Topik tentang toleransi ini sepertinya tidak akan pernah berhenti unuk dibahas. Mengapa? Karena toleransi merupakan sebuah kebutuhan bersama. Hidup di lingkungan yang heterogen dengan beragam latar belakang.
Begitulah yang kita rasakan dimana kita menetap di negara dengan masarakat yang begitu majemuk dan beragam, Indonesia. Indonesia milik kita bersama. Maka menjadi seseorang yang toleran (baca: orang yang menjalani toleransi) adalah sebuah keniscayaan.
Menjadi negara dimana penduduknya memiliki sikap yang senantiasa menjunjung semangat toleransi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada tekad dan kemamuan bersama untuk membangun kesadaran hidup bertoleransi ini.
Negara Indonesia yang kita kita cintai dan banggakan ini dapat diibaratkan sebagai sebuah bangunan tidak akan dapat berdiri kokoh tanpa fondasi yang kuat. Jika tidak sedari awal kesadaran beroleransi ini ditumbuhkan maka hancurlah negara ini.
Langkah awal dalam membangun fondasi toleransi adalah dari dunia pendidikan aau lingkungan sekolah. Para generasi bangsa yang akan melanjutkan keberadaan negera ini di masa mendatang. Untuk itu, proses pembentukan nilai dan karakter toleransi ini harus senantiasa diterapkan yang dimulai dari dunia pendidikan. betapa pentingnya fondasi toleransi dibangun dan dimulai dari dunia pendidikan
Inilah Realita Toleransi  di Sekolah
Di sekolah, kami para guru telah senantiasa mengingatkan siswa untuk bertoleransi dengn sesama teman yang memiliki keragaman yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
Kebetulan di sekolah kami sendiri, kami menemukan keragaman itu. Baik guru maupun siswanya sangat beragam dan majemuk sekali. Beragam latar belakang, prinsip, keyakinan, pandangan hdup, dan seterusnya.
Sekolah kami juga memiliki keragaman dari segi agama kepercayaan. Agama yang dianut oleh siswa maupun guru diantaranya adalah Islam, Kristen, Katolik, dan Budha. Termasuk ada salah seorang siswa yang menganut aliran kepercayaan.
Sekolah tidak pernah membedakan-bedakan siswa maupun guru. Tapi sekolah kami dapat mengakomodir perbedaan itu dengan baik.
Langkah yang diambil sekolah kami dalam upaya menjaga karakter toleransi antar sesama warga sekolah ini diantaranya; menyediakan jadwal pelajaran agama yang sesuai alokasi jam pelajaran yang dibutuhkan, hingga menyediakan ruang belajar khusus  bagi siswa Kristen.
Selain itu, bahkan  jelas sekali terlihat oleh mata kami sendiri di lapangan tentang penerapan sikap toleransi antar sesama siswa kami. Dimana bulan Ramadhan ini menjadi saksi bisu penerapan toleransi itu.
Di sekolah kami, setiap ada kegiatan pembelajaran yang dilakukan selama bulan Ramadhan, maka juga akan dibarengi kegiatan penanaman IMTAQ (iman dan taqwa). Diluar Ramadhan biasanya kegiatan ini dilaksanakan setiap Jum'at pagi. Namun selama bulan Ramadhan, kegiatan imtaq dilaksanakan setiap hari.
Kegiatan imtaq ini dapat diikuti oleh semua siswa. Bagi siswa muslim akan menggelar kegiatan imtaq di halaman sekolah. Sedangkan bagi siswa non muslim melaksanakannya didalam kelas. Kegiatan ini dipimpin oleh guru bidang studi agama serta diawasi oleh senegap majelis guru yang hadir pada pagi hari itu.
Berdasarkan data yang kami himpun dari pihak sekolah bahwa jumlah keseluruhan siswa berjumlah 324 orang. Dimana 22 orang diantaranya beragama Kristen, 2 orang beragama Katolik, 2 orang beragama Budha, 1 orang menganut aliran kepercayaan, dan selebihnya beragama Islam.
Bagi siswa yang beragama Islam maka akan melaksanakan kegiatan imtaq di halaman sekolah. Lantaran jumlah siswa yang sangat banyak sehingga tidak memungkinkan jika kegiatan imtaq dilakukan didalam kelas yang ukuran dan kapasitasnya terbatas.
