Saat ini pemerintah tengah mengeluarkan kebijakan yakni penghapusan tenaga honorer di berbagai instansi yang kemudian akan digantikan statusnya menjadi pekerja outsourcing.
Outsourcing, sebuah istilah yang sering terdengar dan tak asing di dunia kerja khsususnya di perusahaan maupun instansi swasta.
Outsourcing sudah lama dikenal dan menjadi strategi bisnis sejak tahun 80'an dan masih menjadi solusi perekrutan tenaga karyawan yang dipakai hingga sekarang.
Apa sih yang sebenarnya dimaksud dengan outsourcing itu?
Dilansir dari Investopedia, outsourcing merupakan istilah dalam proses penggunaan tenaga kerja yang disediakan oleh pihak ketiga untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu di sebuah perusahaan.
Maka saat proses perekrutan pekerja, perusahaan akan bekerja sama dengan perusahaan outsource yang menyediakan sumber daya manusia tersebut.
Pihak ketiga yang menyediakan tenaga outsourcing ini merupakan sebuah institusi penyedia jasa dan tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk perusahaan-perusahaan yang membutuhkannya.
Menurut Pasal 64 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis".
Selanjutnya pekerja outsourcing akan bekerja untuk perusahaan melalui sistem kontrak yang dibagi menjadi dua, yakni Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Outsourcing adalah solusi cerdik yang ditempuh oleh banyak perusahaan untuk menyelesaikan masalah terkait kurangnya sumber daya manusia di perusahaan mereka.
Perusahaan banyak sekali diuntungkan dengan adanya outsourcing ini. Dengan merekrut pekerja outsourcing dapat menjadi upaya penghematan bagi perusahaan dalam biaya operasional yang akan dikeluarkan dalam proses perekrutan.
Perusahaan juga tidak perlu pusing-pusing mencari bibit-bibit unggul yang akan dipekerjakan oleh perusahaan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan teknis dan operasional yang ada di dalam perusahaan mereka.
Intinya, perusahaan tinggal beres saja dan menunggu di perusahan lalu pihak ketiga akan mendatangkan pekerja yang kriterianya sudah sesuai dengan yang ditentukan oleh perusahaan.
Ketika ada pekerja yang tidak diharapkan oleh perusahaan, maka perusahaan bisa meminta ganti yang lebih baik yang sesuai dengan keinginan perusahaan. Namun, perusahaan tak mengeluarkan biaya penggantian atau perekrutan ulang.
Tak semua pekerjaan akan dilimpahkan kepada outsourcing. Biasanya pekerjaan-pekerjaan yang akan dilimpahkan merupakan pekerjaan yang bersifat operasional bukan manajerial.
Ibaratnya, pekerjaan yang akan diberikan kepada outsourcing merupakan pekerjaan kasar seperti cleaning service, customer care, pekerja pabrik, penjaga keamanan, kurir atau driver, hingga staf administrasi perkantoran atau perusahaan.
Pengalaman Menjadi Outsourcing dan Sistem Kerja yang Dijalankan
Kami merasakan betul bahwa keberadaan outsourcing ini sebuah alternatif perekrutan yang sangat menguntungkan perusahaan.
Pada tahun 2015 hingga 2018, kami sempat merasakan bekerja di perusahaan swasta skala nasional yang merupakan bagian jaringan korporasi yang memiliki banyak anak peruhaan dalam berbagai sektor bidang. Salah satu perusahaannya adalah dalam bidang finance atau pembiayaan yang juga punya banyak cabang se-Indonesia.
Pada awalnya kami direkrut dengan sistem outsourcing. Kebetulan pada saat itu bagian OH di cabang ikut terlibat dalam proses perekrutan terkait proses wawancara.
Selanjutnya ketika kami telah dinyatakan diterima bekerja di perusahaan tersebut maka pihak ketiga akan mengambil alih segala bentuk administrasi yang akan mengawasi hak dan kewajiban kami sebagai seorang karyawan.
Saat itu, kami diterima sebagai AR Admin yang mengurusi keperluan terkait berbagai hal yang berhubungan dengan collecting angsuran oleh kreditur.
Selama menjalankan berbagai jobdesk yang ditugaskan oleh perusahaan kepada kami, terkadang kami tetap bekerja pada saat offday atas perintah langsung atau tidak langsung dari Kepala Cabang (Head Office/ HO).
