Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Tidak besar memang, melalui niat dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Satyagraha ala Prabowo Subianto

25 Februari 2019   15:54 Diperbarui: 26 Februari 2019   15:48 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrrasi. Kutipan Mahatma Gandhi. (picturequotes.me)

Tidak sedikit pengamat atau pemerhati politik yang mendukung dan yang tidak mendukungnya menjadi "sebal" dengan cara beliau menghadapi pesaing-pesaing politiknya. Prabowo dituding lembek, lemah, pasif, tidak agresif, terlalu mengalah dan sebutan-sebutan yang sebangsanya. Benarkah demikian? Yuk kita bahas.

Sebelas tahun yang lalu adalah tahun dimana Prabowo mengawali perjuangan politiknya, masa yang tidak bisa dikatakan singkat, tidak juga lama. Selama itu sudah cukup banyak pengalaman-pengalaman politik yang dialaminya.

Di antaranya yang sangat menonjol adalah ketika beliau membangun kerjasama politik dengan Megawati Soekarnopoetri pada tahun 2009, ketika mendukung total Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012, ketika mencapreskan dirinya pada tahun 2014, dan pada saat pencapresannya di tahun ini.

Dari keempat pengalaman itu, terbaca benar bahwa beliau dalam memperjuangkan aspirasi politiknya memang benar-benar memegang prinsip Satyagraha, prinsip yang beliau sebutkan dengan jelas sebagai landasan perjuangan dalam bukunya Paradoks Indonesia.

Baiklah kita bahas sedikit mengenai istilah politik terkenal yang diciptakan oleh Mahatma Gandhi itu.

Pada awalnya adalah Sadagraha, istilah yang diusulkan oleh sepupunya Maganlal Gandhi yang berarti "Keteguhan dalam perbuatan baik" untuk prinsip politik yang saat itu (~1906) sedang diperjuangkan oleh Mahatma Gandhi dalam rangka membebaskan negaranya, India, dari penjajahan Inggris.

Kemudian Gandhi memodifikasinya menjadi Satyagraha yang berarti "Berpegang teguh pada kebenaran." Dalam praktiknya, merupakan sebuah perjuangan yang dilakukan tanpa kekerasan (non-violent struggle).

"Pengertian dasarnya adalah berpegang teguh pada kebenaran, dengan demikian menjadi kekuatan kebenaran. Saya juga menyebutnya sebagai kekuatan cinta atau kekuatan jiwa. Dalam menerapkan Satyagraha, saya menemukan pada tahap paling awal bahwa usaha untuk mendapatkan kebenaran tidak mengakui adanya kekerasan yang ditimbulkan pada lawan, ia harus disapih dari kesalahan melalui kesabaran dan simpati."

~ Mahatma Gandhi.

Landasan perjuangan Mahatma Gandhi secara langsung menginspirasi perjuangan politik Marthin Luther king dan Nelson Mandela.

"Dalam dunia yang penuh dengan kekerasan, pesan perdamaian dan tanpa kekerasan Gandhi adalah kunci manusia untuk bisa bertahan hidup dalam abad 21."

~ Nelson Mandella.

"Saya yakin bahwa dengan alasan yang praktis dan juga moral, perjuangan tanpa kekerasan adalah satu-satunya jalan kemerdekaan bagi rakyatku."

~ Martin Luther King, Jr.

Satyagraha bersifat universal, penerapannya berlaku dalam setiap situasi dan kondisi politik yang bagaimanapun. Prinsip Satygraha yang diterapkan Prabowo bisa kita ketahui dan pahami melalui dua kata kunci, sabar dan simpati.

Prabowo bersabar ketika beliau dikhianati dalam "Perjanjian Batu Tulis" yang dituliskan pada tahun 2009, dimana dalam perjanjian itu disepakati bahwa Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014.

Alih-alih menjadi dendam dan memusuhi, beliau tetap menjaga persahabatannya dengan Megawati. Hal ini diantaranya terbukti dari kemesraan mereka saat wefi sebelum Debat Pertama Pilpres 2019 berlangsung.

Demikian juga terhadap Jokowi.

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa Prabowo sangat mendukung penuh pencagubannya di Jakarta pada tahun 2012. Dana yang disumbangkannya tidak sedikit dan seluruh kekuatan jaringan politiknya dikerahkan semaksimal mungkin dengan harapan Jokowi nantinya akan menjalankan amanah dengan baik dan menuntaskan masa jabatannya. Tetapi apa yang terjadi?

Megawati dan Jokowi berkolaborasi mengkhianati Prabowo.

Pengaruh Anies Baswedan sangat signifikan dalam membantu memenangkan Jokowi dalam Piplres 2014. Setelah tenaga beliau tidak dipakai oleh Jokowi lagi, Prabowo tidak membencinya dan dengan senang hati menerima dan mendukungnya secara penuh sebagai Gubernur Jakarta.

Jika kita perhatikan secara seksama, khususnya menjelang semakin dekatnya Hari H Pilpres 2019 ini, beliau tidak ada menyerang Jokowi secara agresif dan frontal, bukan?

Apalagi menyerang ranah pribadinya.

Dalam acara Debat Pilpres Pertama kemarin, ada sejumlah kesempatan untuk menyudutkan Jokowi, namun beliau malah melarang Sandiaga Uno melakukannya. Begitu juga dalam Debat Pilpres Kedua, beliau malah menghargai kinerja Jokowi sebagai presiden.

Difitnah sebagai pembunuh dan dituding berambisi meraih kekuasaan demi menyelamatkan dirinya sendiri, sungguh terlalu banyak untuk dipaparkan semua fitnah dan berbagai pengkhianatan-pengkhianatan politik yang selama ini diterimanya disini.

Kesemuanya itu beliau terima dengan sabar dan simpati.

Jika ditelaah dari sisi teknis politik, selain karena teguh memegang prinsip Satyagraha yang telah diuraikan diatas, Prabowo juga sedang bermain cantik dengan taktik politik yang tidak agresif menyerang lawan-lawan politiknya. Beliau sudah menguasai situasi dan kondisi lapangan.

Jika beliau agresif, emosional, apalagi sampai mengumbar amarahnya, maka karir politiknya bisa tergerus habis. Akan dijadikan lawan sebagai alat yang sangat efektif untuk menghancurkan citra positifnya, menjadi pembenaran terhadap berbagai fitnah yang cenderung didiamkannya saja selama ini.

Prabowo tidak mau menciptakan musuh melalui kekerasan verbal kepada sesama anak bangsa, apalagi kekerasan fisik, karena beliau memahami benar bahwa jika beliau nanti memang ditakdirkan sebagai presiden Indonesia, beliau membutuhkan tenaga-tenaga, keahlian-keahlian dan jaringan informasi mereka.

Gambaran besarnya, bekerja sama dan sama-sama bekerja adalah satu-satunya cara yang paling efektif dan efisen untuk menyegerakan tibanya masa kejayaan Indonesia sesuai dengan apa yang telah kita sepakati dalam Pancasila dan UUD 45.

(Rahmad Agus Koto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun