Bahkan Prof NA membuka, bahwa pencopotan itu juga karena saran dari komisi anti rasuah, KPK. Dalam LHP, ada dugaan oknum pejabat tertentu berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Akhirnya, Angket selesai. Terang benderang, persoalan diungkap. Prilaku Wagub mesti diubah, agar lebih sadar posisi.
Pencopotan tiga orang pejabat eselon dua, Lutfi Natsir (Kepala inspektorat), Muhammad Hatta (Kepala Biro Umum) dan Ir Jumras (Kepala Biro Pembangunan), terus berlanjut, menjadi polemik. Hingga terbitlah rekomendasi dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Ir. Jumras, tak menerima dicopot. Ia melawan. Setelah berdendang di muka Sidang DPRD Sulsel, opini miring terhadap NA terus disebar. Prof NA tak peduli, ia terus bekerja. Persoalan Angket dan celoteh Jumras dan kawan-kawan, tak dirisaukannya. Kerja nyata lebih penting. Banyak yang membandingkannya dengan Prof Amiruddin. Gubernur Sulsel di masa Orde Baru.
Bagi saya, tak perlu membandingkannya. Â Biarlah Prof NA memimpin dengan dirinya. Bukankah setiap zaman punya orang dan setiap orang punya zaman? Tentu Prof Amiruddin, beda dengan zaman Prof NA.
Di Zaman Gubernur Achmad Amiruddin, sistim informasi masih tertutup. Prilaku aparatur pemerintah hanya sedikit saja yang bisa diakses oleh publik. Beda sekarang, era transparan diiringi kebebasan pers.
Hampir semua kelakuan aparatur pemerintah terbuka dan diketahui publik. Gubernur sedang galau saja, jadi trending topik di media sosial. Zaman Prof Amiruddin, kegalauan Gubernur hanya segelintir orang yang tahu.
Kontroversi Rekomendasi KASN
Angket DPRD Sulsel baru saja usai. Suasana di Pemprov Sulsel pun sudah stabil. Tiba-tiba muncul rekomendasi KASN, meminta Gubernur mengembalikan Lutfi Natsir, Muhammad Hatta dan Jumras kejabatan semula. Rekomendasi ini tentu tidak terkonfirmasi ke Prof NA. Padahal masalah pencopotan ketiga pejabat tersebut, juga alot dibahas pada Panitia Angket DPRD. Menurut Gubernur Nurdin Abdullah, ketiga pejabat tersebut dicopot karena bermasalah.
Logika sederhananya, jika mencopot pejabat karena ada masalah, KASN tentu harus mengkonfirmasinya, paling tidak melakukan konsultasi kepada KPK dan Gubernur Sulsel. Tidak langsung membuat rekomendasi begitu saja, sehingga terkesan KASN bisa ditunggangi oleh kepentingan oknum. KASN harus menjaga wibawa dan kredibilitasnya dengan cara tidak gegabah.
Nasi sudah jadi bubur. Gubernur Sulsel, Prof NA bukan pemimpin abal-abal yang mudah didikte oleh kepentingan oknum. Ia seorang yang rasional. Ia mencapai prestasi di Bantaeng karena ia menjadi pribadi yang kuat. Prof NA tidak mau dipaksa menjadi orang lain. Ia ingin tetap menjadi dirinya sendiri.