Tetapi disini kami akan menggarisbawahi beberapa hal yang dapat dijadikan catatan oleh perusahaan maupun jasa penyedia tenaga outsourcing.
Jasa penyedia harus benar-benar menjalankan fungsi pemberian pelatihan kepada tenaga outsourcing. Perusahaan akan menganggap bahwa pekerja outsourcing yang akan dipekerjakan sudah memiliki keahlian spesifik yang dibutuhkan perusahaan.
Padahal saat kami direkrut pada waktu itu kami tidak mendapatkan pelatihan khusus sehingga ada kecanggungan yang kami rasakan ketika pertama kali bekerja di perusahaan. Beruntung Operational Head atau kepala admin mau mengajari kami terkait beberapa jobdesk yang akan dikerjakan.
Sistem outsourcing ini menerapkan sistem kontrak kerja yang relatif singkat dan akan terus diperbaharui oleh pihak ketiga setiap tahun jika pekerja masih dipakai oleh perusahaan.
Sehingga dengan adanya sistem kontrak ini, pekerja akan senantiasa menghambakan diri kepada perusahaan dengan tujuan agar peruhaan tetap akan memperbaharui kontraknya setiap tahun.
Namun, dari sistem dan cara kerja yang seperti itu membuat iklim yang terbangun di perusahaan menjadi kurang kreatif. Dimana pekerja outsourcing hanya berfokus bagaimana menyelesaikan segala pekerjaan dengan baik sesuai keinginan perusahaan.
Pada akhirnya hak-hak pekerja dapat menjadi terabaikan baik oleh perusahaan maupun kerelaan hati dari pekerja outsourcing tersebut.
Sebagaimana yang disebutkan diatas, bahwa terkadang kami tetap dipanggil untuk stand by di kantor. Dan yang paling sering kami alami adalah pulang malam karena harus lembur padahal honor lembur itu tidak seberapa.
Pada tahun 2018, cabang kami tutup lantaran mengalami defisit anggaran dan keuntungan yang diperoleh sudah tidak dapat menutupi biaya operasional yang dikeluarkan. Beberapa pekerja dipangkas dan dirumahkan.
Karena suasana sudah tidak kondusif dan iklimnya sudah berbeda maka kami ikut mengundurkan diri. Namun, baik kami maupun pekerja yang dirumahkan tersebut tidak mendapatkan hak berupa pesangon dari perusahaan.
Honorer diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Sistem Outsourcing yang Diadaptasi Pemerintah
Dua hari yang lalu, secara kebetulan kami dan rekan membahas tentang perekrutan honorer menjadi PPPK oleh Kemdikbud.
Dimana nantinya PPTK ini tetap berstatus sebagai seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) sesuai undang-undang yang berlaku bahwa ASN terbagi menjadi dua, PNS dan PPPK.
Kami menilai sistem yang diterapkan dalam PPPK ini sama saja dengan tenaga outsourcing di perusahaan atau instansi swasta.
Walaupun antara PNS dan PPPK sama-sama berstatus sebagai seorang ASN, namun dari sistem penggajian cukup berbeda serta PPPK tidak menerima dana pensiun setelah menjadi purnabakti.
Padahal sebenarnya tujuan menjadi seorang ASN yang diharapkan adalah ketika nanti telah purnabakti dapat memperoleh tunjangan pensiun yang sangat berguna di masa tua.
Tapi para PPPK tentu hanya akan menerima keputusan dari pemerintah. Diangkat menjadi ASN jalur PPPK saja sudah menjadi sesuatu yang sangat diimpikan dan disyukuri oleh para honorer yang selama ini nasibnya selalu terkatung-katung.
Padahal selama ini pemerintah yang telah mempekerjakan honorer sebenarnya pemerintah sama-sama saling membutuhkan dan sangat bergantung dengan kehadiran honorer.
Kebutuhan formasi yang masih kosong dapat segera diisi oleh honorer sehingga pemerintah menjadi dintungkan dalam anggaran untuk biaya operasionalnya.
Selama ini tenaga kerja honorer telah menjadi solusi dikala pemerintah membutuhkan sumber daya manusia tambahan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu di instansi pemerintah yang bersangkutan.
Angin surga telah dihembuskan oleh Mas Menteri, Bapak Nadiem Makarim dalam siaran pers pada sore kemarin (9/6). Mas Menteri menyampaikan bahwa kran rekrutmen PPPK akan kembali dibuka tahun ini dan akan memprioritaskan honorer yang telah lulus passing grade termasuk honorer kategori K2.
Di satu sisi, pemerintah masih sangat membutuhkan kehadiran honorer untuk melengkapi kekosongan atau kebutuhan yang ada. Honorer sudah khatam akan seluk beluk pekerjaan dan segala hal yang terkait dengan pemerintah.
Di sisi lain, para tenaga honorer sangat bercita-cita menjadi seorang ASN walaupun dari jalur PPPK demi mengangkat martabat dan harga diri sebagai seseorang yang selama ini telah mengabdikan diri dan melayani negeri sepenuh hati.
Oke, baiklah disini dapat kita simpulkan bahwa status tenaga honorer yang kemudian diangkat menjadi PPPK, dimana sistem ini sama saja menjadi para PPPK layaknya tenaga outsourcing karena diangkat dengan sistem perjanjian kerja.
Walau demikian, kami menilai langkah ini sebagai bentuk reformasi birokrasi dan reformasi mental para honorer agar ketika telah diangkat menjadi seorang PPPK tetap mengerahkan segala kemampuan terbaiknya demi kepentingan negara dan bangsa.
Berpijak pada sistem outsourcing, pemerintah sepertinya menginginkan adanya reformasi cara bekerja oleh para ASN terutama para PPPK ini.
Apakah dengan diangkatnya tenaga honorer menjadi PPPK dapat memungkinkan mereka menjadi lupa diri sehingga menjadi lengah dan lalai terhadap tugasnya sebagai seorang ASN? Bisa saja hal itu terjadi karena status PPPK ini dapat membuat honorer seperti berada diatas angin.
Nah, karena status tenaga honorer yang telah terikat dengan pemerintah ini maka tenaga honorer akan tetap bekerja dengan baik sesuai dengan yang diharapkan oleh instansi tempat ia bekerja atau tempat penugasan.
Jika honorer lengah dan memainkan amanah yang telah diraihnya maka tentu bisa saja statusnya sebagai Pegawai Pemerintah dapat diputus karena adanya Perjanjian Kerja ini.
Sisi negatif dari sistem PPPK ini adalah pengabaian terhadap hak-hak honorer yang mungkin sangat patut untuk diangkat ke permukaan. Dengan status mereka yang diangkat pemerintah bersadarkan perjanjian kerja maka nyali mereka akan menyusut karena khawatir terjadi pemutusan perjanjian kerja.
Selain itu, ada pula sisi positifnya yakni para tenaga honorer yang telah diangkat menjadi PPPK ini dituntut dapat bekerja dengan cerdas, efektif dan efisien sebagai bagian dari Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) bagi masing-masing pegawai sebagai acuan apakah pegawai tersebut tetap akan diangkat sebagai seorang PPPK.
Tapi disisi lain kita bisa menilai bahwa status PPPK yang disandang oleh para mantan honorer ini seperti Pegawai Negeri kelas dua. Mereka sama-sama berstatus sebagai ASN jika dipandang menurut perundang-undangan yang berlaku.
Kini, yang ditunggu-tunggu oleh para honorer adalah perubahan status demi sebuah kesejahteraan. Bagi para honorer adalah mereka siap jika keberadaan mereka harus dihapuskan. Tapi mereka berharap penghapusan itu hanya untuk status mereka sebagai honorer, tapi keberadaan mereka menjadi naik level dengan diangkat sebagai PPPK.
Semoga hal ini menjadi langkah jitu yang ditempuh pemerintah sebagai suatu solusi yang mencerahkan. Perubahan yang mengarah kepada proses perbaikan baik kinerja maupun langkah untuk menuju sebuah kesejahteraan, kami rasa sah-sah saja.
Harapannya tidak ada lagi honorer yang nasibnya seperti seorang budak. Kerja kerja dan kerja tapi kesejahteraan tak kunjung mereka terima.Â
Berlandaskan pada sila kelima dalam Pancasila, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Honorer adalah rakyat yang juga perlu untuk disejahterakan.
Salam perubahan yang membawa kepada kesejahteraan..
[Akbar Pitopang]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H