Di sebuah Kecamatan Kedaton tahun 2000, tepatnya di kota kecil "Rejomulyo," hiduplah seorang anak yang bernama Bedil. Ia merupakan seorang anak pertama yang kerap kali manja dan cukup bandel. Gelagatnya tangkas, juga memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Selain itu, Ia juga pandai berkelahi sehingga banyak anak-anak sebayanya yang takut berurusan dengannya. Teman-teman dekatnya segan mencari masalah dengannya dan menganggapnya sebagai pimpinan kelompok.
Suatu hari, tepatnya ketika di Pasar Kenari, Bedil asyik membaca Koran "Lamer." Maklum, karena bocah bertangan besi ini seorang yang bandel, jadi dia berani bertindak di luar batas anak-anak sebayanya. Awalnya, tentu Ia membuka highlightyang"waw"itu. Kemudian, iseng-isenglah Ia membolak-balik koran itu. Ternyata, tak disangka Ia memperoleh sebuah pertanyaan penting yang terngiang-ngiang di otaknya. Di sudut koran halaman 4 tersebut, ada sebuah opini, yang ditulis oleh penulis eceran berinisal AK, menyinggung tentang persoalan hidup.
Teringatlah Ia akan kalimat terakhirnya, "Jangan pernah berhenti untuk melaksanakan tujuan hidup kita! Kepalkan jarimu dan majulah dengan pasti!"
Dari kalimat terakhir inilah, Bedil bertanya-tanya dalam hati tentang hidup. Tidak mengerti lah Ia kenapa harus lahir di dunia ini, untuk apa dia berdiri di sini. Satu pertanyaan penting yang muncul di kepalanya hadir, "Untuk apa ya aku hidup?" Ia menanyakan hal itu terhadap dirinya sendiri, namun Ia sendiri tidak bisa menjawabnya. Maka, pusinglah Ia seolah-olah karena memikirkannya terus menerus. Mengingat Bedil juga seorang yang punya keingintahuan yang tinggi, mulailah Ia penasaran dan ingin mencari tahu jawabannya dengan caranya sendiri. Sejak saat itu, mulailah Ia bertanya kepada berbagai orang, dari teman sebayanya hingga yang lebih tua.
"Met, kamu tahu gak hidup itu untuk apa?" tanya Bedil.
"He? Tumben kamu nanyain kayak gitu lho Dil," sahut Mamet.
"Ya kamu kan sahabat dekatku, siapa tahu kamu tahu tho."
“Ya aku mana tahu, untuk bermain kali hidup itu."
Tidak puaslah Bedil dengan jawaban Mamet. Maklum, karena teman sebayanya, Bedil beranggapan bahwa jawaban Mamet hanya dijadikan sekadar uji coba saja yang bisa dibilang semua anak pasti tidak tahu jawaban dari hal ini. Maka, teruslah Bedil mencari tahu jawaban daripada pertanyaan yang diajukan di benaknya sendiri.
Suatu Minggu di sore hari, terlihatlah Bu Jelita. Perlu diketahui, Bu Jelita merupakan Ibu yang termahsyur dan terkaya di Rejomulyo. Wajahnya terlihat sangat terawat meskipun bibirnya sedikit sumbing. Bu Jelita, seperti biasanya di Minggu sore, selalu menampakkan dirinya di depan "istana" miliknya. Sering juga pada tiap minggu sore itu, Bu Jelita sengaja pergi ke warung sayur untuk berbelanja kecil-kecilan, mengingat tiap minggu sore jadi tempat rumpi ibu-ibu Rejomulyo. Bagi Bu Jelita, berbelanja bukanlah sekadar berbelanja, tetapi justru untuk memamerkan hasil dari jerih payahnya mengeruk lahan tani di desa seberang. Dalam hal ini, pamer, dalam kamus Bu Jelita, menjadi sesuatu yang penting demi memperlihatkan kesuksesannya dan mempertahankan legitimasinya sebagai Ibu termahsyur dan terkaya di Rejomulyo. Maka seketika berbelanja, dipamerkanlah segala pernak-pernik emas dari telinga sampai kaki. Ada yang senang, ada juga yang benci; itu biasa. Yang jelas, Bu Jelita senang bergelagat demikian di Rejomulyo.
Kebetulan, Bedil memang berencana untuk menemui Bu Jelita. Siapa tahu, Bu Jelita bisa menjawab pertanyaan Bedil yang susah-susah gampang ini. Di sudut warung sayur itu, terlihatlah Bu Jelita sedang mengobrol dengan Bu Risma, si pemilik warung sayur. Kebetulan, kondisi hari itu agak sepi. Jadi, Bedil bisa menanyakannya dengan lebih luwes kepada Bu Jelita. Seperti biasa, semakin mendekat semakin terlihat kinclong pernak-pernik Bu Jelita. Bedil melipir mendekati silau-silau perkakas Bu Jelita, yang ibaratnya berbunyi "cling!" itu.