“Ah bisa saja kamu nak Bedil. Ya sudah, Kyai mau pulang dulu. Maklum, kan menjelang malam Jum’at, jadi Kyai mesti lebih banyak di rumah. Istri sudah menunggu.”
“Baik Kyai. Kalau begitu, saya pulang dulu. Assalamualaikum, Kyai!”
“Waalaikumsalam,nak Bedil!” Sambut penutup senyum dari Ustad Boni yang sedikit mesra.
Dalam bayang-bayang sinar matahari senja, termenunglah Bedil. Ia merenungkan dirinya di atas pohon ceri sambil sesekali memakan buah ceri. Apa lah jawaban daripada pertanyaannya sendiri yang masih terngiang-ngiang itu. Bedil tak mengerti. Namun, Ia ingat kembali segala macam omongan daripada Bu Jelita dan Ustad Boni, dua orang hebat dalam bidang yang berbeda. Sekian lama Ia berpikir sambil sesekali melahap buah ceri itu, akhirnya Ia menemukan jawabannya.
“Yes!”
Mengertilah Bedil jawaban dari semua itu. Semua yang terjadi di dunia ini, mulai dari usaha, harta, doa, hingga berbuat baik, semua saling berhubungan. Apa yang dijalani oleh manusia adalah sebuah usaha yang menghasilkan suatu harta; lalu apapun hasilnya, harus disyukuri dengan doa; kemudian hasil itu ditujukanlah selebihnya untuk berbuat baik menolong sesama. Ah, pasti manusia yang hidup seperti itu akan berujung pada kebahagiaan sejati! Ya, itulah tujuan hidup di dunia ini: berusaha, berdoa, dan menolong sesama!
Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Seru adzan maghrib berkumandang. Telah mengertilah Bedil akan tujuan hidupnya. Kini, mulailah hari baru bagi Bedil. Sudah saatnya Ia melaksanakan tujuan hidupnya, mengepalkan jarinya, dan maju dengan pasti—seperti kata-kata yang diingat oleh si penulis eceran di Koran “Lamer” itu.
Bunyi adzan maghrib sudah selesai. Sudah saatnya Bedil melangkah dengan pasti dan capcus shalat maghrib.
THE END
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H