Kita tahu bersama bahwasanya saat ini kita hidup di zaman yang disebut zaman globalisasi. Budaya barat maupun budaya dari luar sudah dengan mudahnya menggempur kearifan dan nilai-nilai yang ada pada budaya lokal.Â
Nilai-nilai luhur yang ada pada budaya lokal lambat laun semakin terkikis. Bagai tanah terkikis air, berubah menjadi lumpur yang ketika bercampur lagi ke air yang lebih jernih, keruh sudah!
Pengaruh dan gempuran budaya luar secara terus-menerus tanpa henti. Semua kalangan sudah merasakan efeknya. Tidak hanya orang dewasa yang telah terkontaminasi, namun kalangan anak-anak dan generasi muda juga sudah ternodai.Â
Semua menjadi candu. Menganggap semua itu adalah hal yang biasa. Tanpa ada filterisasi nilai-nilai yang terbawa dalam arus gelombang globalisasi itu sendiri.
Banyak sekali faktor yang berpengaruh dalam prosesnya. Campur tangan media yang memberikan arus doktrininasi. Benteng budaya lokal yang sangat mudah diruntuhkan karena orang-orang yang berjuang menahan gempuran sudah terlalu sepuh.Â
Lalu yang cukup signifikan adalah pelonggaran kontrol di dunia pendidikan baik itu pendidikan formal, maupun terutama pendidikan informal yang kontrolnya secara penuh dipegang oleh orang tua dan keluarga.
Kembali kita kepada judul dari artikel ini bahwa apa sih yang dimaksud penulis dengan generasi carut-marut? Apakah anda sudah ada sedikit bayangan? Apakah mengerikan mendengar kata-kata "generasi carut-marut"?
Tentu fokus utama kata dari carut-marut yang dimaksud adalah tentang sebuah nilai. Ya, nilai norma dan kesopanan.Â
Dari sebuah nilai luhur yang sudah meluntur itu maka barulah akan keluar dari masing-masing mulut ucapan-ucapan kotor tak layak untuk didengar yang kita sebut dengan ucapan carut-marut.
Saya sebagai seorang guru telah menggaris bawahi hal ini. Saya menemukan ada siswa yang mengeluarkan kata kotor dalam kategori carut-marut yang terlontar ketika pembelajaran di kelas.Â