Mohon tunggu...
Agil Kurniadi
Agil Kurniadi Mohon Tunggu... -

Penulis Sejarah, Sosial-Politik, dan kebudayaan; jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sore di Stasiun Pasar Minggu

2 November 2016   13:16 Diperbarui: 2 November 2016   15:52 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Jejak langkah kaki ke arah Stasiun Pasar Minggu itu mulai menapak. Dalam keramaian, Bedil melangkahkan kakinya ke arah Stasiun Pasar Minggu setelah pulang bekerja sebagai karyawan administrasi. Panas lepek, kering, gerah, dan gersang merasuki tubuh Bedil setelah bekerja. Apalagi, uang gajinya yang semakin menipis semakin menambah kusut pikirannya. Bedil, yang uangnya semakin menipis, kebingungan karena beban hidupnya sehari-hari dari bayar uang kosan per bulan hingga makan sehari-hari yang kurang cukup.

Saat Bedil berjalan ke arah Stasiun Pasar Minggu, terlihatlah pengemis tua telantar di pinggiran kota. Badannya kurus kering sehingga tulang rusuknya sangat berbentuk seperti batangan pohon sawo. Matanya setengah katarak. Kakinya kecil, seperti kaki ayam jago. Bertopi petani dan berpakaian lusuh sobek-sobek, pengemis itu menunggu uang receh dari orang-orang yang memberikannya.

Namun, tidak ada yang memberikan uang sereceh pun. Ketika Bedil mulai mendekati dan melewati pengemisnya, pengemis itu menarik celana kerja Bedil. Lalu, pengemis itu berkata, “Den, minta uang, Den, untuk makan sehari ini saja.” Bedil merasa kasihan, tapi ia merasa sayang untuk memberikan uang recehnya. Daripada berpikir untuk memberikan uang recehnya kepada pengemis itu, lebih baik uangnya digunakan untuk membeli nasi bungkus nanti malam, mengingat “kantong” Bedil juga mulai tipis.

Seminggu kemudian, Bedil akhirnya menerima gaji bulanannya. Alangkah senangnya hati Bedil ketika memperoleh gaji bulanannya. Dengan menerima gaji tersebut, Bedil bisa membayar uang kosan, sekaligus makan enak. Sambil menikmati gaji bulanannya, Bedil juga berbelanja sepatu dan jaket yang baru untuk memperbarui penampilannya. Ketika Bedil pulang pada sore hari menuju Stasiun Pasar Minggu, Ia melihat lagi pengemis tua itu dalam keramaian. 

Pengemis itu muncul lagi dengan gaya seperti seminggu sebelumnya, telantar, lusuh, dan menjijikkan. Bedil tetap bersimpati, tetapi entah kenapa Bedil curiga kepadanya. Ia curiga karena berprasangka buruk bahwa pengemis itu pasti berpura-pura miskin. Perlahan-lahan, setapak demi setapak, Bedil mendekati dan berbincang-bincang kepada pengemis tua itu.

“Pak, kenapa Bapak jadi mengemis di sini? Carilah pekerjaan, Pak.”

“Iya Den, saya datang dari kampung. Tanah di kampung sudah saya jual. Saya mencoba mencari pekerjaan, namun tidak ada yang menerima saya karena persoalan umur saya. Begitulah Den, saya akhirnya kehabisan uang untuk makan sehari-hari, dan saya akhirnya menggelandang seperti ini.”

Oh Bapak, seandainya saya punya uang, saya pasti akan menolong Bapak. Semoga bapak diberkati Tuhan,” sambut Bedil dengan senyum yang mendalam, seolah-olah memiliki rasa kemanusiaan yang besar.

“Tidak apa-apa, semua ini juga kesalahan Bapak yang terlalu gegabah. Bapak ikhlas. Terima kasih Den, semoga kamu selalu diberkati,” jawab pengemis tua itu dengan tulus.

Setelah berbincang-bincang itu, Bedil berangkat jalan lagi menuju Stasiun Pasar Minggu untuk turun di Stasiun Pondok Cina, lalu pulang ke Kukusan Kelurahan. Dalam hati, bersimpatilah Bedil dengan pengemis tua itu. Kemudian, ia berpikir bagaimana caranya menolong si pengemis tua itu. Satu hal yang ia ingat terkait keberuntungan adalah lotre undian yang akan keluar besok. Jika lotre ini berhasil keluar, sebagian uang dari lotre tersebut akan dia berikan untuk si pengemis tua. Dia berjanji dalam hatinya untuk menolong si pengemis, mengingat sereceh uang pun tidak pernah diberikan olehnya untuk menolongnya. Ya, akhirnya ia berjanji.

Dua hari kemudian, ia berbahagia kembali. Lotrenya berhasil keluar dan Bedil memperoleh uang banyak. Seketika itu pula, Bedil langsung memperbarui kembali penampilannya. Sepatu pantofel, jas parlente ala para pengusaha, dan kemeja mewah ala The Executive ia belanjai semuanya. Kemudian, Bedil pun pindah tempat tinggal dari sewa kosan menjadi sewa apartemen. Keluarnya hasil lotre meningkatkan status Bedil dari kelas rendahan, bertransformasi menjadi kelas menengah (ngehek). Bedil bahagia.

Namun, ketika ia sedang bahagia dengan sepatu, jas, dan kemeja kerennya itu, ketika ia sedang bahagia dengan aroma sejuk super wangi dari kamar apartemen barunya itu, teringatlah Bedil dengan janji teguhnya. Sudah saatnya untuk menolong si pengemis tua itu! Setidaknya, ia berikan uang hasil dari rezeki lotre biarpun sedikit. Setidaknya, Bedil bisa membuat si pengemis tua tersenyum. Berangkatlah Bedil menuju sekitaran Stasiun Pasar Minggu.

Ketika sudah di sekitaran Stasiun Pasar Minggu, tepatnya tempat si pengemis tua itu menggelandangkan dirinya, Bedil merasa aneh. Bedil penasaran dengan kerumunan orang-orang yang ramai tidak seperti biasanya. Kerumunan orang itu ramai mengelilingi mayat yang tewas di sekitaran Pasar Minggu. Lalu, Bedil mencari-cari tahu dan melihat mayat itu. Ternyata, mayat itu adalah si pengemis tua yang hendak ditolong oleh si Bedil atas janji teguhnya. Terkejutlah Bedil dengan kejadian itu. Tiba-tiba, seorang ibu berkata di kerumunan itu, “Ya Allah, menyesal sekali saya tidak memberikan pertolongan! Saya hanya melihat dan melewatinya saja tanpa peduli kondisi pengemis ini hingga akhirnya pengemis ini mati kelaparan! Ampuni Hamba-Mu, ya Allah!”

Seluruh kerumunan itu berkabung dalam doa. Mereka mendoakan si pengemis tua supaya bisa tenang di alam-Nya. Bedil pun menangis karena tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sadar bahwa tindakannya salah. Menyesallah dia terhadap tindakannya sendiri. Jenazah itu akhirnya diurus oleh polisi dan Bedil pulang ke rumahnya dengan tangan hampa. Sepanjang perjalanan pulang, merenunglah Bedil dengan tindakannya. Ia menyadari kesalahannya karena mengulur waktu untuk memberikan sedikit pertolongan.

Sesampainya di Stasiun Pondok Cina, Bedil mencari warung nongkrong untuk mendinginkan kepalanya sedikit pasca melihat kematian yang tidak disangka-sangkanya itu. Duduklah Bedil di warung itu sambil merokok dan minum teh. Sesudah pikirannya tenang, berangkatlah ia menuju parkiran motor di stasiun untuk pulang ke Kukusan Kelurahan. Saat menuju parkiran motor, ia melihat kembali pengemis tua dengan nasib yang sama seperti pengemis tua sebelumnya, namun punya wajah yang berbeda. Ketika Bedil melewati pengemis tua itu, si pengemis menarik celana panjangnya dan berkata, “Minta uang sumbangannya Mas, untuk makan saya sehari ini saja.”

Bedil sangat bersimpati kepada pengemis itu, namun dalam hati ia berkata, “Ah, sayang buat bayar parkir.” Bedil pun tak mengacuhkan permohonan si pengemis tua itu dan akhirnya kembali pulang ke Kukusan Kelurahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun