Anisa nama perempuan itu. Langkahnya gontai menelusuri malam yang tak lagi dikenalnya. Rasa sesal yang dalam, benci dan marah menyatu dalam dirinya. Hatinya menjerit, berontak. Rasanya ia ingin mati saja malam itu juga.
"Mengapa tidak Kau bunuh saja aku, Tuhan?" Anisa menangis dalam doanya. Ia tidak tahu lagi berada di jalan mana. Lelaki-lelaki yang telah membawanya pergi tanpa kerelaan telah membutakan jalan. Ia tak tahu lagi harus pergi kemana dan lewat mana? Ini jalan menuju kemana tak lagi dipikirkan. Ke surga? Ke neraka? Apa bedanya? Ia ingin menemui Pastor. Apakah akan lembut hati Pastor itu? Anisa ditelan kebimbangan yang dalam.
"Bunuh saja aku, Tuhan. Kirimkan lagi laki-laki yang lebih buas dan kejam," pintanya lagi dalam putus asa yang amat sangat. Anisa pun terjatuh di tengah jalan. Ia tak tahu lagi apakah esok pagi ia masih bernafas. Pelan-pelan malam yang jahanam menyelimuti tubuh kecilnya. Dari bibirnya yang mungil mengalun lagu-lagu kudus sekolah dasar: Oh Yesus, Ave Maria, Bunda Allah Tak Tercela... Terus-menerus bibir mungilnya menyanyikan lagu-lagu masa kecilnya sampai ia lelah dan tertidur.
Sementara, malam semakin jauh. Dalam tidurnya, Anisa bertemu dengan papa dan mamanya yang bergantian menuding-nuding mukanya.
"Makanya kalau malam, perempuan jangan suka blusukan!"
"Perempun model apa kamu ini?!"
"Lonthe!"
"Jalang!"
"Gatal!"
Satu persatu wajah papa dan mamanya muncul begitu dekat di matanya. Mulut mereka berbusa-busa penuh kutukan. Bola mata mereka ganas dan menuduh tiada henti. Anisa ingin membantah.
"Puih!" seorang lelaki meludahi mukanya sementara itu beberapa laki-laki yang entah dari mana mereka datang ikut menyumpahi dirinya.
"Perex, kamu ini! Ngaku-ngaku bersih dan perawan!"
"Malam itu bukan untuk perempuan tapi untuk laki-laki!"
"Kamu mau lapor kalau kamu diperkosa? Cuhh! Dasar jalang!"
Anisa pun bertemu dengan teman-teman sekolah menengah atasnya. Teman perempuan dan lelaki membicarakan dirinya. Juga guru-gurunya.
"Kasihan Anisa. Digilir banyak lelaki di kuburan semalaman."
"Salah sendiri perempuan suka pergi malam-malam."
"Ya begitulah nasib perempuan yang suka keluyuran malam."
"Jangan ngomong sembarangan dong!""
"Adili itu lelaki-lelaki bajingan, bejat tak bermoral!"
"Gayanya saja sudah kayak perempuan binal!"
"Wajar dong digilir ramai-ramai?"
"Kalau aku pas dikuburan malam itu. Pasti deh aku ikut tuh menggilirnya. Habis betina banget sih Anisa itu."
"Bandel lagi. Udah dibilang jangan jalan sendirian malem-malem. E..nekad. Ya begitu akibatnya. Rasain, deh."
"Digilir kan juga nikmat."
"Pasti deh Anisa ikut goyang. Kayak Lena dulu."
***
Di sebuah biara tua, Anisa kini tinggal. Sudah sebulan ini ia menghirup udara yang sejuk di biara lereng bukit itu. Di biara tua itu ia dipanggil Elis. Ia berusaha melupakan Anisa dan memulai hidup baru: Anisa yang dahulu sudah mati ditelan malam bersama lelaki-lelaki itu. Nasibnya sebagai seorang perempuan yang bernama Anisa sudah dihabisi lelaki-lelaki pada malam gila itu.
Berapa lelaki? Elis sudah lupa tapi kenangan malam itu seringkali menjadi mimpi buruk. Ia tak bisa melupakan lelaki-lelaki itu yang satu-persatu memperkosanya. Pada malam seperti itu Anisa sering datang menjenguknya. Beberapa kali ia telah berhasil mengusirnya pergi.
Kini telapak kakinya sudah hapal menelusuri  lorong-lorong biara itu. Setiap pagi ia nampak bersemangat dan tenggelam dalam doa-doa. Oleh Muder Anna, ia dipasrahi menjaga kebersihan Kapel Santa Maria Magdalena.
