Mohon tunggu...
Agil Kurniadi
Agil Kurniadi Mohon Tunggu... -

Penulis Sejarah, Sosial-Politik, dan kebudayaan; jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidup Itu...

8 September 2016   00:59 Diperbarui: 8 September 2016   01:05 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau misalnya teman-teman Ibu tidak sekaya dengan Ibu? Atau juga bisa dikatakan mereka kurang mampu? Berarti mereka tidak sukses?"

"Ya berarti mereka kurang bekerja keras nak. Mereka bukan pekerja keras. Ini membuktikan bahwa Ibu yang paling bekerja keras ho ho ho," Gelak Tawa menghiasi bibir sumbingnya itu.

"Bagaimana dengan orang-orang yang kelaparan saat Ibu kaya begini? Apa dibiarkan saja?"

"Ya, biarkan saja! Itu tandanya mereka kurang bekerja keras. Mereka itu malas berusaha, makanya mereka jatuh miskin." Seketika Bu Jelita langsung nyengirsombong dengan bibir yang sedikit sumbing itu. Barangkali, itulah anugrah bibir yang diperolehnya dari Tuhan. Bu Risma pun cemberut dengan perangai Bu Jelita yang nyatanya agak menyinggung hasil kerja kerasnya yang tak seberapa itu.

“Lalu, Ibu senang bergelimpangan harta di tengah orang-orang yang kelaparan?”

“Ya salah sendiri mereka malas! Alah, kamu banyak sekali bicara dan protes, nak Bedil! Sudah, sana main tuh dengan Mamet, teman dekatmu. Aku gak mau bahas-bahas pertanyaan tidak pentingmu. Sana sana!” Bu Jelita pun mulai tersinggung dengan rentetan pernyataan Bedil.

Merasakan kemarahan Bu Jelita, Bedil pun meminta maaf kepada Bu Jelita dan mohon pamit. Bedil memperoleh banyak informasi tentang pertanyaan yang Ia tidak tahu jawabannya. Meskipun sudah memperoleh banyak informasi dari Bu Jelita yang termahsyur dan terkaya itu, Bedil masih merasa belum puas. Alih-alih semakin mengerti, Bedil justru semakin bingung. bingunglah ia karena tidak tahu jawaban sejati daripada pertanyaannya sendiri.

Sekitar seminggu kemudian, karena masih merasa bingung dan belum puas dengan jawabannya, Bedil mencoba menanyakannya kepada Ustad Boni. Ustad Boni merupakan seorang ustad tersohor di Rejomulyo. Ia berumur sekitar 70 tahun. Rambutnya telah beruban semua. Matanya jernih sebening air Gunung Salak. Hidungnya mancung. Bibirnya kecil dan tipis. Yang paling khas adalah jenggotnya, jenggotnya putih panjang, persis seperti jenggot Baasyir.

Biasanya setelah shalat dzuhur,Ustad Boni berdzikir terlebih dahulu sekitar 15 menit. Setelah berdzikir itulah, Bedil ingin bertanya terkait rasa penasarannya tentang hidup kepada Ustad secara “empat mata.” Ustad Boni pun menerima permintaannya untuk berdiskusi secara khusus dengan senang hati.

Assalamualaikum, Kyai!” sapa Bedil.

Walaikumsalam, nak Bedil! Sudah shalatkah nak?” Sambut Ustad dengan senyum berjenggot putih itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun