Jejak langkah kaki ke arah Stasiun Pasar Minggu itu mulai menapak. Dalam keramaian, Bedil melangkahkan kakinya ke arah Stasiun Pasar Minggu setelah pulang bekerja sebagai karyawan administrasi. Panas lepek, kering, gerah, dan gersang merasuki tubuh Bedil setelah bekerja. Apalagi, uang gajinya yang semakin menipis semakin menambah kusut pikirannya. Bedil, yang uangnya semakin menipis, kebingungan karena beban hidupnya sehari-hari dari bayar uang kosan per bulan hingga makan sehari-hari yang kurang cukup.
Saat Bedil berjalan ke arah Stasiun Pasar Minggu, terlihatlah pengemis tua telantar di pinggiran kota. Badannya kurus kering sehingga tulang rusuknya sangat berbentuk seperti batangan pohon sawo. Matanya setengah katarak. Kakinya kecil, seperti kaki ayam jago. Bertopi petani dan berpakaian lusuh sobek-sobek, pengemis itu menunggu uang receh dari orang-orang yang memberikannya.
Namun, tidak ada yang memberikan uang sereceh pun. Ketika Bedil mulai mendekati dan melewati pengemisnya, pengemis itu menarik celana kerja Bedil. Lalu, pengemis itu berkata, “Den, minta uang, Den, untuk makan sehari ini saja.” Bedil merasa kasihan, tapi ia merasa sayang untuk memberikan uang recehnya. Daripada berpikir untuk memberikan uang recehnya kepada pengemis itu, lebih baik uangnya digunakan untuk membeli nasi bungkus nanti malam, mengingat “kantong” Bedil juga mulai tipis.
Seminggu kemudian, Bedil akhirnya menerima gaji bulanannya. Alangkah senangnya hati Bedil ketika memperoleh gaji bulanannya. Dengan menerima gaji tersebut, Bedil bisa membayar uang kosan, sekaligus makan enak. Sambil menikmati gaji bulanannya, Bedil juga berbelanja sepatu dan jaket yang baru untuk memperbarui penampilannya. Ketika Bedil pulang pada sore hari menuju Stasiun Pasar Minggu, Ia melihat lagi pengemis tua itu dalam keramaian.
Pengemis itu muncul lagi dengan gaya seperti seminggu sebelumnya, telantar, lusuh, dan menjijikkan. Bedil tetap bersimpati, tetapi entah kenapa Bedil curiga kepadanya. Ia curiga karena berprasangka buruk bahwa pengemis itu pasti berpura-pura miskin. Perlahan-lahan, setapak demi setapak, Bedil mendekati dan berbincang-bincang kepada pengemis tua itu.
“Pak, kenapa Bapak jadi mengemis di sini? Carilah pekerjaan, Pak.”
“Iya Den, saya datang dari kampung. Tanah di kampung sudah saya jual. Saya mencoba mencari pekerjaan, namun tidak ada yang menerima saya karena persoalan umur saya. Begitulah Den, saya akhirnya kehabisan uang untuk makan sehari-hari, dan saya akhirnya menggelandang seperti ini.”
“Oh Bapak, seandainya saya punya uang, saya pasti akan menolong Bapak. Semoga bapak diberkati Tuhan,” sambut Bedil dengan senyum yang mendalam, seolah-olah memiliki rasa kemanusiaan yang besar.
“Tidak apa-apa, semua ini juga kesalahan Bapak yang terlalu gegabah. Bapak ikhlas. Terima kasih Den, semoga kamu selalu diberkati,” jawab pengemis tua itu dengan tulus.
Setelah berbincang-bincang itu, Bedil berangkat jalan lagi menuju Stasiun Pasar Minggu untuk turun di Stasiun Pondok Cina, lalu pulang ke Kukusan Kelurahan. Dalam hati, bersimpatilah Bedil dengan pengemis tua itu. Kemudian, ia berpikir bagaimana caranya menolong si pengemis tua itu. Satu hal yang ia ingat terkait keberuntungan adalah lotre undian yang akan keluar besok. Jika lotre ini berhasil keluar, sebagian uang dari lotre tersebut akan dia berikan untuk si pengemis tua. Dia berjanji dalam hatinya untuk menolong si pengemis, mengingat sereceh uang pun tidak pernah diberikan olehnya untuk menolongnya. Ya, akhirnya ia berjanji.
Dua hari kemudian, ia berbahagia kembali. Lotrenya berhasil keluar dan Bedil memperoleh uang banyak. Seketika itu pula, Bedil langsung memperbarui kembali penampilannya. Sepatu pantofel, jas parlente ala para pengusaha, dan kemeja mewah ala The Executive ia belanjai semuanya. Kemudian, Bedil pun pindah tempat tinggal dari sewa kosan menjadi sewa apartemen. Keluarnya hasil lotre meningkatkan status Bedil dari kelas rendahan, bertransformasi menjadi kelas menengah (ngehek). Bedil bahagia.