Kontroversi keberadaan Piramida di Indonesia, terutama di situs Gunung Padang, Cianjur dan Gunung Sadahurip, Garut, keduanya di Provinsi Jawa Barat, lebih baik dimaknai positif terutama dalam hal usaha penulisan sejarah dari sudut dalam negeri yaitu Nusantara (Indonesia). Â
Menguak peradaban purba di Nusantara itu akan dapat memperkuat karakter  bangsa sehingga bermental baja dalam mengarungi jaman yang penuh persaingan di antara bangsa-bangsa. Juga bisa diperspektifkan dalam usaha membangun kerja berkepribadian dalam bidang kebudayaan yang merupakan salah satu sakti dari Tiga Sakti Bung Karno. Dua sakti lainya yaitu berdaulat di bidang politik dan berdikari di bidang ekonomi.
Usaha penemuan atau pembuktian Piramida di Nusantara terutama Gunung Padang, mungkin dianggap sia-sia dan tak  berguna. Namun, menurut saya bukan di situ soalnya. Ada atau tidak ada nantinya, bahkan dalam metode dan proses yang ilmiah dan tidak, tidaklah begitu penting. Yang lebih penting adalah tumbuhnya minat dan usaha menuliskan akar dan sejarah bangsa sendiri dari dalam.Â
Selama ini, historiografi bangsa kita justru dari luar yang terkadang masih menyisakan watak kolonialisme. Padahal bila kita mempelajari sejarah, bahkan kolonialisme Barat yang tangguh yang mulai menginjakkan kaki-kakinya di Nusantara tahun 1511 itu, tidak serta merta langsung menaklukkan kita. Pelan-pelan kolonialisme Barat menjadi kuat dan kita menjadi lemah dan tunduk bahkan dalam soal imajinasi dan cita-cita hidup. Perubahan mindset dalam penulisan sejarah dan sastra tentu saja akan dapat menggetarkan jiwa-jiwa yang hendak melanggengkan kolonialisme.
Sebagaimana kita kenali dalam sejarah perjuangan bangsa, kolonialisme begitu lihai untuk memperlemah bangsa-bangsa jajahannya dengan berbagai cara. Cara yang amat manjur dan halus bahkan tak disadari oleh bangsa yang dijajah itu adalah melalui penguasaan kebudayaannya sehingga nilai-nilai budayanya yang dikelola dan ditumbuhkan sebisa mungkin tidak bertentangan dengan kepentingan kolonial. Dalam hal ini, yang termasuk dikuasai dan dikendalikan untuk kepentingan kolonial adalah imajinasi rakyat dan bangsa.Â
Karena itu bisa dimengerti bila gagasan cerita dan sastra menjadi penting untuk diperhatikan. Penjajah Belanda sendiri perlu mendirikan satu komisi bacaan untuk mengontrol imajinasi rakyat jajahannya pada tahun 1917 melalui Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian dikenal sebagai Balai Pustaka.
Penguasaan imajinasi adalah salah satu cara yang penting untuk melanggengkan kolonialisme. Karena dengan begitu, rakyat jajahan dijauhkan dari cerita-cerita baik para leluhurnya dan melulu hanya menelan kehebatan dan keunggulan bangsa yang menjajahnya. Bahkan para penjajah berusaha menarasikan kerja penjajahannya dengan cerita-cerita yang dikenal rakyat hingga penjajahannya semakin mendapatkan legitimasi.
Dengan demikian apa yang dikerjakan oleh kaum pergerakan kemerdekaan untuk keluar dari alur pengajaran sejarah kolonial seperti Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya serta Mas Marco atau Semaun dengan karya sastranya yang berbeda dengan kode etik sastra Balai Pustaka adalah juga usaha untuk melawan pelanggengan kolonialisme.
Akibatnya belum menjadi penting apakah bahan ajarnya salah, kurang sopan, kasar atau kurang lengkap karena yang menjadi pokok soal adalah membangun karakter bangsa, dengan memperkenalkan alur sejarah bangsa sendiri yang berbeda dengan alur sejarah yang dikenalkan kolonialisme. Soal salah  dan kurang lengkap, bisa diperbaiki dan dilengkapkan oleh bangsa yang merdeka dan berdaulat karena di negara yang merdeka dan berdaulat terjadi konsentrasi baik tenaga, pikiran dan modal untuk membongkar segala yang masih menjadi misteri demi kemajuan bangsa.
Karena itu sangat mengherankan memang bila kita menengok sejarah populer bangsa kita yang umum dikenal luas oleh rakyat yaitu bahwa Kerajaan Pertama di Nusantara yang menandai era sejarah adalah  Kerajaan Kutai pada abad ke-5 atau pada tahun sekitar 400 M. Apa yang terjadi pada bangsa kita di awal abad pertama tahun masehi tak begitu dikenal rakyat terlebih lagi ribuan tahun sebelum masehi.Â
Kenapa kita begitu malas mempelajari sejarah sendiri? Sehingga cukup puas dengan nilai-nilai dan imajinasi yang hadir dan berkuasa di kekinian? Bukankah dengan tak menggali akar kebudayaan bangsa sendiri kita justru larut dalam alur kepentingan kolonialisme yang merugikan kepentingan bangsa sendiri?
Tanpa riset yang  mendalam,  kaum terpelajar Republik Indonesia bisa memahami bagaimana imajinasi-imajinasi kolonial dan asing hadir mengisi ruang-ruang imajinasi bangsa-bangsa Nusantara sejak awal Masehi dimulai sampai sekarang.
Sementara sayup-sayup hadir kejayaan nenek moyang dengan hadirnya manusia-manusia yang mulai berpikir, sehingga menjadi bijak pada masanya, homo sapiens dari Solo puluhan ribu SM dan seterusnya dan seterusnya hingga kini kita dihebohkan dengan dugaan keberadaan bangunan yang diduga Piramida di Gunung Padang, Cianjur yang usianya diduga lebih tua dari Piramida  Giza di Mesir  yang berumur sekitar 2500 SM. Piramida di Gunung Padang atau peradaban yang menghasilkannya diduga berasal dari 25.000 SM. (lihat juga: Ali Akbar,  Situs Gunung Padang, Misteri dan Arkeologi, Jakarta, Desember 2013)
Bernard H. M. Vlekke, di bukunya yang berjudul Nusantara,  menulis mengenai penemuan manusia purba di Kala Pleistosen bahwa: "Semua penemuan itu terjadi di sekitar Surakarta di Jawa Tengah. Penemuan itu ternyata sangat penting bagi Antropologi dan Biologi pada umumnya. Tapi tidak berarti bagi sejarah Indonesia. Orang-orang Indonesia zaman purba adalah keturunan imigran dari Benua Asia. Antara zaman Pithecanthroupus dan tibanya para imigran mungkin ada  senjang waktu ribuan abad."
Kira-kira leluhur Nusantara itu datang dari Benua Asia sekitar 2000 SM sebagaimana juga ditulis Herimanto dalam Sejarah Indonesia Praaksara terbitan Ombak, Yogyakarta, 2019: "Meskipun masih terdapat adanya perbedaan di antara para ahli, namun sebagian besar meyakini nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia.Â
Pada waktu itu sekitar  2000 sampai dengan 1500 SM, nenek moyang Bangsa Indonesia yang mendiami wilayah Campa terdesak oleh bangsa-bangsa lain yang datang dari sebelah utara (wilayah Asia Tengah) karena terdesak sehingga banyak yang menyingkir ke sebelah selatan menyusuri lembah Sungai Mekong, hingga banyak di antaranya yang sampai di semenanjung Malaka.Â
Meskipun telah hidup di Malaka (Melayu) cukup lama, namun karena terdesak terus oleh suku-suku pendatang sehingga mereka pun menyingkir lagi ke sebelah selatan, menyeberangi lautan menuju ke Indonesia. Dari sinilah kemudian mereka tersebar di kepulauan Nusantara, ada yang menuju ke selatan seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan dan lain-lain; sedangkan yang ke timur, dengan  menyeberangi laut China selatan akhirnya sampai di kepulauan Filipina.Â
Di filipina, sebagian ada yang tinggal dan menjadi penduduk tetap di sana, sedangkan sisanya ada yang  melanjutkan perjalanan lagi menuju ke selatan hingga sampai di daerah Minahasa, Sulawesi dan  pulau-pulau lain di sekitarnya." Â
Sementara itu,  Herimanto dalam Sejarah Indonesia Praaksara  itu juga menulis:  "Ditinjau dari konteks historis, zaman praaksara adalah zaman di mana manusia belum mengenal tulisan. Zaman ini berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang,  berlangsungnya bahkan sampai jutaan tahun yang lalu; mulai dari munculnya kehidupan di bumi sampai manusia untuk pertama kali mengenal tulisan.Â
Menurut ilmu arkeologi, manusia purba pertama muncul sekitar  ratusan ribu  tahun yang lalu pada Kala Pleistosen,  sedangkan manusia modern, yakni yang menjadi nenek moyang manusia yang sesungguhnya baru muncul sekitar 20.000-30.000 tahun yang lalu pada kala Holosin."  Dengan begitu apakah manusia yang menghasilkan Situs Gunung Padang itu berasal dari Kala Holosin? yaitu nenek moyang manusia yang sesungguhnya itu?
Kita pun mengenal Budaya Jomon  dari masa 14.000-300 SM,  yang hidup semasa  Zaman Neolitik. Benda Tembikar di masa ini berdekorasi mirip dengan gambar tali karena itu nama "jomon" (arti harfiahnya pola tali). Mata pencarian utama orang Jomon ialah berburu dan menangkap ikan.Â
Di akhir masa Jomon, orang mulai kegiatan  bertani. (lihat juga Lim SK, (penyusun), Peradaban Asia, dari zaman kuno hingga 1800 M, PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia,Jakarta, 2013;66) . Catatan lain menyampaikan bila ...gejala corak hidup bercocok tanam dan beternak baru timbul sekitar 6000 SM. (lihat juga RZ Leirissa, dkk, Sejarah Perekonomian Indonesia, Ombak, Yogyakarta, 2012;2)
Baru-baru ini ditemukan kuil warisan Sumeria yang berusia 4500 SM yang terbenam di Irak. Â Kuil itu dipersembakan untuk Ningirsu, Dewa Guntur Musim Semi Mesopotamia. (https://inet.detik.com/science/d-6589918/kuil-dewa-guntur-berusia-4500-tahun-ditemukan-terbenam-di-irak)
Antara Budaya Jomon dan Sumeria, kita seperti melihat kebudayaan yang terbelakang Jomon:  berburu, meramu hingga pertanian berbanding dengan Kebudayaan Sumeria  yang maju, kota dengan segala pengetahuan. Karena itu banyak orang menganggap Sumeria sebagai ibu peradaban manusia.Â
Tetapi temuan di Gunung Padang barangkali bisa membalikkan semua itu sebagaimana  juga disampaikan oleh Bambang Wibawarta ketika mengantarkan buku Ali Akbar,  Situs Gunung Padang, Misteri dan Arkeologi, Jakarta, Desember 2013, "Selama ini, mesopotamia yang terletak di antara dua sungai besar, Eufrat dan Tigris dianggap sebagai sumber peradaban tertua di dunia. Daerah ini kini menjadi Republik Irak. Sejarah Mesopotamia diyakini berawal dari tumbuhnya peradaban Bangsa Sumer(ia) sekitar tahun 3000 SM.Â
Namun demikian Stephen Oppenheimer, dokter ahli genetik dari Universitas Oxford yang banyak mempelajari sejarah peradaban  membantah paradigma yang sudah berkembang lama  tersebut. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) merupakan cikal-bakal peradaban kuno...menurutnya munculnya peradaban di Mesopotamia justru dipicu oleh kedatangan para imigran dari Asia Tenggara. Dasar argumennya adalah etnografi, arkeologi, oseanografi, mitologi, analisa DNA dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradabaan yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6000 tahun silam".
Sayang, semua yang purba itu masih misteri; masih menjadi dugaan dan dugaan. Abad-abad kita sebelum masehi masih gelap seakan tak ada tulisan yang menerangi di setiap perjalanan sejarah sebagaimana di Tiongkok, 3000 SM sudah menghasilkan kitab perubahan: I Ching.Â
 Kita masih perlu menggali dan menggali dan mencatat. Tetapi Negara lagi disibukkan dengan politik dengan imajinasi masing-masing. Yang kita butuhkan adalah Imajinasi Indonesia yang adil dan makmur, makmur sebagaimana diimajinasikan dalam situs dan situs bayangan kejayaan masa lampau, yang bahkan "manusia-manusia kera" itu pun memilih berkumpul dan hidup di Lembah Solo dua puluhan atau belasan ribu tahun yang lalu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H