Ucapan carut-marut yang terlontar dari mulut anak-anak itu tidak hanya menyebut panggilan seekor hewan, namun juga sering menyebut istilah atau kata popular yang viral di media sosial atau mungkin sering terdengar di media televisi.Â
Seperti ucapan anjirrr, anying, anjrit, dan lain sebagainya yang semua kata itu sudah sama-sama kita tahu berkonotasi kepada seekor hewan yang tidak bersalah yang biasanya menjadi sasaran berbagai kekesalan.
Sekali dua kali saya mendengar anak-anak tersebut bercarut-marut saya hanya diam atau mendiamkan dulu sambil mencari cara bagaimana langkah preventif atau persuasif yang tepat yang akan disampaikan kepada mereka.Â
Walau saya sebagai guru, setiap siswa memiliki karakternya masing-masing. Begitupun karakter siswa saya di sekolah akan jauh berbeda dengan karakter siswa dari seekolah lain dari latar belakang yang berbeda-beda pula tentunya.
Seorang anak dengan inisial D yang masih duduk di bangku SMP, mengaku suka mengelurkan kata carut-marut karena sering mendengar ayahnya mengeluarkan kata-kata itu.Â
Sehingga ia menjadi sudah sangat biasa mendengar ayahnya saat berada dirumah. Namun, dia mengaku hanya bercarut-carut kepada temannya saat ia merasa kesal. Sedangkan saat dirumah ia pun tidak berani bercarut walaupun ia tahu bahwa itu semua karena pengaruh ayahnya.
Selain itu, si anak dengan inisial Z yang masih duduk di bangku SD mengaku juga sering bercarut karena disebabkan sering mendengar teman-teman seusianya bercarut-marut.Â
Saya menilai anak-anak di usia jenjang SD ini menganggap bahwa kata-kata itu hanya sebatas kata-kata pergaulan dengan teman. Mereka belum dapat mengkategorikan kata-kata yang didapat dari teman apakah itu tergolong kata kotor atau kata yang baik.
Kenapa ini harus terjadi? Apakah orang dewasa atau para orang tua menganggap hal ini sesuatu yang biasa saja? Apakah tidak ada pengawasan atau ketegasan dari para orang tua di lingkungan rumah karena berbagai alasan dan bersembunyi dengan kata-kata kesibukan?Â
Frekuensi waktu anak dengan orang tua yang berkurang sehingga lebih banyak berinteraksi dengan teman di lingkungan luar rumah. Ditambah lagi dengan minimnya literasi yang anak-anak peroleh dari orang tuanya terkait hal itu.
Apakah hal ini akan terus dibiarkan? Apakah kedepannya kita menganggap bahwa anak-anak kecil itu berkata kotor karena memang itulah bagian dari fase tumbuh kembangnya yang kemudian pada masanya akan berubah seiring dengan berjalannya waktu?