Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Buku Pertamaku Berkat Menulis di Kompasiana

21 September 2013   13:43 Diperbarui: 23 April 2022   12:06 1455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang menulis hanya karena ia tersadar dan ada hal yang perlu dituliskan. Tulisannya mungkin bisa biasa saja. namun ketika ia tersadar lalu menuliskannya dengan penuh kesadaran barulah tulisannya itu menjadi sebuah karya yang membanggakan. Inilah yang disebut dengan menulis dengan panggilan jiwa. 

Perlukah bangga ketika tulisan kita dirangkum menjadi sebuah buku?

Apa sih menariknya? Padahal kita tahu dunia saat ini sudah semakin maju. Penggunaan kertas semakin diminimalisir. Karena sudah ada internet dan soft file berupa e-book. Tapi tetap saja buku cetak tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Ada sesuatu hal yang menarik dari sebuah buku cetak. Sepertinya buku cetak begitu terlihat nyata dan terasa benar-benar ada. Berbeda dengan e-book. Buku sebagai bukti bahwa tulisan itu ada dan nyata. Buku sebagai penanda zaman. Buku sebagai simbol peradaban dunia. Buku sebagai pencatat sejarah. 

Coba bayangkan saat zaman purba dahulu kala yang kita tahu belum ada e-book seperti sekarang. Mereka menuliskannya di kertas yang kini menjadi manuskrip-manuskrip kuno yang kita pelajari dan sebagai penanda bahwa pada zaman itu terdapat sebuah peradaban yang luar biasa. 

Coba bayangkan kalau dulu tidak ada buku atau manuskrip kuno tersebut tentu kita tidak bisa melacak dan meneliti sebuah peradaban demi kemajuan umat manusia saat ini. Jadi… saya rasa buku tetap diperlukan. 

Untuk punya buku kita tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis handal. Kita tidak perlu menulis begitu lamanya sehingga menghabiskan banyak waktu. Memangnya hanya orang-orang yang berprofesi sebagai penulis yang bisa punya buku? kita yang katanya tak punya bakat menulis juga bisa loh.. asalkan kita tahu cara-cara dan kuncinya. Salah satu caranya, yaaa melalui buku kolaborasi yang saya miliki saat ini.

Setelah punya satu buku, apa yang perlu dilakukan selanjutnya?

Yang perlu dilakukan selanjutnya dan seharusnya adalah terus menulis. Tidak cepat merasa puas dan bangga dengan satu buku itu. lagi pula ini baru sekedar buku kolaborasi. Menulis dan terus menulis! 

Menjaga semangat untuk terus menulis memang susah sekali. Menulis memang perlu mood. Yang saya rasakan selama ini memang seperti itu. kalau lagi mood sehari bisa menghasilkan 2-3 tulisan. Tapi kalau lagi tidak mood, seminggu bahkan sampai sebulan sekalipun tidak satu tulisan yang dihasilkan.

Bagaimana caranya untuk bisa terus menulis? Saya rasa teman-teman semua sudah paham caranya. Tulisan-tulisan di kompasiana sudah banyak yang membahasa mengenai hal tersebut tinggal dibaca dan diamalkan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun