Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menggugat Jokowi

22 Maret 2024   15:54 Diperbarui: 22 Maret 2024   16:02 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gugatan dan kecaman terhadap Presiden Jokowi terus mengalir sejak munculnya isu Jabatan Presiden Tiga Periode, Kecurangan Pemilu 2024, hingga penganugerahan Jenderal Kehormatan untuk Prabowo Subianto. Gugatan ini dalam benang merahnya bisa disimpulkan berkutat pada kelanjutan kepemimpinan nasional pasca berakhirnya jabatan Presiden Jokowi 2024. Secara demokratis melalui pemilihan umum yaitu pemilihan presiden, hampir dipastikan Prabowo menjadi pelanjut Jokowi. Tapi, hasil pemilu yang memenangkan Prabowo hampir 60 % pun  dituduh penuh kecurangan secara terstruktur, sistematis dan massif. 

Walau begitu, tuduhan kecurangan ini tak yakin bisa diselesaikan secara jujur dan adil oleh lembaga-lembaga sengketa Pemilu seperti Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi.  Para penggugat Jokowi pun berusaha membawa penyelidikan kecurangan itu harus dibongkar secara politik dengan mendorong penggunaan Hak Angket DPR atau bahkan pembentukan Pansus. Sejauh itu, masih dalam lembaga-lembaga demokrasi, tentu wajar-wajar saja. Berdemokrasi itu ya begitulah: memaksimalkan segala potensi yang mungkin baik di  yudikatif, eksekutif, parlemen maupun ekstra parlemen. Di sini, kesabaran berdemokrasi dikedepankan.

Dalam kerangka ini terlihat juga, model gerakan 1998 yang seakan hendak diduplikat oleh gerakan 2024 yang kecewa pada Jokowi. Walau Soeharto menang lagi dalam Pemilihan Presiden, tapi karena gerakan menentang terus bergerak, dalam waktu 3 bulan, Soeharto pun tumbang. Jokowi bagi para penggugat dianggap sebagai pengkhianat Reformasi 1998.

Reformasi 1998 yang menggaungkan anti Korupsi, anti Kolusi dan Anti Nepotisme mati di tangan Malin Kundang reformasi: Jokowi; yang dianggap sebagai dalang nepotisme dengan meloloskan Gibran puteranya menjadi calon wakil Presiden dan mendukung Prabowo Subianto, sebagai Calon Presiden dan masih ditambah dengan usaha-usaha yang dianggap curang untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Dan kita sudah melihat bahwa Prabowo-Gibran menang telak hampir 60 persen.

Kini para aktivis dengan berbagai cara dan momentum berusaha mendelegitimasi Presiden Jokowi dan hasil-hasil Pemilu 2024. Tujuannya jelas yaitu menggagalkan Prabowo dan Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang sah berdasarkan hasil Pemilihan Presiden 2024, yang tinggal dalam hitungan hari akan mendapatkan hasil yang definitif dan ditetapkan KPU.

Apakah gerakan pendongkelan Presiden Jokowi dan selanjutnya (Prabowo-Gibran) akan berhasil?

Menyamakan Presiden Jokowi dengan Presiden Soeharto dalam kerangka penggulingan dengan isu kesejahteraan rakyat seperti turunkan harga sembako, demokrasi, HAM, korupsi, kolusi dan nepotisme tentu tidaklah tepat. 

Jokowi sangat jauh bedanya dengan Soeharto. Soeharto telah berkuasa hampir tiga dasawarsa dan jelas Pemilu selama Orde Baru berkuasa direkayasa sehingga wajar bila Pemilu Orde Baru diselenggarakan secara curang yang terstruktur, sistematis dan massif. Peluang itu ada pada Orde Baru yang anti demokrasi (dengan sebelumnya menyingkirkan secara keji musuh politik utama dari golongan komunis dan nasionalis progresif pendukung Sukarno).

Selain itu Pers dibatasi dan tidak ada pemantau atau pengawas Pemilu baik dari dalam ataupun luar negeri.  Dari tiga segi ini saja, tidak bisa diukurkan pada Jokowi. Pada pemilu di bawah Jokowi, masih ada demokrasi, pers dan juga lembaga pemantau pemilu yang mengawasi.

Dari segi Gerakan, Presiden Soeharto telah menciptakan gerakan perlawanan yang panjang sejak berkuasa pada tahun 1965 sebagai seorang tiran yang kekuasaanya dibangun di atas pembantaian rakyatnya sendiri yang tidak bersalah; dalam pembangunan, juga menciptakan jarak dengan rakyat melalui penggusuran seperti Waduk Kedung Ombo di pertengahan  tahun 1980-an yang justru menciptakan gerakan solidaritas  kaum intelektual terutama mahasiswa, yang akan terus aktif hingga puncak pendelegitimasian Soeharto di Mei 1998.

Dalam Pemilu sendiri menciptakan  gerakan golongan putih yang tidak percaya pada Pemilu Orde Baru sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1971 seperti yang dipimpin Soe Hok Djin alias Arief Budiman.  Jokowi jauh dari semua itu. Justru untuk mengurangi beban masa lalu yang penuh pelanggaran HAM di masa Orde Baru itu Jokowi telah mendahulukan jalur penyelesaian non yudisial dengan membuat Inpres No  2 Tahun 2023 tanpa menolak jalur Yudisial.

Inpres tersebut merupakan upaya negara untuk memenuhi hak korban atau ahli warisnya maupun pihak-pihak yang terdampak atas peristiwa pelanggaran HAM Berat termasuk kasus tragedi nasional 1965.

Jokowi juga tidak menciptakan rentang perlawanan terhadap dirinya yang panjang. Dalam waktu pendek, terjadi perubahan 180 derajat. Dan para aktivis yang menentang Orde Baru hingga 1998 sebagian kini juga berdiri di barisan Jokowi dengan lebih menekankan pada isu kesejahteraan sosial dan hilirisasi industrialisasi.

Bila di masa 1998, para aktivis penentang  tirani bisa menarik dukungan dan mendorong elit politik seperti Deklarasi Ciganjur: Sri Sultan, Gus Dur dan Megawati, kini tak ada tokoh yang sebanding. Megawati yang kini diharap, telah kehilangan momentum sebab Megawati sendiri ketika berkuasa tidak banyak berbuat untuk penegakan demokrasi dan HAM. Justru Megawati telah turut melegitimasi Prabowo Subianto untuk kembali ke panggung politik Indonesia dengan menjadikannya pasangan sebagai calon wakil presiden pada pemilu 2009.

Gerakan penentang hari ini adalah seperti gerakan kanak-kanak. Ketika Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) menuntut KPU diaudit menyeluruh karena curang, tak banyak yang bergerak  mendukung, termasuk partai besar seperti PDI-Perjuangan. PRIMA menerima dengan legawa walau ada kesempatan untuk menunda pemilu setelah memenangkan gugatan serta-merta di Pengadilan Negeri. Karena itu tidak dewasalah,  bila setelah kalah, berteriak-teriak curang secara terstruktur, sistematis dan massif.

Sebaiknya kita terima Demokrasi di bawah Jokowi ini sebagai pelajaran selama lembaga-lembaga demokrasi dan sarananya seperti Pemilihan Umum  tetap ada. Kita bertarung selayaknya seorang demokrat. Pemilu 2029, bisa menjadi batu uji.

Kini, kita fokus kembali pada pembangunan negeri. Biarlah Kabinet mendatang di bawah Prabowo-Gibran bekerja mewujudkan visi dan misinya. Para penentang bisa berperan sebagai oposisi. Begitulah berdemokrasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun