Mohon tunggu...
AKai_kun
AKai_kun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ana Krisdiasari

Hai disini AKai, code name dari Ana Krisdiasari..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aroma - Karya: Ana Krisdiasari

30 Maret 2021   10:00 Diperbarui: 30 Maret 2021   10:03 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aameen!"

Pisau bedah menari-nari di kulit wanita botak itu. Mengiris horizontal, vertikal, lalu horizontal lagi, kemudian vertikal lagi, begitu berulang-ulang. Seluruh bagian tubuh wanita itu dialiri darah.

Aku juga bukan dokter, tapi harus belajar membedah tubuh orang.

Dua orang berpakaian putih maju setelah diberi tanda, yang satu berdiri di sisi kepala peti dan yang lainnya berdiri di sisi kaki peti, keduanya membungkuk bersama sambil mengangkat keranjang bunga. Yugen mengambil satu persatu bunga mawar putih yang diserahkan, lalu menancapkannya ke sela-sela luka yang ia buat, gerakan menanam bunga di tubuh manusia. Satu bunga di setiap mata, tiga bunga di bibir, lima bunga di leher, dua bunga di bahu, tiga bunga di setiap lengan, tiga bunga di setiap punggung kaki, dan yang terakhir sebuket bunga di genggaman tangan. Setelah memastikan semua lukanya terjahit kembali, ia dan dua orang berpakaian serba putih mundur beberapa langkah.

"Para saksi dipersilakan membuka topeng!" Yugen memberi arahan. Topengnya sendiri sudah ia letakkan. Ia menatap wajah para saksi yang kaku ketika dua orang berbaju putih mendirikan petinya, menampakkan kondisi tuan rumah yang terbujur kaku dengan bunga-bunga yang menghiasi tubuhnya. Seni dari kematian.

Aku bukan pendeta, bukan juga dokter, apalagi tukang kebun dan penjahit, hanya karena leluhurku pernah menerima permintaan dari seorang penguasa yang ingin bunuh diri, hanya karena para Hiwaga membantu orang-orang untuk mati, aku pun harus lahir dengan darah kutukan ini. Cukup, aku tak mau lagi. Biarkan dengan kepergianmu, kutukan ini juga berhenti padaku. Tak akan ada Hiwaga lain yang harus menanggung beban. Wahai kutukan, berhentilah padaku!

Yugen tengah duduk di bangku gazebo belakang rumahnya, hari itu hujan juga mengguyur kotanya. Jemarinya menyentuh foto album dari para kliennya yang sudah di bawah tanah, bukti akan dosa-dosanya. Album yang mengakhiri garis Hiwaga. Seperti ikrarnya kala itu! Dengan tenang kepalanya bersandar pada tiang di belakangnya, menatap pelayan-pelayannya sendu. Angin meniupkan daun berwarna coklat ke pangkuannya. Hujan membasahi tanah, menggenang diantara cekungan rumput, dan menyuarakan tabrakannya bersama atap dan pepohonan. Aromanya semerbak menenangkan. Aroma khas hujan yang ia rindukan. Tapi apakah ini akhirnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun