Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Tidak besar memang, melalui niat dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Industri 4.0, R&D Indonesia dan Presiden Baru

16 Februari 2019   15:55 Diperbarui: 16 Februari 2019   16:19 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apaan sih Industri 4.0? Apa hubungannya dengan R&D Indonesia. Trus, mengapa dikaitkan dengan Presiden Baru? Bahas, yuk.

Beberapa hari yang lalu, Achmad Zaky CEO Buka Lapak membuat cuitan via Twitter yang intinya mengkritisi relatif rendahnya anggaran Research and Development (R&D) yang dialokasikan oleh pemerintah untuk keperluan para ilmuwan peneliti Indonesia. Diakhiri dengan harapan semoga "presiden baru" menaikkan jumlah anggarannya.

Namun, sebagian netizen pendukung Jokowi yang baperan mempermasalahkan frase "presiden baru" itu. Mereka merasa bahwa Zaky melalui kedua kata itu menginginkan presiden yang sekarang diganti dengan presiden yang baru, Prabowo. Memvonisnya tidak tahu berterimakasih, karena mereka menganggap presiden saat ini sangat mendukung usahanya. Sebagai sanksi, merekapun meramaikan hashtag #UnistallBukaLapak.

Sikon politik nasional memang lagi hangat-hangatnya menjelang semakin dekatnya Hari H Pilpres 2019 ya. Sebaliknya, para pendukung Prabowo mengamini kritikan Zaky dan meramaikan #DukungBukaLapak yang diikuti dengan #UnisntallJokowi dan #ShutdownJokowi yang malah mendunia.

Saking viralnya, presidenpun mengundangnya ke Istana Merdeka hari ini dan akhirnya Zakypun meminta maaf secara resmi atas kekhilafannya.

Latarbelakangnya begitu.

Sejauh ini teknologi industri dunia dibagi atas empat fase. Fase Industri 1.0 yang diinisiasi mekanisasi proses produksi barang-barang kebutuhan atau keperluan manusia sehari-hari. Misalnya mesin tenun pakaian (1784). Fase 2.0, fase "Mass Production", proses industri semakin kompleks dengan tata produksi yang mulai terorganisir dengan rapi. Misalnya industri pemotongan hewan di Cincinnati (1870). Fase 3.0, ditandai dengan pengaplikasian Programmable Logic Controller (PLC) Modicon 084 (1969) dalam perindustrian.

Dan saat ini kita sedang berada di gerbang fase Industri 4.0 (Cyber-physical systems). Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Advanced Robotics, Augmented Reality dan 3D Printing adalah penompang-penopang utamanya.

Pekerjaan saya di bidang R&D dan kebetulan tanggal 24 Juli tahun lalu, saya menghadiri langsung seminar tentang Industri 4.0 yang diisi oleh pakar-pakar industri dunia. Acara tersebut diselenggarakan oleh Kemenperin RI dengan tema "Building Innovation Ecosystem For Making Indonesia 4.0". Intinya, Industri 4.0. adalah fase dimana efektivitas dan efisiensi proses-proses industri memasuki babak percepatan yang sangat signifikan, meloncat jauh ke depan dibandingkan dengan fase-fase sebelumnya berkat kemajuan dan perkembangan teknologi informasi digital terbaru.

Faktor apa yang paling menentukan berubahnya satu fase ke fase yang lain? Research and Development (R&D)!

R&D adalah ranah yang melahirkan proses-proses atau teknik-teknik produksi, inovasi-inovasi dan produk-produk baru. Ranah yang membutuhkan dana yang relatif sangat besar. Ranah yang sangat menentukan cepat lambatnya kemajuan dan perkembangan suatu negara. Jika data-data terkait ditelaah, besarnya anggaran yang dianggarkan oleh suatu negara untuk R&D, cenderung berbanding lurus dengan kemajuan dan perkembangan negara tersebut.

Adapun "kelemahan" bidang ini adalah terkait waktu. Proses pengaplikasian output R&D dan lamanya waktu yang diperlukan untuk mengetahui dampaknya, bisa mencapai tahunan. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri khususnya bagi negara-negara berkembang, termasuk negara kita, Indonesia.

Selama ini hingga tahun 2018, pemerintah mengalokasikan dana untuk R&D bisa dikatakan sedikit, hanya sekitar 0.2 % dari Groos Domestic Product (GDP). Indonesia berada di posisi terendah se-Asia Tenggara (LIPI/Tirto).

Global Investments in R&D (UNESCO Institute for Statistics, June 2018):

Israel (4.3%) and the Republic of Korea (4.2%) being the world leaders, followed by Switzerland (3.4%), Sweden (3.3%) and Japan (3.1%).

  • 1.7% for World
  • 0.5% for Arab States
  • 1.0% for Central and Eastern Europe
  • 0.2% for Central Asia
  • 2.1% for East Asia and the Pacific
  • 0.7% for Latin America and the Caribbean
  • 2.5% for North America and Western Europe
  • 0.6% for South and West Asia
  • 0.4% for Sub-Saharan Africa

Nah, berdasarkan uraian diatas, wajar saja Zaky menganggap omong kosong Industri 4.0 jika anggaran R&D sekecil itu. Secara fakta, kritiknya memang benar. Dengan demikian ia berharap semoga pemerintahan berikutnya alias "Presiden Baru" menaikkan jumlah anggarannya. Sebenarnya ia tidak perlu meminta maaf.

Harapannya itu sebenarnyalah juga harapan para peneliti se-Indonesia, harapan kita semua demi kemajuan dan perkembangan negara yang sama-sama kita cintai ini, Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun