Mohon tunggu...
AkakSenja
AkakSenja Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan yang terus belajar, bertumbuh, dan sembuh melalui tulisan.

Ekspresif yang aktif. Menulis untuk diri sendiri. Fotografi dan pejalan jiwa. Penikmat kopi dan penyuka senja.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Seni Berbasa-basi dan Memahami Orang Lain

6 Desember 2020   15:00 Diperbarui: 7 Desember 2020   03:38 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak semua orang suka dengan basa-basi. Apalagi basa-basi yang berakhir basi. Kalian tahu, apakah basa-basi yang basi itu?

Basa-basi yang basi itu adalah ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain, inti dari pembicaraan itu tidak langsung diutarakan, namun masih ke sana-kemari membicarakan hal-hal di luar topik yang seharusnya dan akhirnya topik yang pada awalnya ingin diutarakan itu tidak pernah terlontar. Jadi, tujuannya ngoceh dari ujung timur ke barat itu apa?

Kadang ada orang yang memang tidak jelas dan tak beralasan. Ya kalau memang lupa gara-gara kebablasan berbasa-basi sih manusiawi. Tapi, kalau lupanya berkali-kali itu yang tidak manusiawi. Terlihat sekali banyak alasan, ya kan?

Saya pernah berada di fase di mana saya merasa semuanya harus to the point. Bisa dibilang, enggan berbasa-basi yang berakhir basi. Kalau suka ya suka. Kalau enggak ya enggak. Kalau salah ya salah. Kalau benar ya benar. Tidak ada yang setengah-setengah. Walaupun memang seiring waktu bisa saja berubah.

Tapi, setidaknya tidak perlu mengulur waktu dengan berbasa-basi, sebab kita tidak tahu kapan perasaan dan pikiran manusia berubah. Mereka bisa berubah sewaktu-waktu.

Basa-basi itu boleh saja. Ketika tujuan dari basa-basi itu untuk mencairkan suasana, menyamankan obrolan, menghangatkan perbincangan itu bagus. Yang jadi masalah adalah ketika basa-basi itu menjadi topik utama dan topik utama yang sebenarnya malah tersingkirkan.

Lah, kok bisa gitu?

Ya bisa saja kan? Cuma kebanyakan orang tidak sadar dengan basa-basi yang modelnya seperti ini. Mereka cenderung lupa atau memang sengaja untuk lupa. Atau malah sebenarnya topik utama yang mau diperbincangkan itu hanyalah alasan? Kan alasan lagi.

Kebiasaan ini yang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Sebab, akibatnya sangat fatal. Di masyarakat dan dunia kerja kita harus terus bergerak. Ketika waktu kita hanya dihabiskan untuk berbasa-basi, kita akan tertinggal jauh dengan yang lainnya. Kita tidak akan bisa berkembang, sekalipun bisa berkembang, perkembangan itu begitu lambat.

Memang, kita pandai berkomunikasi. Tapi, sayangnya seni berkomunikasinya itu sebatas berbasa-basi saja. Lantas bagaimana cara agar bisa menempatkan basa-basi yang tepat dan tidak asal-asalan? Oke. Langsung kita bahas.

Hal pertama yang harus diperhatikan adalah memilih waktu dan keadaan yang tepat. Dalam berbasa-basi, kita harus pandai memilih waktu dan keadaan yang tepat.

Untuk menjadi pandai dalam hal ini juga perlu latihan. Tidak hanya sekali atau dua kali, tapi berkali-kali. Kapan harus berbasa-basi dan kapan harus langsung ke inti pembicaraan.

Semisal wawancara kerja. Di sini, ketika kita melakukan basa-basi yang seharusnya tidak digunakan, maka kita akan dinilai orang yang suka bertele-tele, tidak cepat tanggap dan sulit berkembang.

Berbeda lagi kalau kamu berkomunikasi dengan klien. Basa-basi sangat diperlukan -tapi sewajarnya saja- agar tidak terlihat kaku dan lebih nyaman. Dalam hal ini juga diperlukan memahami orang lain. Tak ada orang yang sama bukan? Paling mentok juga mirip. Orang-orang yang mempunyai saudara kembar saja beda, apalagi yang tidak kembar?

Berbasa-basi dengan orang lain itu juga harus memperhatikan waktu. Semisal, ketika kita berbincang dengan orang lain, kita harus tahu bahwa dia sedang terburu-buru atau tidak. Atau mungkin jadwalnya padat. Otomatis, kita tahu harus berbasa-basi atau langsung ke inti pembicaraan.

Nah, hal kedua yang perlu diperhatikan adalah mempertimbangkan subjek. Selain itu juga, basa-basi dalam berkomunikasi itu juga harus melihat siapa yang kita ajak berkomunikasi. Kita harus melihat bagaimana sifat orang itu ketika diajak berkomunikasi. Suka diajak basa-basi atau lebih suka langsung ke inti pembicaraan. Ketika kita mengajak bicara seorang petani dan seorang pengusaha tentu berbeda caranya.

Jangan langsung berbasa-basi sembarangan tanpa mempertimbangkan siapa dan bagaimana orang yang akan diajak berkomunikasi. Perlu diingat lagi, setiap manusia itu berbeda-beda.

Melanjutkan membahas basa-basi. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kalau berbasa-basi itu juga harus melihat siapa yang kita ajak bicara. Makanya perlu ilmu untuk memahami orang lain.

Memahami orang lain itu bukan tugas satu atau dua atau tiga atau empat atau lima orang saja. Namun, setiap orang yang ingin dipahami oleh orang lain juga harus mau dan mampu bahkan benar-benar menyadari untuk memahami orang lain terlebih dahulu.

Menurut saya, cara untuk memahami orang lain adalah dengan membiasakan diri memahami orang lain. Memang sulit jika kita tidak terbiasa untuk memahami orang lain.

Sebaliknya, jika kita terbiasa memahami orang lain, maka memahami orang lain itu akan menjadi lebih mudah dan kita tidak kesulitan menghadapinya.

Sebenarnya, tidak ada paksaan tertentu untuk kita memahami orang lain terlebih dahulu. Namun, bagi saya sendiri itu penting. Sebab dari memahami orang lain, kita belajar untuk memahami diri sendiri juga.

Semisal seperti ini, ketika ada orang lain yang baru saja saya kenal. Kemudian, saya sedikit berbasa-basi untuk melihat bagaimana orang itu. Kalau tidak, biasanya saya memperhatikan orang itu terlebih dahulu.

Melalui komunikasi dia dengan orang lain, yang sudah dikenal atau belum. Nah dari situ, kita akan tahu bagaimana orang tersebut dan kita tahu perlakuan yang tepat untuk menghadapi orang tersebut.

Mengapa saya sebutkan memahami orang lain itu juga memahami diri sendiri? Karena, saat kita belajar memahami orang lain, kita juga akan sadar sifat dan sikap kita secara tidak langsung. Dari situ, kita tahu diri kita sendiri itu bagaimana.

Kemudian, untuk memahami orang lain itu tidak perlu sok tahu. Untuk memulai memahami orang lain itu jangan sampai merasa sok tahu pada awalnya. Kenapa?

Kebanyakan orang, entah introver atau ekstrover itu tidak menyukai orang yang sok tahu. Mereka cenderung akan lebih waspada kalau kita sok tahu. Maka dari itu, sewajarnya saja. Kalau tidak tahu ya jangan sok tahu.

Semisal begini, ada teman dekat saya yang memperkenalkan temannya yang lain. Nah, untuk mulai memahami temannya itu, maka perbincangannya seputar menanyakan hal-hal yang umum ditanyakan seperti alamat rumah, minat dan sebagainya. Dari situ, biasanya saya mengembangkan topik dari hal-hal yang saya tanyakan sebelumnya.

Jangan sampai sikap sok tahu itu tadi muncul. Seperti kita langsung "nyeplos" pekerjaan dia misalnya, hanya karena melihat dari tampang dan penampilannya. Lagi-lagi saya katakan, sewajarnya saja. Kalau sudah mahir untuk memahami orang lain, topik yang diangkat dalam perbincangan akan mengalir dengan sendirinya.

Selanjutnya, untuk belajar memahami orang lain adalah sering bertemu dengan banyak orang. Selain membiasakan diri, saya juga sering bertemu dengan banyak orang. Orang-orang dengan berbagai latar belakang akan membuat kita menjadi seseorang yang mudah memahami orang lain.

Logikanya begini. Ketika saya sering bertemu orang lebih banyak, maka saya akan lebih banyak punya pandangan terhadap orang lainnya lagi. Kita akan mempunyai pemikiran yang luas. Sebab, banyak orang gagal memahami orang lain, karena dia enggan bertemu dan memahami orang lain lebih banyak.

Bertemu dengan lebih banyak orang itu dilihat juga dari lingkungan. Jika dia anak kuliah, lingkungannya tentu akan berbeda dengan anak pabrik. Yang terpenting dimaksimalkan hal-hal yang memang bisa dimaksimalkan.

Yang terakhir, menjadi pendengar yang baik. Inilah yang paling sulit menurut saya. Sebab tak semua orang mau dan mampu menjadi pendengar orang lain. Mereka cenderung cepat bosan ketika mendengarkan orang lain. Padahal, dengan mendengarkan orang lain dengan saksama, kita bisa cepat memahami orang lain.

Alasan klasik orang enggan mendengarkan orang lain adalah karena dia tidak mampu memberikan saran atau masukan. Padahal, ketika orang lain ingin cerita ke kita, dia hanya ingin didengarkan. Sebab, pada keadaan tertentu orang akan merasa lega ketika didengarkan oleh orang lain.

Mendengarkan juga merupakan salah satu cara untuk mengetahui sisi lain dari orang lain. Meskipun orang lain itu tidak sadar sedang memperlihatkan sisi lain dari dirinya, namun kalau kita sudah biasa mendengarkan orang lain, kita akan tahu sisi lain dari orang itu.

Jika orang lain meminta saran ke kita, ya kita jawab semampunya sesuai pengalaman kita. Tidak perlu menutup-nutupi kalau memang kita tidak tahu harus bagaimana. Jawab seadanya. Itu akan lebih menghargai dia dan dia akan lebih menghargai kita.

Itulah seni berbasa-basi dan memahami orang lain. Itu murni dari pengalaman saya sendiri. Tidak semua orang akan sependapat dengan yang saya tuliskan maka dari itu saya memakluminya. Terima kasih telah membaca artikel saya. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun