Ya, aku menangisimu ketika itu. Rasanya hatiku perih, dadaku sesak, ketika semua penerimaanku dan keyakinanku, tidak cukup membuatmu meyakini dan memutuskan cara dan jalanku menuju ibadah terpanjang itu lebih baik.
Pada akhirnya, keputusanku dan pilihanmu membuat kita menjadi asing. Aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita di dunia nyata. Aku dan kamu bisa menjadi kita hanya ada di dalam cerita.
Tidak ada lagi kata yang riuh di antara perdebatan kecil. Tidak ada lagi tawa yang berbunyi nyaring. Tidak ada lagi bujukan manis yang kubaca di aplikasi perpesanan. Kita benar-benar asing sekarang.
Tidak akan ada lagi jalan atau alasan untuk kembali. Kamu memutuskan memilih seseorang yang berkenan berjalan sesuai jalan yang kamu mau. Aku memutuskan untuk menyudahi apa yang kumulai. Aku terima, aku terima dan aku terima semuanya. Meski dengan luka yang semakin menganga dan air mata yang seringkali tertahan di pelupuk mata.
Aku pernah menangisimu hingga mengguguk, tetapi aku lebih menangisi caraku yang keliru, yang tidak diridai Allah. Aku tidak merasakan ketenangan tanpa rida-Nya, Tuan.
Aku mampu menyaksikanmu berbahagia dengan penuh kerelaan. Aku tidak akan lagi menunggu di seberang jalan atau di persimpangan doa yang pernah kulangitkan.
Aku akan meneruskan perjalanan, tanpamu. Berbahagialah di akhir musim nanti dan pada musim-musim berikutnya. Terima kasih untuk waktu dan kesempatannya, Tuan.
"Fat!" ucap seseorang sembari menepuk bahuku. Aku menoleh, tersenyum lebar saat kutahu seseorang itu ialah Ama, teman karibku, sekaligus adik sepupu dari seorang laki-laki yang baru saja membuatku terhanyut ke masa 8 bulan yang lalu.
"Kamu kenapa senyam-senyum gitu? Wajahku aneh, ya? Atau gincuku belepotan?" tanya Ama sembari merogoh tas selempangnya untuk mencari kaca kecil yang selalu dibawanya ke mana-mana.
"Enggak papa. Kamu tahu Ma, aku tadi keinget kakak sepupumu. Dan entah kenapa tadi aku terhanyut lagi ke masa lalu pada percakapan terakhir kita," ucapku lirih sembari mengalihkan pandangan ke layar notebook yang sedari tadi menyaksikan lamunanku.
Aku tidak ingin Ama melihatku menangis, apalagi Ayuk. Syukur teman karibku satu itu belum datang. Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku ke notebook dan berpura-pura menggulirkan kursor ke segala arah agar terlihat sibuk.