"Maria Magdalena adalah seorang santa, perempuan kudus yang dulunya seorang pelacur, Elis," cerita Muder Anna suatu malam ketika ia duduk sendirian di Kapel Santa Maria Magdalena. "Ia kerasukan tujuh roh jahat. Tapi oleh kasih Tuhan Yesus, ia disembuhkan bahkan Maria Magdalena dalam seluruh sisa hidupnya kemudian justru menjadi sahabat Yesus yang paling setia. Dialah yang pertama kali menjadi saksi atas kebangkitan Yesus Kristus sebelum para murid laki-laki  yang dipilih Tuhan Yesus sendiri. Jangan takut dan kecil hati. Belajarlah pada Maria Magdalena."
Elis menangis malam itu. Bukan karena kisah mengharukan Maria Magdalena. Soalnya, Elis tak mengerti mengapa Muder Anna seperti tiba-tiba bercerita tentang Maria Magdalena yang pelacur. Hatinya tersayat-sayat dan teriris-iris. Ia terluka dan seperti menjadi tertuduh di hadapan Muder Anna. Air mata mengalir pelan di pipinya yang bersih. Ia ingin membantah Muder tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Elis ingin berkata bahwa dahulu dirinya bukan pelacur; bukan pelacur yang ingin bertobat seperti Maria Magdalena.
"Soalnya malam itu, Muder!" Mulutnya terkunci. Hanya matanya yang gelisah bicara tapi Muder Anna tidak mengerti. Barangkali ia sendiri tidak sengaja bercerita tentang Maria Magdalena kecuali hanya untuk sekadar pengetahuan Elis yang kini menjaga kebersihan Kapel Maria Magdalena.
"Malam yang hening akan memudahkan engkau merenungkan perjalanan hidupmu. Biarkan kasih Yesus menaungimu. Ia sahabat setia untuk kaum lemah atau yang dilemahkan. Datanglah pada Tuhan Yesus setiap kali hatimu gelisah dan katakan terus terang kepadaNya semua sumber kemarahanmu dan dendammu agar Tuhan Yesus mengubahnya menjadi berkat bagi sesama dan dirimu sendiri," pesan Muder Anna.
***
Tapi pada suatu malam yang hening, suster-suster biara yang mulai hendak menikmati perdamaian dengan malam justru dikejutkan teriakan-teriakan Elis dari Kapel Santa Maria Magdalena:
"Tak ada malam hening yang suci, Muder!"
"Anisa bukan pelacur! Ia diperkosa! Malam di sini bukan malam yang ramah dan aman bagi perempuan. Malam di sini masih malamnya laki-laki buas seperti binatang. Malam di sini malam para binatang buas. Lelaki-lelaki itu menerkam Anisa, Muder. Apakah Muder menganggap Anisa seorang pelacur?!" Keheningan malam itu pun pecah dan menjadi gaduh karena Elis tidak lagi cuma berteriak-teriak tapi juga melemparkan piala-piala Misa.
"Anisa bukan Maria Magdalena, pelacur yang bertobat! Anisa diperkosa! Direnggut kebebasannya, Muder!"
Dalam waktu sebentar saja suster-suster biara itu pun mengepung Elis. Mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat kecuali hanya menjaga agar peralatan misa suci tidak rusak. Mereka pun bertanya-tanya siapa itu perempuan yang bernama Anisa. Adiknyakah? Kakaknyakah? Ibunya? Sahabat perempuannya? Ataukah roh jahat perempuan yang merasuki jiwanya?
"Biarkan ia berteriak!" Muder Anna mendekati suster-suster yang mengerubuti Elis. "Hatinya sedang penuh dendam. Biarkan ia melepaskan kemarahannya. Biarlah ia sendirian bersama kasih Tuhan Yesus." Para suster pun dengan tenang meninggalkan Kapel Maria Magdalena. Mereka pun mengerti bahwa masih ada perempuan yang menangis pada malam-malam tertentu. Malam di luar tidak aman seperti malam di biara yang hening dan penuh doa. Malam hening biara ternyata juga bukan perlindungan yang menyejukkan bagi seorang perempuan yang pernah dilukai malam.
Muder Anna yang lembut hatinya itu mengawasi Elis dari jauh. Ia mengerti Elis sungguh menderita. Pabila siang Elis bisa sedikit tersenyum tapi ketika malam datang seringkali wajahnya berubah muram, sedih, takut dan gelisah. Ia mengerti Elis mengalami trauma dengan malam.
"Elis tidak membutuhkan biara seperti ucapannya di malam gelap ketika ia mengetuk pintu biara."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H