Kegiatan imtaq bagi siswa muslim yang biasa dilakukan diantaranya, melaksanakan shalat Dhuha berjama'ah, tadarus al-Qur'an, hafalan juz 30, membaca surah Yasin bersama, praktek shalat oleh siswa, hingga mendengarkan tausiyah.
Karena kegiatan imtaq bagi siswa muslim di halaman sekolah maka digelarlah tikar memanjang berjumlah sebanyak lima shaf atau baris. Biasanya yang menggelar tikar ini dimintakan bantuan kepada siswa sendiri. Dimana guru tak pernah meminta bantuan dengan memaksa namun siswa muslim mau membantu dengan ikhlas.
Ternyata kebiasaan menggelar tikar ini diperhatikan oleh siswa yang beragama non muslim lainnya. Mereka siswa non muslim ikut terlibat membantu menggelar tikar di halaman sekolah. Sembari menunggu guru khusus agama mereka datang ke kelas .
Sungguh pemandangan yang luar biasa yang benar-benar kami saksikan dengan mata kepala kami sendiri. Kami tak pernah minta bantuan siswa non muslim. Tapi, mereka mau ikut membantu begitu saja tanpa paksaan dan dengan kesadaran mereka sendiri.
Terkadang siswa non muslim tidak hanya ikut membantu menggelar tikar saja. Melainkan mereka ikut menyapu dan membersihkan tanah yang hinggap diatas tikar tersebut. Dan memastikan tikar itu bersih sehingga siap untuk digunakan oleh siswa muslim beribadah dan atau mengikuti kegiatan imtaq.
Bahkan ketika siswa muslim selesai melaksanakan kegiatan imtaq, ketika tikar-tikar itu hendak digulung, siswa non muslim masih kembali ikut membantu jika kebetulan mereka sudah selesai mengikuti kegiatan rohani.
Kemudian setelah semua tikar selesai digulung dan tikar pun hendak disimpan di tempat biasa yakni di dekat ruang majelis guru. Karena posisi lapangan dan ruangan penyimpanan lumayan jauh dibanding ruang khusus agama Kristen yang hanya berjarak 10 langkah dari halaman sekolah maka tikar tersebut disimpan saja disana. Setelah mendapat persetujuan dari guru agama Kristen. Siswa non muslim pun ikut mengangkat tikar ke dalam ruangan tersebut.
Begitulah hal sederhana tentang toleransi yang telah terjadi di sekolah kami. Sebuah pemandangan yang mendamaikan hati dan pikiran. Tidak ada rasa kecemburuan sosial. Sebaliknya, malah yang terjadi adalah saling membantu dan saling bekerja sama.
Hal yang demikian itu, walau sekecil apapun bentuk toleransi yang terjadi maka wajib untuk dijaga dan dipelihara dengan baik. Dipupuk dengan sikap saling keterbukaan satu sama lain. Sehingga nanina dapa membuahkan keertraman dan kerukunan bagi semua warga sekolah.
Kedamaian yang Dicita-Citakan untuk Masa Depan
Sikap toleransi yang senaniasa dianamkan di lingkungan sekolah bertujuan agar tercipata hidup damai sejak hari ini hingga masa mendatang. Karena sudah jelas bahwa toleransi tidak akan pernah terwujud di kemudian hari jika sedari awal tidak ditanamkan kepada siswa sejak dini.
Ketika siswa sudah terbiasa membiasakan diri bertoleransi dan merasakan indahnya kedamaian, bagaimana mungkin masih bisa terjadi perpecahan di masa yang akan datang?
Para siswa yang merupakan segenap generasi bangsa memiliki tanggung jawab toleransi yang mereka pikul mulai dari sekarang. Mereka diharapkan mampu menjadi "pejuang toleransi" untuk masa depan.
Kemajemukan pasti akan terus terjadi di masa yang akan datang. Semua pihak dari segala lapisan masyarakat harus mampu beradaptasi dengan keberagaman yang ada. Hidup akan terasa indah, tidak  monoton dan tidak akan terasa jenuh dengan adanya keanekaragaman, apapun itu.
Bagaimana bisa itu semua terjadi jika kita tidak sama-sama merawatnya dari sekarang. Kuncinya adalah keterbukaan dan sikap ingin saling mengenal perbedaan. Jangan biarkan kebiasaan suka menutup diri.
Semoga kesadaran toleransi yang terus dijaga dari sekarang, dapat kita rasakan manfaatnya nanti di masa depan. Mari saling peduli dan saling mengapresiasi.
*****
Salam Toleransi.
== Akbar Pitopang ==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H