Kemaren sore, kami berempat sekeluarga jalan-jalan. Abinya kelaparan dan pengen makan sate.
"Ok, Ummi maunya bakso. Aqyla mau bakso atau sate kupak?" Tanyaku kepada putri kami.
"Bakso!" Serunya tegas. "Qyla gak mau selain bakso." Tambahnya.
"Klo Faqih?" Kuarahkan pertanyaanku kepada putra kami, adiknya Aqyla.
"Faqih sate kupak!"
Musyawarah yang agak alot itu terus berlanjut. Aqyla dan Umminya qeuqeh, bersikeras memilih bakso. Faqih akhirnya memilih "netral", boleh bakso, boleh juga sate kupak. Kemudian ada yang mengusulkan voting. Secara voting, maka baksolah pemenangnya.
Namun dengan cepat dan tegas, saya mengatakan,
"Tak ada, tak ada voting-votingan. Gak ada istilah voting dalam keluarga kita. Sut-sutan jugak gak ada. Apapun persoalannya, musyarah harus diutamakan!"
Voting itu memang sistem pemilihan yang sangat buruk dan sangat lemah. Rentan jauh dari "kebenaran". Jika dalam suatu kampung ada pemilihan Kepala Desa berdasarkan voting, maka pemimpinnya yang terpilih adalah Embahnya Pemabok karena penduduk kampung itu didominasi oleh pemabok.
Dengan contoh yang sederhana itu tanpa penjelasan lebih lanjut, teman-teman pembaca tentunya memahami mengapa saya "anti voting". Voting itu sifatnya "pemalas" dan "gambling".
Lalu, bagaimana dengan pemilu di negara kita yang menerapkan sistem voting