah dalam mendidik karakter murid-muridnya.Â
Lalu, mengapa kasus seperti bullying tersebut masih saja terus terjadi? Satu hal yang menjadi perhatian kami sebagai guru adalah cara bullying yang telah berada di level yang berbeda dari sebelumnya. Dimana aksi bullying ini dilakukan pula dengan merekam aksi bullying dan menyebarkannya ke media sosial.